By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Masa Jabatan Legislatif Tanpa Ujung: Celah yang Mengancam Alam Demokrasi
Konflik Politik di Buton Selatan Memanas: Bupati dan Wakilnya Saling Lapor, GMNI Kritik Ketidakdewasaan Kepemimpinan Daerah
Pesan Bung Karno Pada GMNI: Revolusi Adalah Menjebol dan Membangun!
Pancasila dan Materialisme Historis: Perspektif Filsafat Ilmu
Darimana Asal Mula Istilah Kiri Itu Muncul, Ini Jawabnya!

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.
Opini

Masa Jabatan Legislatif Tanpa Ujung: Celah yang Mengancam Alam Demokrasi

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Kamis, 20 November 2025 | 12:38 WIB
Bagikan
Waktu Baca 7 Menit
Ilustrasi by Indonesiana/MARHAENIST.
Bagikan

Marhaenist.id – Diskursus mengenai pembatasan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat seiring menguatnya kekhawatiran publik bahwa lembaga legislatif berpotensi menjadi ruang akumulasi kekuasaan tanpa batas. Hingga hari ini, masa jabatan DPR, DPD, dan DPRD masih tidak dibatasi kemungkinan dipilihnya kembali. Artinya, siapa pun yang telah menjabat dapat terus duduk sebagai anggota legislatif selama ia mampu mempertahankan kursinya lewat pemilu. Secara yuridis, ketentuan ini bersandar pada Pasal 76 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang hanya mengatur bahwa masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun,
tanpa menyebutkan batasan periode.

Situasi ini telah berulang kali dipersoalkan melalui jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon umumnya berargumen bahwa ketiadaan pembatasan periode jabatan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional warga negara yang menjunjung persamaan hak dan kesempatan politik yang setara. Namun hingga kini, Mahkamah Konstitusi belum pernah mengabulkan permohonan tersebut. Dengan demikian, posisi hukum kita masih mengakui kemungkinan masa jabatan legislatif yang tak terbatas.

Ketidakterbatasan masa jabatan ini menimbulkan kekhawatiran serius terkait konsentrasi kekuasaan. Hal ini kontras dengan pengaturan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang tegas dibatasi maksimal dua periode sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 UUD 1945. Pembatasan tersebut lahir dari kesadaran historis bangsa ini atas bahaya kekuasaan yang terlalu panjang dan terlalu besar, yang pada akhirnya dapat bertransformasi menjadi otoritarianisme yang dibungkus stabilitas. Jika eksekutif dibatasi demi mencegah tirani, maka logika yang sama seharusnya juga berlaku bagi legislatif.

Banyak negara demokratis telah menerapkan pembatasan jabatan untuk parlemen. Kosta Rika, misalnya, membatasi periode anggota legislatif untuk mencegah konsentrasi kekuasaan dan membuka akses politik bagi warga negara yang lebih luas. Bolivia menerapkan formula serupa dengan tujuan menyeimbangkan dinamika politik dan mendorong regenerasi. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa pembatasan masa jabatan bukan sesuatu yang asing dalam demokrasi modern; sebaliknya, ia merupakan mekanisme penting untuk menjaga agar kekuasaan tidak menjadi ruang yang tertutup.

Baca Juga:   Integritas vs Manipulasi: Tantangan Lembaga Survei Dalam Pemilihan Kepala Daerah

Sejarah panjang pemikiran politik memberi peringatan tentang bahaya kekuasaan yang tidak terkendali. Lord Acton pernah mengingatkan, “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely.” Ungkapan ini bukan sekadar retorika, tetapi refleksi mendalam bahwa kekuasaan yang terlalu lama di tangan kelompok yang sama akan cenderung menumpuk kepentingannya sendiri, sering kali dengan biaya yang ditanggung publik. Dalam konteks DPR, tanpa pembatasan periode, lembaga ini berpotensi menjadi tempat bagi oligarki politik untuk berakar dan menguat. Seseorang atau kelompok tertentu dapat mendominasi proses legislasi selama puluhan tahun, bahkan seumur hidup, selama mereka
tetap terpilih.

