Marhaenist.id, Tangsel – Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Univesitas Pamulang (UNPAM) berkolaborasi besama Komite Mahasiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (Kompak) menggelar diskusi “Kebebasan beragama” bersama seluruh anggota dan Kader GMNI FEB UNPAM pada Rabu (8/5/2024).
Dalam diskusinya, Komisaris DPK GMNI FEB UNPAM, Miftahul Ulum mengatakan bahwa diskusi ini adalah bentuk sikap kita untuk merespon suatu tindakan intoleransi yang telah menimpa kawan kawan Mahasiswa Universitas Pamulang.
“Diadakannya diskusi Kebebasan beragama ini adalah untuk memberikan pemahaman terhadap anggota dan kader penting nya memiliki sikap toleransi terhadap semua umat beragama,” katanya.
Pria yang akrab disapa Bung Ulum itu juga mengatakan dalam diskusinya bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama tanpa harus diintervensi oleh orang lain.
“Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menganut suatu agama atau kepercayaan sesuai pilihannya, dan kebebasan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di muka umum maupun secara pribadi, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam beribadah, menjalankan, mengamalkan, dan mengajar,” sambungnya.
Ulum juga memberikan mengimbau kepada semua yang hadir sebagai bagian dari pemuda harus bisa menolak dengan tegas sikap dan perilaku intoleransi dan segala bentuk kekerasan.
Himbauan itu juga ditujukan untuk seluruh pemuda dan masyarakat Tangsel untuk bisa memberikan kedasaran kepada siapapun tentang pentingnya toleransi umat beragama di Tangsel dan juga Indonesia.
Apapun himbauan yang sampaikan Ulum yang dihimpun oleh Team Redaksi Marhaenist.id dilapangan adalah sebagai berikut:
“Sebab menolak keduanya adalah kunci keseimbangan demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara saling menjaga kerukunan, keharmonisan, Antar umat beragama.
Sejatinya menggugah kesadaran kita apakah benar kesan yang selama ini melekat kepada bangsa Indonesia sebagai bangsa yang toleran, ramah dan hidup rukun dalam perbedaan adalah kesan yang hakiki atau kesan yang semu.
Kasus intoleransi tidak bisa dipandang sederhana sebagai satu pandangan keagamaan sempit tanpa melibatkan berbagai faktor non keagamaan seperti kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, dan konflik sosial-budaya,” tutupnya.***
Penulis: Bung Apriansyah Wijaya/ Editor: Bung Wadhar.