Marhaenist.id, Humbang Hasundutan — Bencana alam yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatera, khususnya Sumatera Utara, tidak hanya menyisakan kerusakan fisik, tetapi juga luka psikologis mendalam bagi para korban, terutama anak-anak.
Di tengah longsor, banjir, dan kekacauan logistik, pola yang sama kembali berulang: kunjungan singkat para pejabat pusat yang datang dengan rombongan media, membagikan bantuan, lalu pergi sebelum proses pemulihan benar-benar dimulai.
Dewan Pengurus Cabang (DPC) Persatuan Alunmi (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Humbang Hasundutan (Humbahas) menilai praktik demikian menunjukkan minimnya pemahaman tentang hakikat pemulihan pasca bencana.
Menurut DPC PA GMNI Humbahas, bantuan logistik hanyalah langkah awal, bukan solusi akhir. Anak-anak yang kehilangan rumah, anggota keluarga, maupun rasa aman membutuhkan pendampingan psikologis yang konsisten dan berjangka panjang.
“Trauma tidak dapat diselesaikan hanya dengan karung beras, selimut, atau pidato seremonial. Anak-anak memerlukan kehadiran manusia yang tulus, sabar, dan mampu mendampingi mereka menata ulang rasa aman,” tegas Sekretaris DPC PA GMNI Humbahas, Ganda M. Sihite, dalam pernyataannya.
Ia menilai bahwa perguruan tinggi di Sumatera Utara memiliki potensi besar untuk mengambil peran sentral dalam pemulihan psikososial pascabencana. Mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari psikologi, kesehatan masyarakat, pendidikan, ilmu sosial, hingga keagamaan mampu menjangkau ruang-ruang yang tidak tersentuh oleh mekanisme birokrasi.
“Bencana di Sumut kembali memperlihatkan kecenderungan lama: negara hadir dengan seremoni, tetapi tidak dengan kedalaman. Anak-anak tidak membutuhkan kunjungan singkat pejabat yang datang dengan rombongan media dan pulang dengan narasi keberhasilan. Mereka membutuhkan pendampingan yang menyentuh inti kemanusiaan mereka,” ujar Ganda.
Ia menambahkan bahwa kampus tidak boleh pasif menunggu instruksi pusat. Pemulihan psikologis seharusnya berjalan beriringan dengan distribusi logistik, bukan menjadi pelengkap dalam laporan resmi penanganan bencana.
“Kita membutuhkan energi mahasiswa yang hadir tanpa pretensi, tanpa protokol, tanpa agenda politik untuk mengisi ruang kosong itu. Di titik paling sunyi dari bencana, justru kampus harus tampil,” lanjutnya.
DPC PA GMNI Humbahas menekankan pentingnya kolaborasi lokal antara kampus, gereja, komunitas adat, organisasi masyarakat, dan relawan independen. Selama ini, gerakan solidaritas akar rumput sering kali bergerak lebih cepat dan lebih relevan daripada program pusat yang membutuhkan waktu panjang dan proses administratif.
Lebih jauh, Ganda mengingatkan bahwa trauma psikologis pada anak-anak adalah aspek bencana yang paling sering terabaikan. Ketika tidak ditangani secara serius, dampak tersebut dapat mempengaruhi perkembangan anak, kehidupan sosial jangka panjang, bahkan masa depan komunitas.
“Ini bukan sekadar soal kemanusiaan, ini soal tanggung jawab moral kita sebagai anak bangsa. Jangan biarkan trauma anak-anak dirawat dengan seremoni. Pemulihan psikologis tidak boleh ditempatkan sebagai catatan kaki,” tegasnya.
Melalui rilis ini, DPC PA GMNI Humbahas juga menyerukan agar seluruh perguruan tinggi di Sumatera Utara segera menggerakkan mahasiswa sebagai relawan pemulihan psikososial di lokasi-lokasi terdampak.
“Ini bukan hanya tentang membantu hari ini, tetapi tentang menjaga masa depan anak-anak yang sedang belajar kembali percaya pada dunia. Kampus harus hadir di lapangan, di pengungsian, dan di ruang-ruang kecil tempat anak-anak mencoba tersenyum kembali,” tutup Ganda M. Sihite.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.