By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Internasionale

AS-Rusia dan Metamorfosis Perang Dingin

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Jumat, 7 Maret 2025 | 14:37 WIB
Bagikan
Waktu Baca 9 Menit
Foto: Helem Tempur dengan gambar bendera AS dan China (Sumber foto: Media Indonesia)/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

“Sejarah mencatat, Perang Dingin AS vs Uni Soviet dulu dimenangkan oleh AS. Kini, Perang Dingin itu bermetamorfosis dalam bentuk persaingan AS vs Tiongkok. Siapa yang bakal jadi pemenang, masih belum jelas. Namun, satu hal yang sudah jelas: rapproachement AS-Rusia di Riyadh ialah bagian dari upaya AS untuk memenangi persaingan itu. Sejarah yang akan mencatat”

Marhaenist.id – Suka tidak suka, apa pun yang dilakukan oleh AS dalam politik internasional selalu menarik perhatian dunia. Itu jugayang terjadi ketika Menlu AS Marco Rubio bertemu dengan Menlu Rusia SergeyLavrov di Riyadh, Saudi Arabia, 18 Februari lalu. Dimediasi oleh Pangeran Mohammad bin Salman, putra mahkota Kerajaan Saudi Arabia, pertemuan itu diniatkan untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung tiga tahun.

Yang membetot perhatian dunia sejatinya bukanlah inisiatif Pangeran Salman untuk perdamaian Rusia-Ukraina itu sendiri. Namun, lebih pada fakta, bahwa pertemuan awal menuju perdamaian itu tidak dihadiri oleh Ukraina, pihak yang sedang bertikai dengan Rusia. Justru karena ketidakhadiran Ukraina, inisiatif Pangeran Salman itu memantik ramifikasi permasalahan yang tidak sederhana terhadap konflik Rusia-Ukraina.

Dunia mencatat, inilah pertemuan pertama antara kedua menlu setelah Presiden Donald Trump dilantik sebagai Presiden AS. Lantas, bagaimana memaknai pendekatan kembali antara AS dan Rusia dalam konteks konflik Rusia-Ukraina? Setidaknya ada dua alas pijak dalam memetakan lansekap konflik itu, yaitu geopolitik Eropa dan rivalitas AS-Tiongkok di panggung politik dunia.

Pertama, dipindai dari geopolitik Eropa, manuver AS yang tetiba membahas perdamaian Rusia-Ukraina tanpa melibatkan Ukraina jelas membuat Uni Eropa (UE) kawasan yang paling terimbas perang Rusia-Ukraina–kurang berkenan. Bisa dimaklumi karena dalam perspektif geopolitik Eropa, UE sangat berkepentingan agar Ukraina masuk dalam orbit kepentingan politik dan keamanan Eropa.

Itu untuk mengatakan bahwa UE ingin Ukraina bisa menjadi anggota NATO, untuk kemudian menjadi anggota UE. Namun, justru keanggotaan Ukraina di NATO itulah yang menjadi pemicu Rusia menginvasi Ukraina dan menduduki lima negara bagian Ukraina Timur
dekat perbatasan Rusia-Ukraina. Setidaknya begitulah pretext yang digunakan Rusia untuk menjustifikasi tindakannya yang melanggar kedaulatan Ukraina.

Baca Juga:   PBB Selidiki Kejahatan Perang yang Terjadi di Ukraina

Sejak perang meletus pada Februari 2022, persepsi publik mengatakan UE solid mendukung Ukraina menahan gempuran Rusia. Namun, nyatanya UE tidak kompak-kompak amat. Beberapa anggotanya tidak sepenuh hati mendukung kebijakan UE membantu Ukraina bertahan dari serangan Rusia. Hongaria dan Slovakia, misalnya, seperti gamang untuk mendukung penuh kebijakan UE membantu Ukraina.

Bisa dimengerti karena jika perang terbuka berlangsung lama, kedua negara itu yang paling terdampak sebab secara geografis mereka berbatasan langsung dengan Ukraina. Selain dua negara itu, beberapa anggota UE, terutama Jerman dan Italia, masih sangat tergantung pada suplai gas dari Rusia.

Sebelum perang, ketergantungan kedua negara itu pada gas Rusia berkisar antara 40%-50% dari kebutuhan domestik mereka. Meski setelah perang hampir semua anggota UE menurunkan impor gasnya dari Rusia, tetap saja beberapa anggota UE, terutama negara bekas sosialis-komunis, membutuhkan gas dari Rusia. Ketergantungan pada gas Rusia dan posisi geografis beberapa negara UE menjadi faktor penting dalam soliditas sikap UE terhadap perang Rusia-Ukraina.