Di sinilah relevansi pemikiran Gustav Radbruch, yang menyebut bahwa hukum idealnya mencerminkan tiga tujuan besar: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Ketika kita melihat absennya pembatasan masa jabatan DPR, ketiga tujuan ini justru tergerus. Keadilan terganggu karena kesempatan politik menjadi timpang; mereka yang sudah kuat secara
elektoral semakin mudah mempertahankan posisinya, sementara wajah-wajah baru sulit menembus sistem. Dari perspektif kemanfaatan, DPR yang dihuni orang-orang yang sama
dalam jangka panjang berpotensi kehilangan kesegaran ide dan semangat perubahan. Dan dari sisi kepastian hukum, siklus kekuasaan yang tanpa batas membuat proses politik menjadi terlalu bergantung pada kontinuitas individu, bukan pada institusi yang sehat.

Masalah ini semakin kompleks ketika kita memeriksa kondisi internal partai politik sebagai sumber utama rekrutmen para legislator. Partai politik di Indonesia umum digambarkan memiliki problem laten berupa praktek oligarki internal. Tidak sedikit partai yang dikelola seperti milik pribadi atau keluarga, sehingga keputusan-keputusan strategis terpusat pada segelintir elite. Selama tidak ada pembatasan masa jabatan legislatif, praktek oligarki partai berpeluang besar untuk terus hidup dan bahkan menguat. Para elite partai dapatmemastikan bahwa orang-orang dekat, loyalis, atau bahkan kerabat mereka menempati kursi legislatif secara terus-menerus. Dalam kondisi seperti ini, parlemen berisiko menjadi perpanjangan tangan oligarki partai, bukan wakil rakyat secara substantif.

Baca Juga:   Manajer Asing Pimpin BUMN: Saatnya Berhenti Merasa Rendah Diri

Partai politik yang oligarkis cenderung menutup ruang bagi regenerasi. Figur-figur baru yang memiliki integritas, kapasitas, dan gagasan segar sering kali sulit menembus struktur kekuasaan internal karena dianggap mengganggu kenyamanan status quo. Mekanisme pemilu pun tidak sepenuhnya dapat mengoreksi ini, sebab hasil akhir masih banya dipengaruhi struktur internal partai dalam menentukan siapa yang diberi peluang maju.

Tanpa pembatasan periode, sistem ini akan terus berulang dan mengakar dari pemilu ke pemilu. Maka, pembatasan masa jabatan bukan hanya upaya untuk memutus rantai kekuasaan yang terlalu panjang, tetapi juga untuk memulihkan dinamika politik yang sehat. Pembatasan periode akan menciptakan sirkulasi kepemimpinan yang lebih teratur. Ini membuka ruang regenerasi bagi politisi muda, profesional, akademisi, dan berbagai kelompok masyarakat yang selama ini kesulitan masuk dalam arena politik yang dikontrol elite. Dari sisi publik, pembatasan periode juga dapat meningkatkan akuntabilitas anggota DPR. Mereka yang tahu bahwa masa pengabdiannya dibatasi cenderung lebih fokus meninggalkan legacy yang baik daripada sekadar mempertahankan kursi tanpa batas.

Secara yuridis, pembatasan masa jabatan DPR juga dapat memperkuat tujuan hukum sebagaimana dikemukakan Radbruch. Keadilan terwujud karena setiap warga negara memiliki peluang yang lebih seimbang untuk berpartisipasi. Kemanfaatan tercapai karena parlemen dapat terus diperbarui dengan energi, ide, dan perspektif baru. Sementara kepastian hukum diwujudkan melalui aturan yang memberi batas waktu yang jelas bagi setiap legislator, sehingga siklus politik menjadi lebih tertata dan sehat.

