By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Membangun Kembali Oposisi Marhaen di Era Post-Politics
Nyanyian dan Sumpah Tanpa Jiwa
Keterhilangan Eksistensial: Dari Krisis Kesadaran hingga Kolonisasi Atensi
GMNI Berduka, H Soenardi Ex Presidium GMNI 1976 – 1979 Telah Berpulang Disisi Tuhan Yang Maha Esa
Jadi Pembicara Diskusi yang Digelar PA GMNI Jakarta Raya, Soni Sumarsono: Kota Global Harus Punya Ideologi Keadilan Sosial

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Nyanyian dan Sumpah Tanpa Jiwa

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Senin, 27 Oktober 2025 | 14:45 WIB
Bagikan
Waktu Baca 7 Menit
Foto: Para Peserta Kongres Pemuda II ditanggal 28 Oktober 1928 (Sumber foto: kompas.com)/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Ada yang sunyi di tengah gegap gempita peringatan Sumpah Pemuda. Ada yang kosong di antara suara lantang menyanyikan Indonesia Raya. Mungkin bukan lagunya yang kehilangan makna, melainkan kita–yang tak lagi mendengarkan gema nuraninya. Kita berdiri tegak dalam upacara, tetapi jiwa kita duduk diam dalam keletihan sejarah. Kita bangga menyebut diri “anak bangsa”, namun semakin tak tahu makna dari kata “bangsa” itu sendiri.

Hampir seabad lalu, sekelompok pemuda memutuskan untuk menolak takdir kolonial dengan satu keputusan sadar: menjadi Indonesia. Mereka tidak hanya mengikrarkan sumpah, tetapi menyalakan api kesadaran yang membuat manusia-manusia muda dari berbagai penjuru Nusantara merasa sebangsa–bukan karena darah, tetapi karena cita-cita. Namun kini, sumpah itu tinggal teks di dinding sekolah, dibacakan setiap tahun dengan lidah yang tak lagi dihidupi hati.

Sumpah yang Tak Lagi Menyala

Pada 1928, ketika mereka menyebut “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,” mereka sedang menolak kemustahilan. Di bawah tekanan kolonialisme, perpecahan, dan kemiskinan, mereka masih berani bermimpi. Itulah daya yang disebut ruh kebangsaan–sebuah keberanian berpikir melampaui batas diri.

Kini, di tahun-tahun modern yang katanya merdeka, kita justru takut bermimpi. Bangsa ini seolah kehilangan imajinasi bersama. Nasionalisme direduksi menjadi seragam sekolah dan jargon kampanye. Pemuda yang dulu menulis manifesto kini menulis konten viral. Semangat yang dulu mengguncang kolonialisme kini terjebak dalam scroll media sosial tanpa arah.

Sumpah Pemuda seharusnya bukan hanya dihafal, tapi dihayati. Bukan sekadar naskah, tapi napas yang menghidupkan kesadaran kolektif. Sebab sumpah itu bukan peristiwa masa lalu–melainkan janji yang menunggu ditepati setiap hari.

Antara Cita dan Kuasa

Filsafat kebangsaan Indonesia lahir dari luka–bukan dari laboratorium kekuasaan. Ia tumbuh dari penderitaan rakyat, dari rasa hina dijajah, dan dari tekad untuk menjadi manusia yang bermartabat. Soekarno menulis bahwa nasionalisme Indonesia haruslah memberi hidup kepada kemanusiaan, bukan menindasnya.

Baca Juga:   Lucunya Negeri Ini Bersama Jokowi Diakhir Masa Jabatannya

Namun, di zaman ini, cita itu dikubur pelan-pelan oleh pragmatisme politik. Kekuasaan menggantikan kebangsaan sebagai pusat gravitasi republik. Nasionalisme menjadi alat propaganda; tanah air berubah jadi komoditas. Kita diajak mencintai negeri, tetapi diam terhadap ketidakadilan yang merusaknya.

Apakah nasionalisme masih bermakna jika rakyat lapar, tanah dijarah, dan hukum tunduk pada kekuasaan? Apakah Indonesia Raya masih bisa disebut lagu kebangsaan jika bangsa yang dimaksud tak lagi berjiwa merdeka?

Di titik ini, filsafat kebangsaan menuntut kita kembali berpikir–bahwa berbangsa bukan soal kepemilikan, tetapi soal keberanian untuk memperjuangkan makna.

