Marhaenist.id – Sudah enam tahun lamanya ia meninggalkan kampus. Namanya Yusuf, dulu dikenal sebagai salah satu kader GMNI yang paling lantang bersuara dalam forum-forum ideologis. Tahun 2018, setelah berbagai persoalan hidup dan keluarga, ia terpaksa meninggalkan bangku kuliah. Bukan karena malas, bukan pula karena kehilangan arah—tapi karena hidup memaksa dia memilih jalan bertahan.
Namun hari ini, di tahun 2024, ia kembali menjejakkan kaki di kampus. Langkahnya agak berat, tapi sorot matanya menyala. Ia bukan lagi mahasiswa muda yang haus panggung. Ia adalah lelaki yang kembali dengan luka, tapi juga dengan tekad yang baru.
Di depan sekretariat GMNI cabang itu, Yusuf berdiri mematung. Pintu itu dulu sering ia buka dengan tangan penuh semangat, kini terasa seperti gerbang penghakiman. Apakah mereka masih menganggapnya bagian dari rumah ini?
Tiba-tiba dari dalam, terdengar suara tawa, diskusi keras, dan nyanyian perjuangan.
“Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang banyak uang, tapi bangsa yang tahu jalan pikirannya!”
Yusuf menarik napas dalam, mengetuk pintu. Seorang adik kader membukakan.
“Bung… eh… maaf, bisa bantu? Saya Yusuf. Pernah aktif dulu di sini, tapi… saya sempat berhenti kuliah sejak 2018. Baru kuliah lagi sekarang. Saya cuma mau tanya…”
Suara Yusuf gemetar.
“…masih bisakah saya kembali jadi bagian dari ini semua? Atau saya cuma bayang-bayang masa lalu?”
Adik kader itu terdiam. Tapi dari dalam, seorang suara keras dan berwibawa menyahut.
“Bung Yusuf!”
Keluar dari dalam, seorang senior dengan pin GMNI di dadanya mendekat. Ia memeluk Yusuf tanpa ragu sambil berkata “Kau pikir api yang pernah menyala bisa padam begitu saja? Tidak, Bung. Api itu hanya redup sementara. Dan hari ini kau datang bukan sebagai kenangan, tapi sebagai kader yang lahir kembali.”
Yusuf tak bisa menahan air mata.
“Aku belum jadi alumni. Aku belum selesai kuliah. Tapi aku takut aku pun bukan anggota lagi…”
Senior itu menggenggam bahunya erat.
“Kau kembali kuliah? Kau kembali ke rumah ini? Maka kau adalah kader, Bung! Kader yang tahu rasanya jatuh dan memilih untuk bangkit. Itu bukan kelemahan. Itu keberanian yang tidak semua orang punya!”
Malam itu, Yusuf duduk di ruang diskusi, mendengarkan materi ideologi yang bahkan dulu pun belum sempat ia cerna sepenuhnya. Ia sadar, bukan status formal yang membuatnya hidup dalam organisasi ini, tapi semangat untuk terus berproses, berjuang, dan berdiri tegak sebagai Marhaenis sejati.
Dan ketika rapat ditutup dengan teriakan:
“Merdeka!!!”
Yusuf berdiri paling depan, tangannya mengepal, air matanya tumpah, dan ia menjawab dengan lantang:
“MERDEKA, BUNG! MERDEKA, SARINAH!”
Jika kau masih punya semangat, maka organisasi ini akan selalu menjadi rumah. Dan Yusuf adalah buktinya: bahwa seorang kader sejati bukan yang tak pernah jatuh, tapi yang selalu memilih untuk kembali bangkit.✊🔥.***
Penulis: Moses Serihollo, Kader GMNI.