Pada akhirnya, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang membuka ruang bagi kebaruan, tidak hanya mempertahankan mereka yang sudah lama berkuasa. Pembatasan masa jabatan anggota DPR adalah langkah mendasar untuk menjaga agar parlemen tetap menjadi institusi yang hidup, dinamis, akuntabel, dan benar-benar mewakili rakyat. Tanpa langkah ini, risiko oligarki politik akan terus membayangi, dan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif dapat terus menurun. Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang tentang bahaya kekuasaan yang tanpa batas. Maka, pembatasan masa jabatan DPR bukan sekadar opsi, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan masa depan demokrasi yang lebih sehat, terbuka, dan adil bagi semua.***

Baca Juga:   Krisis Penyerapan Susu Lokal Menuai Aksi Simbolis Mandi Susu di Boyolali

Penulis: Rendy Rizaldy Putra, S. Pd, Mantan Sekretaris GMNI DIY 2022-2024.

iRadio
Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Konflik Politik di Buton Selatan Memanas: Bupati dan Wakilnya Saling Lapor, GMNI Kritik Ketidakdewasaan Kepemimpinan Daerah
Kamis, 20 November 2025 | 02:47 WIB
Pesan Bung Karno Pada GMNI: Revolusi Adalah Menjebol dan Membangun!
Kamis, 20 November 2025 | 00:57 WIB
Pancasila dan Materialisme Historis: Perspektif Filsafat Ilmu
Kamis, 20 November 2025 | 00:23 WIB
Darimana Asal Mula Istilah Kiri Itu Muncul, Ini Jawabnya!
Rabu, 19 November 2025 | 20:41 WIB
Kritik Pernyataan Menkum, Zainal Arifin Mochtar: Putusan MK Tidak Selalu Prospektif, Polri Harus Segera Lakukan Penyesuaian
Rabu, 19 November 2025 | 14:22 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Menyalakan Api Konferensi Asia-Afrika
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi

Lainnya Dari Marhaenist

Gelar PPAB Ke 3, DPK GMNI FISIP UHO Kendari Berharap Lahirkan SDM yang Berkualitas

Marhaenist.id, Kendari - Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Menjelang 100 Hari Pemerintahan WS-HADIR, GMNI Mamasa Serukan Refleksi Pancasila sebagai Dasar Kepemimpinan

Marhaenist.id, Mamasa - Jelang Hari Lahir Pancasila, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Tanggapi Soal Dimanika Bangsa, DPP PA GMNI Sebut Ajaran Bung Karno Masih Relevan dengan Perkembangan Zaman

Marhaenist.id, Blitar - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa…

Cegah Provokasi dan Anarkisme, GSNI Surabaya Tegaskan Komitmen Gerakan Damai

Marhaenist.id, Surabaya - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) Kota…

DPC PA GMNI Touna Apresiasi Kunjungan Bubati ke Mahasiswa Touna di Gorontalo

Marhaenist.id, Touna - Dewan Pengurus Cabang (DPC) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa…

Jeritan Sunyi Dalam Bayangan Hantu Pelecehan Seksual Terhadap Anak

Marhaenist.id - Pelecehan terhadap anak-anak merupakan pembunuhan karakter manusia sejak dini, yang…

Saatnya Alumni GMNI Perkuat Narasi Persatuan di Medsos

Marhaenist - Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) diminta untuk memperbanyak narasi…

Gelar Diskusi Publik, GMNI-FMN-AGRA-GSBI: Agenda Reforma Agraria dalam Bayang-Bayang Militerisme dan Ancaman Krisis Pangan

Marhaenist.id, Jakarta – Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI) Jakarta…

Salah Satu Pendiri GMNI Wafat, Media Marhaenist.id Bersedih dan Merasa Kehilangan

Marhaenist.id, Kendari - Media Marhaenist.id menyampaikan duka cita yang mendalam dan kesedihannya…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

🎧 Online Radio

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Merdeka!

Masuk ke akunmu

Lupa passwordmu?