Sumpah Pemuda: Dari Ritual Menjadi Kesadaran

Sumpah itu dulu diucapkan tanpa mikrofon canggih, tanpa televisi, tanpa sponsor. Ia sederhana, tapi membakar jiwa. Kini, peringatan Sumpah Pemuda datang dengan spanduk megah, slogan gemerlap, dan pidato pejabat yang lebih sibuk berjanji daripada mengilhami.

Padahal, inti dari Sumpah Pemuda adalah keberanian untuk berpikir sebagai kita, bukan sebagai aku. Ia adalah deklarasi untuk menghapus sekat-sekat palsu: agama, suku, status, bahkan kepentingan pribadi.

Meneguhkan kembali sumpah itu berarti meneguhkan kesadaran etis: bahwa bangsa ini tidak akan berdiri oleh keserakahan segelintir orang, melainkan oleh solidaritas mereka yang tak berdaya. Pemuda hari ini harus kembali menjadikan nasionalisme sebagai tindakan berpikir dan bertindak, bukan sekadar gaya bicara.

Indonesia Raya: Lagu yang Tersisa di Bibir, Bukan di Jiwa

Ada ironi dalam setiap upacara bendera: kita menyanyikan Indonesia Raya sambil menunduk di bawah bayangan gedung-gedung pencakar langit yang dibangun dari utang dan ketimpangan. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” kini terdengar seperti sindiran. Jiwa bangsa ini sedang kering, sementara badannya terus dibangun untuk pasar dan modal.

Baca Juga:   Menjadikan Organisasi sebagai Ratu Adil

Lagu kebangsaan seharusnya menjadi gema kesadaran, bukan pelengkap upacara. Ia adalah panggilan untuk membangkitkan jiwa yang tertidur–jiwa yang dulu melahirkan revolusi, kini tenggelam dalam euforia konsumsi.

Kita harus bertanya: apakah yang berdiri di depan tiang bendera itu masih bangsa yang bersumpah untuk merdeka, atau sekadar rakyat yang sudah lupa mengapa mereka pernah memperjuangkan kemerdekaan?

Meneguhkan Kembali: Bangsa yang Masih Bisa Bermimpi

Meneguhkan kembali Sumpah Pemuda berarti meneguhkan kembali impian Indonesia. Bukan impian tentang pembangunan, tapi tentang kemanusiaan. Bukan tentang kekuasaan, tapi tentang kesadaran.

Kita harus kembali memaknai sumpah itu sebagai kontrak moral, bukan seremonial. Sebagai tekad untuk tidak menyerahkan masa depan bangsa pada penguasa yang memperjualbelikan idealisme. Sebagai janji untuk terus memanusiakan manusia–dari petani yang kehilangan tanahnya hingga anak muda yang kehilangan arah hidupnya. Bangsa ini pernah lahir dari mimpi bersama; jangan biarkan ia mati oleh ego yang sendirian.

Menghidupkan Kembali Jiwa yang Tertidur

Seratus tahun setelah Sumpah Pemuda, kita tak butuh upacara lebih megah–kita butuh kesadaran lebih dalam. Kita tak butuh lagu yang lebih keras–kita butuh jiwa yang lebih jujur.

Indonesia Raya akan kembali bermakna bila setiap baitnya lahir dari keberanian untuk melawan ketakutan, kemunafikan, dan kemiskinan pikiran. Jika pada 1928 para pemuda berani bersumpah untuk menjadi satu, maka di abad ini tugas kita lebih berat: bersumpah untuk tetap waras di tengah kegilaan kekuasaan.

Di Antara Lagu dan Sumpah

Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda lahir dari rahim yang sama: kerinduan akan kemerdekaan yang sejati. Yang satu diucapkan, yang satu dinyanyikan, keduanya bukan sekadar bunyi, melainkan nyala yang menuntut kejujuran.

Baca Juga:   Surat Cinta untuk Persatuan GMNI dari Riau

Sumpah adalah kata yang mengikat hati, lagu adalah nada yang menggerakkan jiwa. Bila sumpah telah menjadi teks dan lagu tinggal tradisi, maka bangsa ini kehilangan denyutnya. Sebab di antara keduanya tersembunyi makna terdalam menjadi manusia merdeka: keberanian untuk percaya, meski dikepung ketakutan.

