By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Gubernur NTT Menyerbu Kampung Adat: Transisi Energi atau Kolonialisme Baru?
Resmi Lantik PA GMNI Sulteng dan Sulbar, Prof Arief Hidayat Ajak Kader Teladani Pendiri Bangsa untuk Jaga Indonesia
Resensi Ekologi Marx – John Belammy Foster
PB Jakarta Bangun Koperasi ‘Bottom Up’
Kisruh Koperasi dan MRT Bikin Iklim Usaha Buruk,  Ketua PB Jakarta Apresiasi Kebijakan Pramono Anung

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Gubernur NTT Menyerbu Kampung Adat: Transisi Energi atau Kolonialisme Baru?

Trian Walem
Trian Walem Diterbitkan : Selasa, 16 September 2025 | 05:17 WIB
Bagikan
Waktu Baca 5 Menit
Alexander Pekuali (Ketua Umum HIPMA Flobamora)/MARHAENIST.
Alexander Pekuali (Ketua Umum HIPMA Flobamora)/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena, ke Poco Leok, Kabupaten Manggarai, pada 16 Juli 2025, menyisakan pertanyaan fundamental tentang arah pembangunan dan relasi kekuasaan negara terhadap masyarakat adat di Indonesia. Kunjungan itu berlangsung dalam kawalan aparat bersenjata lengkap dan terjadi di tengah penolakan panjang warga terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Poco Leok, yang dikerjakan PT PLN sebagai perluasan dari PLTP Ulumbu.

Narasi resmi menyebut proyek ini sebagai bagian dari transisi energi menuju sumber daya bersih dan berkelanjutan. Namun, bagi masyarakat adat Poco Leok, proyek ini justru menjadi ancaman nyata bagi ruang hidup ekologis dan keberlanjutan budaya mereka. Selama dua tahun terakhir, warga mengalami intimidasi, pengukuran lahan sepihak, dan kriminalisasi. Data koalisi masyarakat sipil menunjukkan setidaknya 22 warga, termasuk jurnalis, telah diproses hukum akibat konflik ini.

Alih-alih memfasilitasi dialog yang terbuka, kehadiran gubernur dengan iring-iringan aparat bersenjata memperkuat kesan bahwa negara memilih pendekatan koersif ketimbang deliberatif. Simbolisme ini menjadi ironis ketika pertemuan yang digelar hanya melibatkan lima perwakilan warga, bukan forum konsultatif yang inklusif.

Dalam teori kekuasaan Michel Foucault, negara modern tidak hanya bekerja melalui pemaksaan fisik, tetapi juga melalui kontrol atas ruang, wacana, dan rasa takut. Pendekatan semimiliteristik dalam kunjungan gubernur memperlihatkan bahwa kekuasaan di NTT belum bertransformasi menjadi kekuasaan demokratis yang partisipatif. Ia masih bekerja dengan logika dominasi dan pengendalian.

Proyek PLTP ini dilakukan tanpa partisipasi penuh warga yang terdampak, yang dalam standar hak asasi manusia dikenal sebagai Free, Prior and Informed Consent. Bahkan Satgas Geotermal bentukan Pemprov NTT sendiri mengakui adanya hambatan komunikasi dan tertutupnya ruang dialog dalam proyek ini. Maka yang bermasalah bukan semata teknologinya, tetapi cara kekuasaan mengelola proyek tertutup, elitis, dan cenderung teknokratis.

Baca Juga:   Indonesia Darurat Part 2, 100 Hari Kerja = 1000 Masalah

Gereja Katolik melalui ensiklik Laudato Si’ (2015) menawarkan kerangka etika ekologi integral yang relevan untuk membaca situasi Poco Leok. Dalam dokumen tersebut, Paus Fransiskus menyatakan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari krisis sosial (paragraf 139). Ketika eksploitasi sumber daya dilakukan dengan mengabaikan hak masyarakat lokal, maka proyek tersebut tidak hanya merusak alam, tetapi juga keadilan.

Di Flores, kritik tajam datang dari Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden, yang secara terang menolak proyek geotermal ini dalam pertemuannya dengan Gubernur NTT pada April 2025. Uskup menilai proyek ini tidak memihak rakyat dan berisiko merusak tatanan sosial ekologis lokal. Sikap Gereja tersebut sejalan dengan prinsip Laudato Si’ bahwa pembangunan sejati harus “menjunjung martabat manusia dan bersifat menyeluruh” (paragraf 183).

Poco Leok bukan sekadar titik koordinat proyek, tetapi wilayah adat yang memiliki nilai ekologis dan spiritual. Ketika tanah dilihat hanya sebagai aset energi dan warga sebagai hambatan, maka yang terjadi bukan pembangunan, melainkan perampasan.

Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan memang menjadi keharusan global dalam menghadapi krisis iklim. Namun, tanpa prinsip keadilan, transisi ini bisa berubah menjadi kolonialisme baru di mana masyarakat miskin di daerah tertinggal menanggung beban demi kebutuhan industri dan pasar yang jauh dari lokasi konflik.