Tidak solidnya posisi UE terhadap perang Rusia-Ukraina tentu diintip AS dengan saksama. Faktor itu pula yang menjadi basis kalkulasi AS untuk mengadakan rapproachement kepada Rusia di Riyadh. Ukraina mampu bertahan hingga hari ini tak lain karena dukungan tiga pihak: AS, UE, dan NATO.

Dari trio kekuatan penyangga Ukraina itu, AS ialah pemain utamanya. Bisa dipahami bahwa perubahan posisi AS yang mendekat ke Rusia akan mengubah imbangan geopolitik di Eropa. Pendekatan AS ke Rusia itu jelas memperlemah posisi Ukraina. Namun, justru itu yang diinginkan AS sebab dengan melemahnya dukungan untuk Ukraina akibat berubahnya sikap AS yang berpihak ke Rusia, perang Rusia-Ukraina bisa lebih cepat berakhir. Itu menjadi pertanyaan: mengapa AS ingin perang Rusia-Ukraina segera diselesaikan? Pertanyaan tersebut membawa pada pokok bahasan kedua tulisan ini.

Kedua, bagaimana implikasi pendekatan AS-Rusia terhadap rivalitas AS-Tiongkok dipanggung politik dunia? Seorang pengamat Tiongkok dan Eropa Timur, Reid Standish, dalam artikelnya di RFE (Radio Free Europe) mengatakan AS memprioritaskan kebijakan
‘membendung Tiongkok’ dalam politik luar negerinya. Kawasan Eropa dan Timur Tengah tidak akan menjadi prioritas lagi. Itu dilakukan karena AS ingin fokus di kawasan Asia-Pasifik untuk menghadang Tiongkok.

Baca Juga:   Jejak Langkah Permainan Vladimir Putin di Ukraina

Upaya AS dan sekutunya untuk membendung Tiongkok di Asia-Pasifik sangat kasatmata. Untuk tidak menyebut semuanya, pembentukan aliansi AUKUS, pembukaan kantor penghubung NATO di Tokyo dan kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina dinilai banyak pengamat sebagai bagian dari strategi geopolitik AS untuk menahan gerak laju pengaruh Tiongkok di Asia-Pasifik, utamanya di Laut China Selatan
dan Selat Taiwan. Apabila AS berhasil merangkul Rusia dan mengendurkan dukungannya kepada UE dan NATO, perang Rusia-Ukraina bisa cepat selesai. Selesainya perang Rusia-Ukraina memungkinkan AS fokus menghadapi Tiongkok di Asia-Pasifik.

Media internasional mewartakan, seusai pertemuan Menlu AS dan Menlu Rusia di Riyadh, kedua pemimpin sepakat membentuk tim teknis untuk membicarakan modalitas perdamaian Rusia-Ukraina. Pertemuan kedua menlu akan dilanjutkan pada tingkat lebih tinggi: pertemuan Trump dan Putin. Rencana pertemuan Trump-Putin mengungkit memori kolektif dunia tentang kunjungan Presiden Nixon ke Beijing 1972. Saat itu dunia masih dihantui Perang Dingin antara blok Liberal-Kapitalis dibawah AS dan blok Sosialis-Komunis di bawah Uni Soviet. Tiongkok secara ideologis lebih dekat ke blok Uni Soviet.

Kunjungan Nixon ke Beijing saat itu telah mengubah peta persaingan antara blok kapitalis dan blok komunis. Dalam suasana Perang Dingin saat itu, AS tentu berkepentingan untuk menjauhkan Tiongkok dari Uni Soviet. Benar saja, setelah kunjungan Nixon yang bersejarah itu, Tiongkok menjadi dekat dengan AS, memberi tambahan leverage politik bagi AS dalam berhadapan dengan Uni Soviet.

Suasana Perang Dingin AS vs Uni Soviet kini seolah menjelma kembali dalam bentuk lain: bermetamorfosis dalam bentuk persaingan antara AS vs Tiongkok. Meski tak sekeras Perang Dingin AS-Uni Soviet dulu, nuansa persaingan AS-Tiongkok sudah mewujud dalam berbagai bidang. Dalam geostrategi membendung Tiongkok, AS mengajak sekutunya di Asia-Pasifik (Australia dan Jepang) untuk membentuk aliansi dan kerja sama militer. Di bidang perdagangan, kedua negara terlibat saling ancam perang dagang.

