Marhaenist.id, Halut – Kasus Kekerasan Dalamy Rumah Tangga (KDRT) yang sempat viral pada September 2024 lalu, kini menjadi hangat kembali menjadi perbincangan dikalangan masyarakat Halut.
WAS (inisial), menjadi korban kekerasan fisik yang diduga dilakukan oleh suaminya sendiri, RZE anggota aktif Polres Halmahera Utara (Halut) Provinsi Maluku Utara (Malut).
Akibat dari kekerasan tersebut, WAS mengalami patah gigi dan luka di bagian wajah akibat kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.
Atas hal itu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Halut melalui Kabid Hukum dan HAM, Erens Malicang, menegaskan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal atas perbuatannya.
Tapi kenyataaannya pada proses sidang, kata Erens, pelaku dituntut dengan tuntutan yang tidak sebanding dengan perbuatannya yakni hanya 1 tahun saja dan bahkan diistimewakan tanpa penahanan.
“Sayangnya, dipersidangan pelaku hanya dituntut 1 tahun penjara dikurangi masa tahanan. Pada tingkat penuntutan terlihat tututan tidak sebanding dengan perbuatan pelaku. Pada tingkat penyidikan, ia juga terkesan pelaku diistimewakan karena tidak ditahan padahal pasal yang menjeratnya memuat ancaman pidana 5 tahun penjara yang seharusnya telah memenuhi syarat menurut undang undang untuk ditahan,” ujarnya.
Lanjut, Erens menambahkan bahwa, seharusnya pelaku dihukum lebih berat dari apa yang diminta oleh jaksa penuntut umum, apalagi pelaku adalah seorang oknum polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat bukan justru sebaliknya melakukan kekerasan.
Terlebih menurut keterangan saksi yang merupakan korban KDRT waktu memberikan kesaksian di pengandilan bahwa perbuatan pelaku sudah kesekian kalinya bahkan ketika korban sedang mengandung 3 bulan.
“Ini yang menjadi bahaya dalam penegakan hukum karena hukum terkesan milik penguasa. Bila yang tertimpa adalah orang kecil, hukum terlihat bekerja sesuai pada tempatnya. Namun apabila yang menjadi pelaku adalah orang yang berada atau berpangkat, hukum seoalah mengalami kelumpuhan sehingga tidak bisa berjalan memberantas kejahatan. Hal ini akan mempengaruhi paradigma masyarakat bahwa hukum itu tumbul ke atas, tajam kebawa,” tambah Erens.
Bahkan yang lebih parahnya lagi korban kekerasan rumah tangga yang seharusnya dilindungi oleh penegak hukum berubah menjadi terbalik dimana korban dilaporkan dugaan KDRT dengan locus dan tempus delicti yang sama.
Padahal sangat tidak beralasan bahwa kasus yang sama dengan locus dan tempus delicti yang sama diperiksa lebih dari satu kali, karena ini mencederai objektifitas penegak hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Kerena jelas hal itu akan membuat orang dengan sesuka hati memanfaatkan celah itu untuk mempermainkan hukum.
“Sungguh miris penegakan hukum kita. Terkesan mendiskriminasi pihak korban seolah bersalah. Padahal kalau ditelaah lebih jauh menurut keterangan korban saat memberikan kesaksian di pengadilan, korban hendak membela diri dengan menggigit tangan pelaku karena sesak nafas akibat dicekik oleh pelaku. Sehingga sangatlah beralasan bagi korban untuk membela diri,” tandas Erens.
GMNI Halut berahap ada hal yang dibenahi oleh setiap lapisan masyarakat, termasuk setiap penegak hukum kita adalah mengembalikan hukum pada tempatnya yang tepat yakni melindungi orang dari segala kejahatan bukan justru sebaliknya membahayakan orang yang mengalami kejahatan.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.