Marhaenist – Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2024, terdapat kebijakan yang mendorong investasi di Ibu Kota Negara (IKN) dengan memberikan hak atas tanah untuk jangka waktu yang sangat panjang. Ketentuan ini mencakup Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat berlaku hingga 190 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) hingga 160 tahun. Pasal 9 ayat (2) Perpres tersebut menyebutkan bahwa HGU dapat diberikan untuk satu siklus pertama selama maksimal 95 tahun dan dapat diperpanjang untuk siklus kedua dengan jangka waktu yang sama, sementara HGB untuk siklus pertama selama maksimal 80 tahun dan juga dapat diperpanjang untuk siklus kedua dengan jangka waktu yang sama.
Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk menarik investasi, perlu dicermati bahwa jangka waktu yang sangat panjang untuk hak atas tanah ini berpotensi menimbulkan sejumlah masalah hukum dan sosial. Pemberian hak atas tanah untuk periode yang lama dapat menyebabkan konsentrasi penguasaan tanah di tangan segelintir pihak, yang berisiko mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan hak-hak adat. Hal ini berpotensi mengabaikan prinsip-prinsip keadilan sosial dan melanggar semangat reforma agraria yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan memberikan hak atas tanah dalam jangka waktu yang sangat panjang kepada investor, ada risiko bahwa akses masyarakat lokal dan kelompok minoritas terhadap sumber daya tanah akan terhambat. Tanah yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan bisa saja hanya dimanfaatkan untuk keuntungan jangka panjang segelintir pihak.
Dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state), pemerintah harus menerapkan prinsip kesetaraan kesempatan bagi seluruh warga negara dan menjaga keseimbangan antara otoritas publik dan kepentingan ekonomi. Kebijakan harus mengimbangi antara pembangunan ekonomi dengan kepentingan umum, memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menjadi afirmasi politik semata tetapi juga mendukung tujuan negara untuk kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan semangat reforma agraria.
Sejarah panjang bangsa Indonesia dalam memperjuangkan hak atas tanah dan pembangunan negara menuju kemajuan harus diimbangi dengan kebijakan yang hati-hati dan bertahap. IKN, sebagai solusi untuk meratakan pembangunan di Indonesia, harus dirancang dengan memperhatikan kepentingan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan norma-norma yang ada.
Oleh karena itu, dalam konteks IKN, penting untuk menemukan keseimbangan antara menarik investasi jangka panjang dan melindungi kepentingan masyarakat luas. Pengaturan mengenai HGU dan HGB harus memperhatikan prinsip keadilan sosial, fleksibilitas kebijakan, dan kepentingan umum, memastikan bahwa pengelolaan tanah dilakukan secara adil dan berkelanjutan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi dan kebijakan redistribusi tanah yang adil.
I Gde Sandy Satria, Peneliti di Nusantara Center for Social Research, Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya