Marhaenist.id – Dengan adanya penolakan masyarakat terhadap revisi Undang-Undang TNI, PDI-P seharusnya tidak memimpin atau bahkan menjadi bagian dari pembahasan tersebut, apalagi sampai mengambil peran sebagai ketua Panitia Kerja (Panja), melainkan seharusnya berdiri bersama rakyat yang menolak.
PDI-P, sebagai partai besar dengan sejarah panjang dalam politik Indonesia, memang terlihat berada dalam posisi dilematis dalam situasi ini.
Di satu sisi, PDI-P secara historis sering memposisikan diri sebagai partai yang pro-rakyat dan kritis terhadap isu-isu yang dianggap bertentangan dengan semangat reformasi, termasuk potensi kembalinya dwifungsi TNI sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak dalam revisi UU TNI ini.
Penolakan masyarakat sipil, seperti yang digaungkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (terdiri dari organisasi seperti KontraS, YLBHI, dan lainnya), menyoroti risiko revisi ini melemahkan profesionalisme TNI dan membuka peluang militer masuk ke ranah sipil, sesuatu yang bertolak belakang dengan capaian reformasi 1998.
Namun, di sisi lain, PDI-P saat ini berada dalam posisi institusional sebagai bagian dari DPR, di mana Utut Adianto sebagai kader PDI-P, menjadi Ketua Komisi I sekaligus Ketua Panja RUU TNI.
Hal lain yang perlu diperhatikan dari pembahasan revisi UU ini yaitu pembahasan dilakukan di Hotel Fairmont, yang menuai kritik karena dianggap tidak transparan, boros, dan jauh dari semangat efisiensi anggaran yang digaungkan pemerintah.
Fakta bahwa PDI-P memimpin proses ini, bahkan di tengah penolakan publik, bisa dilihat sebagai kontradiksi dengan citra partai yang kerap mengklaim berada di sisi rakyat.
Menurut saya, terdapat beberapa alasan mengapa PDI-P tidak keluar dari pembahasan ini dan malah menjadi bagian sentral:
Pertama, sebagai partai dengan jumlah kursi signifikan di DPR (meskipun kalah dominan dibandingkan koalisi pemerintah), PDI-P memiliki tanggung jawab legislatif untuk terlibat dalam setiap proses pembuatan undang-undang, termasuk yang kontroversial seperti RUU TNI. Keluar dari pembahasan bisa dianggap meninggalkan tanggung jawab institusional, yang justru akan melemahkan posisi mereka di parlemen.
Kedua, PDI-P mungkin melihat keterlibatan dalam Panja sebagai cara untuk mempengaruhi arah revisi UU TNI dari dalam, ketimbang hanya menjadi penutup suara di luar. Dengan menjadi ketua Panja, PDI-P bisa mencoba mengarahkan substansi revisi agar tidak sepenuhnya bertentangan dengan semangat reformasi, meskipun ini belum terlihat efektif mengingat kritik tajam dari masyarakat sipil terhadap draf yang ada menggambarkan situasi berlawanan.

Ketiga, PDI-P bukan monolitik. Ada faksi-faksi di dalamnya, dan tidak semua kader atau pimpinan memiliki sikap yang sama. Utut Adianto, misalnya, dalam pernyataannya menegaskan bahwa revisi ini dilakukan untuk kepentingan bangsa dan bukan untuk mengembalikan dwifungsi TNI, sembari menyebut penolakan berasal dari “trauma masa lalu.”
Sikap tersebut tentu saja berbeda dengan beberapa kader PDI-P lain, seperti Deddy Sitorus, yang secara terbuka mengkritik revisi UU TNI agar tidak melenceng dari profesionalisme militer.
Ketua Panja dari PDI-P bisa jadi mencerminkan faksi yang lebih pragmatis atau kompromistis dibandingkan faksi yang lebih ideologis.
Namun demikian, keterlibatan PDI-P dalam Panja—terlebih dengan cara yang dianggap tidak sensitif seperti rapat di hotel mewah—bisa dilihat sebagai pengkhianatan terhadap aspirasi rakyat.
Jika PDI-P benar-benar ingin konsisten dengan citra pro-rakyat, mereka bisa mengambil langkah tegas dengan menolak terlibat dalam pembahasan, atau setidaknya mendesak agar prosesnya dilakukan secara terbuka dan melibatkan publik, bukan di ruang tertutup yang sulit diakses.
Dengan tetap memimpin Panja, PDI-P justru tampak sebagai bagian dari elit politik yang terpisah dari suara rakyat, bahkan ketika masyarakat sipil secara fisik mendatangi lokasi rapat untuk memprotes.
PDI-P tentu saja bisa memilih keluar dari pembahasan dan bergabung dengan barisan rakyat yang menolak, seperti halnya yang pernah dilakukan dulu di era SBY sewaktu menyikapi kenaikan BBM, apalagi jika mereka ingin mempertahankan kredibilitas sebagai partai yang memperjuangkan demokrasi dan reformasi.
Namun, realitas politik—baik kepentingan institusional, strategi internal, maupun tekanan dari koalisi besar pemerintah—mungkin membuat PDI-P memilih bertahan di dalam proses ini, meskipun hal itu berarti menghadapi tuduhan inkonsistensi atau kompromi dengan kekuatan luar parlemen yang mengkritiknya.***
Penulis: Edi Subroto, Alumni GMNI Yogjakarta.