Sumpah Pemuda adalah janji, dan Indonesia Raya adalah doa. Janji tanpa doa hanyalah ambisi; doa tanpa janji hanyalah gema kosong. Keduanya bersatu dalam satu cita: membangunkan jiwa bangsa agar tak mati sebelum waktunya.

Dan mungkin, ketika suatu hari kita kembali menyanyikan Indonesia Raya dengan dada yang bergetar, bukan karena protokol, tapi karena cinta yang mengakar, di situlah Soempah Pemoeda benar-benar ditepati.

Sebab bangsa ini hanya akan hidup selama lagu dan sumpah itu masih sanggup membuat kita menangis, bukan karena nostalgia, tapi karena kesadaran: Bahwa Indonesia bukan warisan, melainkan titipan yang harus kita jaga dengan jiwa.***


Penulis: Firman Tendry Masengi, S.H., Alumni GMNI, Advokat/Aktivis 98.

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Foto: Dhiva Trenadi Pramudia, Institut Marhaenisme 27/MARHAENIST.
Membangun Kembali Oposisi Marhaen di Era Post-Politics
Senin, 27 Oktober 2025 | 14:57 WIB
Keterhilangan Eksistensial: Dari Krisis Kesadaran hingga Kolonisasi Atensi
Minggu, 26 Oktober 2025 | 23:06 WIB
GMNI Berduka, H Soenardi Ex Presidium GMNI 1976 – 1979 Telah Berpulang Disisi Tuhan Yang Maha Esa
Minggu, 26 Oktober 2025 | 14:25 WIB
Jadi Pembicara Diskusi yang Digelar PA GMNI Jakarta Raya, Soni Sumarsono: Kota Global Harus Punya Ideologi Keadilan Sosial
Sabtu, 25 Oktober 2025 | 22:26 WIB
DPD PA GMNI Jakarta Raya Dorong Realisasi Good Governance Jakarta Berkeadilan Sosial
Sabtu, 25 Oktober 2025 | 19:55 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Mengantisipasi Otoritarianisme Politik Massa Mengambang
Opini
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Kabar GMNI

Jelang Pesta Demokrasi, GMNI Ajak Masyarakat Kawal Pilkada Damai di Wakatobi

Marhaenist.id, Wanci - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kabar GMNI

Mahasiswa-Mahasiswi Indonesia, Ayo Bergabung Bersama GMNI!

Marhaenist.id - Mahasiswa dan Mahasiswi Indonesia, saatnya kita bergerak bersama! Dalam dinamika…

Garis polisi terpasang di gerbang 13 Stadion Kanjuruhan, di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Kamis (06/10/2022) tempat korban meninggal berdesak-desakan akibat gas air mata. TELEGRAF/Koeshondo W. Widjojo
Infokini

Jumlah Korban Tragedi Kanjuruhan Bertambah 1 Orang, Total Meninggal 132 Jiwa

Marhaenist - Korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur bertambah satu…

Kabar PA GMNIMarhaenis

Ahmad Yandi Khadafi: Hakim Tak Boleh Jadi Alat Kekuasaan: Wujudkan Asas Keadilan, Bebaskan Hasto!

Tangerang, Marhaenist.id - Proses hukum terhadap Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kini…

Historical

Kudeta Merangkak Soeharto, Upaya Jahat Terhadap Sang Proklamator

Marhaenist.id - Bisa jadi apa yang dialami Soeharto sepanjang Mei 1998 adalah…

IndonesianaKabar PA GMNI

Eros Djarot Resmi Rilis Buku Berjudul “Autobiografi Erros Djarot jilid 1” dan “Erros Djarot: Apa Kata Sahabat”

Marhaenist.id, Jakarta - Politikus dan budayawan Soegeng Rahardjo Djarot yang akrab disapa…

Opini

Teror Kepala Babi dan Intimidasi Terhadap Pers

Marhaenist.id - Kita hidup di era di mana pertarungan ideologi dan kepentingan…

Opini

Studi Terhadap Prilaku Keserakahan, Seberapa Mengerikannya Manusia? (Bagian 2)

<<....Sambungan Hal ini juga terjadi pada kita selaku manusia, walau tidak dapat…

IndonesianaOpini

Pati Efek dan Demokrasi Kekuasaan Negara

Marhaenist.id - Siapaka sangka hari ini kita telah melihat secara langsung maupun…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?