27 Juli menjadi semakin kerdil, lewat begitu saja dan seakan tak bermakna. Yang rutin memperingatinya FKK 124 Korban anekdot Polri. Yah saya serius, itu sebuah pertunjukan besar yang amat lucu dan belum ada yang menjadikannya disertasi. Padahal bahan yang sangat bagus. Orang berdiam dalam rumahnya, di serang dengan batu dan senjata sampai banyak yang meninggal. Setelah penghuni tak berdaya, mereka pun diangkut lalu ditahan dan selanjutnya diadili dan diputuskan bersalah.
Lucu kan? Kalau anda menganggap itu tidak lucu, maka maaf, anda sebaiknya konsultasi dengan dokter jiwa. Kelompok itulah yang mengorganisir diri menjadi FKK 124 yang kini diketuai Raya Tampubolon. Dan merekalah yang setia memperingati 27 Juli, sekalipun hanya dengan tabur bunga, lalu minum wedang jahe di pinggir jalan. Dan Ribka Ciptaning satu-satunya anggota DPR RI yang setia menemani mereka karena dia memang anggota FKK 124, yang saat ditangkap, harus membawa bayinya yang masih menyusu. Karenanya 27 Juli menjadi identik dengan FKK 124 itu. Padahal itu bukan hari mereka. Sebab sesungguhnya ada Eksponen 27 Juli yang terdiri atas berbagai komponen daerah yang mendukung Megawati dan komponen yang lebih besar menyatu dalam MARI ( Majelis RAKYAT Indonesia) yang dipimpin Prof. Dr. Muchtar Pakpahan.
Sering pulah hanya dikaitkan PDI Perjuangan, padahal 27 Juli adalah hari besar, yang berarti besar dan membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Hari Besar walaupun kini kerdil, karena, dengan itu memicu pergerakan sehingga membesar dan akhirnya menurunkan Presiden Soeharto dari tahta yang dipertahankannya selama 32 tahun.
Orde Baru Bubar
Hari besar karena merupakan puncak dari perjuangan panjang komponen pro demokrasi melawan tirani kekuasaan Orde Baru. Dan melalui itulah terjadi perubahan yang besar sekali; kekuasaan Orde Baru pimpinan Soeharto yang sangat besar dan sangat kokoh, runtuh. Bahkan komponen Orde Baru sendiri yang amat kekar tak tersentuh menjadi berantakan. Tidak hanya pada elemen luar, malahan pada lingkup internal pun. 14 orang menteri dipimpin Ginanjar Kartasasmita yang kesemuanya adalah orang yang dibesarkan dan diberi kebesaran oleh Soeharto selama bertahun-tahun, tiba-tiba kabur tanpa pamit. Dan, ini dia yang paling monumental, Harmoko, orang yang bisa menduduki berbagai posisi penting atas petunjuk bapak Presiden Soeharto, tiba-tiba dari kursinya, Ketua DPR RI yang juga bisa didudukinya tak lain karena petunjuk bapak Presiden Soeharto, tanpa sungkan sedikitpun meminta Soeharto mengundurkan diri. Maka kekuasaan Orde Baru yang sedemikian kokohnya setelah terbangun dengan apik selama 30 tahun menjadi berantakan. Mereka bubar tanpa pesta perpisahan.
Itulah ujung perjalanan panjang kekuasaan yang dikelola dengan sistim diktator. Itu pulah puncak dari perjuangan sulit para oposan yang memberanikan diri di bawah tekanan yang luar biasa selama puluhan tahun. “Jangan orang pikir perubahan itu tiba-tiba saja. Dan jangan berpikir Peristiwa 27 Juli itu terjadi begitu saja. Itu klimaks perjuangan panjang sejumlah putra putri bangsa yang ingin memperbaiki keadaan bangsa inii” ujar Prof Dr. Muchtar Pakpahan salah satu dedengkot asli Reformasi. Sayangnya, Muchtar Pakpahan guru besar Fak. Hukum UKI Jakarta, satu di antara segelintir orang yang memiliki keberanian luar biasa melawan Soeharto, tak pernah menikmati kue Reformasi yang diperjuangkannya.
Bukan hanya Muchtar, masih ada sejumlah pemain utama yang begitu gigih berjuang tetapi kemudian menjadi penonton hiruk pikuknya orang berebut jabatan karena Reformasi. Ada Sri Bintang Pamungkas, Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, HJ. Princen, Rosa Damayanti dan beberapa tokoh yang pada zaman itu disebut orang-orang “gila”. Disebut “gila” karena berani melawan di saat mayoritas orang sedang merunduk ketakutan sekalipun menyadari terjadi kesalahan. Di zaman itu, orang setipe Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Adnan Buyung, Gus Dur, Megawati, Muchtar Lubis, adalah orang-orang yang langka. Langka karena berani di saat orang sedang ketakutan.