Baca Juga:   IMF dan Bank Dunia Dituntut Tangani Perubahan Iklim

Dalam kerja sama minilateral, Tiongkok melalui BRICS berupaya mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional. Ketika dunia dilanda pandemi pada 2019, persaingan kedua kekuatan dunia itu juga mengemuka. Kedua negara saling tuduh tentang asal muasal virus covid-19 yang mematikan itu. Bahkan, Tiongkok melalui media internasional mengumumkan pada dunia bahwa mereka sukses mengalahkan virus celaka itu hanya dalam waktu tiga bulan.

Tak hanya itu. Ketika banyak negara gamang memerangi virus, Tiongkok justru membanggakan sistem politik partai tunggalnya yang berbasis sosialisme-ekonomi terbuka (sering dirujuk dengan terma socialist state-capitalism): Tiongkok berhasil mengalahkan covid-19 dengan cara yang padu, kuat, efektif, dan efisien. Narasi itu seolah ingin memperhadapkan sistem politik partai tunggal yang diklaim efektif dan efisien dengan demokrasi liberal-kapitalis Barat yang dinilai lamban, gaduh, dan panik dalam pengambilan keputusan.

Pada titik itu, terlihat rivalitas AS vs Tiongkok tidak hanya di bidang politik, ekonomi, dan militer. Lebih serius dari itu, rivalitas AS vs Tiongkok juga merambah ke persaingan ideologis. Persis seperti terjadi pada saat Perang Dingin AS vs Uni Soviet dulu. Sangat dimaklumi bahwa tujuan akhir dari persaingan dua kekuatan ialah memenangkan pertarungan itu.

Sejarah mencatat, Perang Dingin AS vs Uni Soviet dulu dimenangkan oleh AS. Kini, Perang Dingin itu bermetamorfosis dalam bentuk persaingan AS vs Tiongkok. Siapa yang bakal jadi pemenang, masih belum jelas. Namun, satu hal yang sudah jelas: rapproachement AS-Rusia di Riyadh ialah bagian dari upaya AS untuk memenangi persaingan itu. Sejarah yang akan mencatat.***


Penulis: Darmansjah Djumala, Dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad, Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Wina periode 2017-2021, Alumni GMNI.

Disclaimerl: Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di Media Indonesia.

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Foto: Desain Grafis oleh SP-NTT/MARHAENIST
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Senin, 25 Agustus 2025 | 17:44 WIB
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:34 WIB
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:28 WIB
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
Minggu, 24 Agustus 2025 | 21:13 WIB
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait
Sabtu, 23 Agustus 2025 | 19:24 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Peringati HUT Kemerdekaan RI, DPC GMNI Touna dan DPK GMN Bung Tomo Manajenen Gelar Nobar Sekaligus Bedah Film bersama Masyarakat
Kabar GMNI
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Kabar GMNI

Temui Kapolres, GMNI dan IMALA Minta Usut Tuntas Kasus Kematian Satpol PP Lebak Saat Pengamanan Aksi

Marhaenist.id, Lebak - Perwakilan organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional…

Kabar GMNI

Kebijakan Baru Soal Tapera, GMNI Jatim: Bentuk Pemerasan Rakyat

Marhaenist.id, Surabaya - Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia…

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. FILE/Humas Jateng Prov
Polithinking

Untuk Bangsa, Ganjar Pranowo Siap Maju Nyapres!

Marhaenist - Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo memiliki modal yang besar…

Kabar GMNI

Sambut Pemimpin Baru, GMNI PPU Lakukan Evaluasi sebagai Kado Disektor Krusial

Marhaenist.id, Penajam Paser Utara - Dalam rangka menyambutnya Bupati dan Wakil Bupati,…

Insight

Pengembangan Koperasi Listrik Zambia

Marhaenist - Delegasi pemerintah dari Zambia tiba di Nashville, Tennessee, untuk menghadiri…

Internasionale

Kemenangan Rakyat dan Ganja di Thailand

Marhaenist - Langkah pemerintah Thailand membatalkan rencana memasukkan ganja sebagai narkoba dan…

Opini

Politik Kita dan Zaman Edan

Marhaenist.id - Ketika itu seorang pujangga agung keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita…

Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan, Dendy Se. MARHAENIST
Kabar GMNI

GMNI Jaksel Tuntut Pencopotan Kapolres dan Kapolsek Terkait Pembubaran Diskusi FTA: Usut Tuntas Otak di Balik Penyerangan

Marhaenist.id, Jakarta – Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI)…

Opini

Jelang Pemilu, Apa saja Isu yang Fokus Disuarakan Caleg Perempuan Sulbar Sebagai Wujud dari Afirmasi Keterwakilan Perempuan?

Marhaenist.id - Bagaimana caleg-caleg kita menyuarakan dan membawa misi peyekesaian masalah yang…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?