Marhaenist.id – Pemerintah kembali membuka keran impor garam industri dan gula mentah dengan alasan menjaga stok dan stabilitas harga. Keputusan ini seolah menjadi solusi instan yang selalu diulang ketika produksi dalam negeri dianggap tidak mencukupi.
Namun demikian, di balik kebijakan ini, ada pertanyaan mendasar yang harus diajukan: Mengapa Indonesia, negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, serta negara agraris dengan lahan perkebunan tebu yang luas, masih bergantung pada impor garam dan gula?
Atas hal tersebut, Pemerintah beralasan bahwa garam lokal tidak memenuhi standar industri dan impor gula mentah diperlukan untuk menjaga harga tetap stabil. Tetapi, apakah solusi ini benar-benar berorientasi pada kepentingan nasional, ataukah hanya sekadar upaya mempertahankan sistem yang lemah dan menguntungkan segelintir pihak?
Sebenarnya, impor garam dan gula bukanlah fenomena baru. Setiap tahun, pemerintah mengumumkan rencana swasembada, tetapi setiap tahun pula target itu gagal tercapai. Alih-alih mengevaluasi penyebab kegagalan dan mencari solusi jangka panjang, pemerintah justru terus-menerus mengandalkan impor.
Dalam industri garam, pemerintah berdalih bahwa produksi dalam negeri belum mampu memenuhi standar kebutuhan industri. Namun, pernyataan ini hanya menutupi kenyataan bahwa tidak ada upaya serius untuk meningkatkan kualitas garam lokal. Para petani garam dibiarkan berjuang sendiri menghadapi tantangan seperti minimnya teknologi pengolahan, buruknya infrastruktur, dan rendahnya harga jual.
Jika pemerintah benar-benar ingin mencapai swasembada garam, seharusnya fokus utama adalah membangun ekosistem industri yang mampu menghasilkan garam berkualitas, bukan sekadar mengimpor.
Hal serupa terjadi dalam sektor gula. Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menyatakan bahwa impor gula dilakukan bukan karena produksi dalam negeri tidak cukup, tetapi untuk menambah cadangan agar harga tetap stabil.
Jika memang produksi cukup, mengapa pemerintah tetap merasa perlu melakukan impor? Pernyataan ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam tata kelola distribusi dan pengendalian harga yang lebih mendalam.
Kedua kasus ini menunjukkan pola yang sama: pemerintah selalu memilih jalan pintas dengan impor, tanpa benar-benar menyelesaikan akar masalah dalam industri garam dan gula nasional.
Kebijakan impor ini juga bertentangan dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, yang sebelumnya mengumumkan bahwa Indonesia tidak akan mengimpor empat komoditas pangan utama pada 2025, yakni beras, garam konsumsi, gula konsumsi, dan jagung. Namun, pernyataan ini terbukti tidak sepenuhnya akurat, karena pemerintah tetap membuka pintu impor untuk garam industri dan gula mentah.
Ketidakkonsistenan ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah keputusan ini benar-benar berdasarkan kepentingan nasional, ataukah ada tekanan dari kelompok tertentu yang menginginkan impor tetap berjalan? Mengingat besarnya keuntungan dari bisnis impor, publik patut curiga adanya kemungkinan bahwa keputusan ini lebih menguntungkan korporasi tertentu daripada petani dan produsen lokal.
Selain itu, alasan bahwa impor gula mentah dilakukan untuk menjaga harga tetap stabil sudah selayaknya patut dikritisi. Jika harga gula dalam negeri naik, mengapa solusinya harus impor? Mengapa tidak memperbaiki sistem distribusi atau memberikan insentif kepada petani tebu agar produksi meningkat?
Kebijakan seperti ini hanya menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih solusi jangka pendek daripada membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Impor garam dan gula dalam jumlah besar memiliki dampak serius terhadap petani dan industri lokal. Ketika produk impor membanjiri pasar dengan harga yang lebih murah, petani garam dan tebu lokal akan semakin sulit bersaing. Harga jual produk mereka bisa turun drastis, menyebabkan mereka mengalami kerugian besar.
Di sektor gula, petani tebu yang bersiap panen pada bulan April berisiko mengalami penurunan harga akibat masuknya gula mentah impor. Jika harga di tingkat petani terlalu rendah, mereka bisa kehilangan insentif untuk terus menanam tebu, yang dalam jangka panjang bisa semakin melemahkan produksi dalam negeri.
Begitu pula dalam industri garam, petani lokal terus menghadapi kesulitan karena garam impor yang lebih murah menguasai pasar. Tanpa adanya kebijakan protektif yang berpihak pada petani lokal, mereka akan semakin terpinggirkan, dan industri garam nasional akan semakin bergantung pada impor.
Salah satu alasan utama yang dikemukakan pemerintah dalam kebijakan impor gula adalah untuk mengendalikan inflasi, karena harga gula disebut berkontribusi terhadap inflasi sebesar 1,4%. Namun, angka ini seharusnya tidak digunakan sebagai justifikasi utama tanpa mempertimbangkan solusi lain yang lebih bersifat jangka panjang.
Jika pemerintah khawatir terhadap inflasi, seharusnya mereka fokus pada efisiensi distribusi, peningkatan produktivitas dalam negeri, serta insentif bagi petani agar produksi tetap tinggi. Mengandalkan impor setiap kali harga naik bukanlah strategi yang bijak, karena dalam jangka panjang hal ini hanya akan memperburuk ketergantungan terhadap pasar luar negeri.
Selain itu, impor garam dan gula juga membuat Indonesia semakin rentan terhadap fluktuasi harga global dan kebijakan negara pengekspor. Jika suatu saat negara pengekspor membatasi pasokan atau menaikkan harga, maka Indonesia akan menghadapi krisis yang lebih besar. Kebijakan impor yang terus-menerus tanpa strategi pembangunan industri dalam negeri hanya akan melemahkan ketahanan pangan nasional.
Atas hal itu, alih-alih terus mengandalkan impor, pemerintah seharusnya fokus pada langkah-langkah strategis yang lebih berkelanjutan, seperti:
Pertama, investasi dalam teknologi pengolahan garam agar produksi dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan industri.
Kedua, perbaikan sistem tata niaga gula untuk memastikan harga tetap stabil tanpa harus mengandalkan impor.
Ketiga, insentif bagi petani garam dan tebu agar mereka dapat meningkatkan produksi dengan harga jual yang kompetitif.
Keempat, penguatan regulasi impor agar tidak mengganggu pasar lokal dan hanya digunakan sebagai opsi terakhir dalam keadaan darurat.
Tanpa kebijakan yang berpihak pada industri dalam negeri, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus ketergantungan impor yang tidak kunjung berakhir.
Jika pemerintah benar-benar ingin mencapai kedaulatan pangan, maka solusi yang diambil tidak boleh sekadar jalan pintas, tetapi harus berorientasi pada pembangunan jangka panjang yang mendukung petani dan produsen lokal.***
Penulis: Edi Subroto, Alumni GMNI Yogyakarta.