Kampus Yang Gersang
Begitu pun di lingkungan kampus, wilayah yang sejatinya menyuarakan kebenaran tetapi toh para penguasa kampus takluk di bawah kekuasaan Orde Baru yang memang otoriter. Kecuali beberapa yang konsisten menyuarakan kebenaran; Arbi Sanit dr UI, Arief Budiman dr UKSW Salatiga, Affan Gaffar dari UGM, Ishak Ngelyaratan di Unhas lalu kemudian Dimmyati Hartono dari Undip. Mau cari 5 orang yang berani dari setiap kampus? Ho ho……
jangan berharap.
Sekarang semua orang teriak dan mengaku reformis bahkan digelari bapak reformasi, padahal di zaman itu kampus menjadi amat gersang. Bahkan mahasiswa pun hanya segelintir saja. Justru gerakan Buruh lah yang menonjol terutama melalui SBSI yang dipimpin Muchtar Pakpahan. Sebabnya karena tangan Orde Baru ibarat gurita yang menjangkau seluruh sudut kehidupan. Tak ada yang tak terjangkau.
Keadaan baru berubah setelah peristiwa 27 Juli 1996. Peristiwa yang terjadi di sekertariat PDI Jl. Diponegoro 58 itu ibarat hujan di penghujung kemarau demokrasi yang sangat panjang. Maka sesudah peristiwa itu, demokrasi yang lama di bonsai, mulai bertunas. Karenanya 27 Juli adalah peristiwa penting bagi republik ini. Sayangnya kini menjadi kerdil, setiap tahun berlalu tanpa arti. Hanya ada tabur bunga di Diponegoro 58, itupun dilakukan FKK 124. Padahal peristiwa itu bukan hanya milik FKK 124, bukan pulah hanya milik PDI Perjuangan. Karena sebelum peristiwa itu, kekuatan pro demokrasi yang selama puluhan tahun hanya tertati-tati, mulai menggelembung. Wujudnya , Muchtar Pakpahan berhasil menghimpun 34 elemen menjadi MARI ( Majelis RAKYAT Indonesia), lembaga yang aktif melakukan mimbar bebas di Diponegoro.
Jadi itu ibarat tungku tempat memanaskan Reformasi. Tetapi kini menjadi biasa-biasa saja. Bahkan di kalangan PDI Perjuangan saja sekarang menjadi sayup-sayup saja. Malahan memunculkan anekdot. Suatu saat seorang anggota DPR RI dari PDI Perjuangan bertanya kepada dr. Ribka Ciptaning. “Mbak, apa sih dua tujuh Juli itu? “.
Penumpang Reformasi
Sungguh menyedihkan. Padahal kalau 27 Juli tidak terjadi, yang bersangkutan tidak mungkin duduk di Senayan, karena sebelumnya yang bisa masuk Senayan hanyalah orang-orang tertentu, orang yang dipoles dan dipelihara untuk menjaga kelanggengan kekuasan. Yah, orang seperti Harmoko lah, orang-orang kepercayaan Soeharto. Itulah sebabnya DPR di masa Orde Baru di kenal sebagai tukang stempel, alat untuk melegitimasi kemauan pemerintah.
Karenanya aneh seorang anggota DPR, dari PDI Perjuangan pulah, tidak tahu peristiwa 27 Juli. Padahal, sekali lagi jika tanpa perubahan, ia mustahil bisa duduk di DPR. Sama dengan Joko Widodo, jika tidak terjadi peristiwa 27 Juli, mustahil lah dia menjadi presiden. Maka Jokowi adalah salah satu warga negara yang paling diuntungkan dengan Reformasi. Tetapi bicara Reformasi jangan lalu berasosiasi tentang Amin Rais karena dia juga hanyalah satu di antara ribuan penumpang Reformasi. Buktinya sampai peristiwa 27 Juli nama dia belum muncul. Jadi maaf, Amin Rais hanyalah tipe yang terampil membaca momentum, karena walaupun dia orang kampus, jelas tidak bisa disandingkan dengan Arbi Sanit yang konsisten sebagai ilmuwan terus menyuarakan kebenaran tanpa terpengaruh cuaca. Jadi sangat jelas, dia adalah satu di antara ribuan orang yang diuntungkan Reformasi dan reformasi itu tungku besarnya di Diponegoro 58 yang meledak 27 Juli.
Sama dengan Jokowi, bahkan Jokowi orang yang lebih beruntung lagi, menjadi presiden tanpa pernah repot mengurus partai. Dan kini, Gibran anaknya pun sedang menyiapkan jas untuk pelantikan Wakil Presiden tanpa pernah repot mengurus organisasi. Hmmm…… kekuasaan memang nikmat, makanya orang berebut. Beda jauh di saat perjuangan, teramat berat mengajak orang. Karenanya kata Muchtar Pakpahan, orang yang berjuang hanyalah orang yang berani “bunuh diri kelas”.
Oleh : Yakobus Kamarlo Mayong Padang