Pertanyaan yang lebih mendasar adalah transisi energi untuk siapa? Jika pembangunan hijau justru menambah daftar panjang penggusuran, kriminalisasi, dan perampasan hak atas tanah, maka itu bukan solusi, melainkan reproduksi ketidakadilan dalam warna hijau.

Poco Leok adalah contoh paling gamblang tentang bagaimana logika pembangunan nasional bisa berbenturan langsung dengan hak masyarakat lokal. Dalam skema ini, negara dan korporasi menjadi aktor dominan, sementara masyarakat adat kehilangan suara bahkan kehilangan tanah leluhurnya.

Baca Juga:   1 Juni dan Panggilan Sejarah: GMNI Harus Menjadi Teladan Persatuan

Kunjungan Gubernur NTT, yang dilandasi prosedur keamanan berlebihan, mestinya tidak dibaca sebagai rutinitas birokratis, melainkan sebagai cermin dari cara negara memandang rakyatnya sendiri. Kekuasaan yang baik bukan ditunjukkan lewat senjata, tetapi melalui keberanian untuk mendengar dan mengoreksi.

Dalam dunia yang tengah menghadapi krisis ekologis dan sosial yang kompleks, arah pembangunan harus ditimbang tidak hanya dengan indikator ekonomi, tetapi dengan etika ekologis dan partisipasi sejati. Tanpa itu, pembangunan hanya akan melahirkan korban dan Poco Leok hanyalah salah satu dari banyak nama yang akan terus muncul jika negara abai pada suara akar rumput.

Seperti diingatkan Paus Fransiskus, “Bumi bukanlah warisan dari leluhur, melainkan pinjaman dari anak cucu kita”. Maka pertanyaannya adalah apakah kita sedang membangun masa depan, atau justru mewariskan reruntuhan konflik kepada generasi mendatang?

Penulis: Alexander Pekuali (Ketua Umum HIPMA Flobamora)

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Resmi Lantik PA GMNI Sulteng dan Sulbar, Prof Arief Hidayat Ajak Kader Teladani Pendiri Bangsa untuk Jaga Indonesia
Minggu, 14 September 2025 | 21:45 WIB
Resensi Ekologi Marx – John Belammy Foster
Jumat, 12 September 2025 | 00:53 WIB
PB Jakarta Bangun Koperasi ‘Bottom Up’
Senin, 8 September 2025 | 00:15 WIB
Kisruh Koperasi dan MRT Bikin Iklim Usaha Buruk,  Ketua PB Jakarta Apresiasi Kebijakan Pramono Anung
Senin, 8 September 2025 | 00:07 WIB
Resensi Buku Karl Popper: Logika Penemuan Ilmiah
Minggu, 7 September 2025 | 23:24 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Kenapa Harus Adili Jokowi?
Opini
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Kabar GMNI

GMNI Jakarta Timur Gelar Dies Natalis ke-71, Gaungkan Semangat Perjuangan di Bulan Ramadan

Marhaenist.id, Jakarta – Dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-71, Gerakan Mahasiswa Nasional…

Kabar GMNI

Kelompok Cipayung Plus Jatim Ajak Masyarakat Utamakan Persatuan dan Perdamaian Bangsa

Marhaenist.id- Surabaya ,Kelompok Cipayung Plus Jawa Timur mengeluarkan pernyataan sikap terkait dinamika…

Kabar GMNI

GMNI Desak KPK Periksa Bobby Nasution dan Kahiyang Atas Dugaan IUP ‘Blok Medan’

Marhaenist.id, Jakarta - Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan,…

Kabar PA GMNI

Abdy Yuhana: Dirgahayu TNI ke 79, Politik TNI Adalah Politik Kebangsaan dan Kenegaraan

Marhaenist.id, Jakarta -  Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Persatuan Alumni (PA)…

Kabar GMNI

Kinerja Kepolisian Dipertanyakan, GMNI Mimika: Patroli Tidak Efisien Sebabkan Korban Begal di Mimika

Marhaenist.id, Timika - Kinerja aparat kepolisian di Kabupaten Mimika kembali menuai sorotan.…

Polithinking

Kunjungi Banda Neira, Ganjar Belajar Dari Hatta dan Syahrir

Marhaenist.id, Banda Neira - Ganjar Pranowo mengunjungi sejumlah tempat bersejarah saat tiba…

Marhaenis

Cegah Provokasi dan Anarkisme, GSNI Surabaya Tegaskan Komitmen Gerakan Damai

Marhaenist.id, Surabaya - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) Kota…

Kabar PA GMNI

Peringati Hari Lahir Pancasila, Sekjend PA GMNI: Momentum Penguatan Konsepsi Bernegara Bagi Oase Indonesia Raya

Marhaenist - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia…

Kabar GMNI

DPC GMNI Jaktim Dukung Pemerataan Anggaran KJP melalui Dana Sarapan Pagi Gratis

Marhaenist.id, Jakarta - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?