Marhaenist.id – Bisa jadi apa yang dialami Soeharto sepanjang Mei 1998 adalah “hukum karma”, akibat dari tindakannya lebih dari tiga dekade sebelumnya, ketika Soeharto naik menuju singgasana kekuasaan melalui strategi yang kemudian populer dengan sebutan kudeta merangkak. Tidak seperti model kudeta pada umumnya, seperti biasa kita saksikan di Thailand, Filipina, atau negara-negara Amerika Latin, dimana kudeta hanya berlangsung dalam hitungan hari, bahkan jam, layaknya operasi cepat khas militer.
Sementara kudeta versi Soeharto, dilakukan secara bertahap, dengan durasi hampir setengah tahun, terhitung sejak 1 Oktober 1965, dan mencapai puncaknya saat turunnya Supersemar (Maret 1966). Karena operasi yang dilakukan Soeharto relatif lama, melalui fase berliku, hingga memperoleh sebutan “merangkak”. Beda dengan kudeta yang kita pahami selama ini, ketika sepasukan tentara merangsek ke simbol-simbol negara, seperti istana atau gedung parlemen, dengan dukungan kendaraan lapis baja.
Hukum karma seolah terjadi, ketika strategi kudeta merangkak itu diadopsi oleh sejumlah anggota kabinetnya. Dengan dimotori Ginandjar Kartasasmita (Menko Ekuin), mereka balik menentang Soeharto, pada hari-hari genting pertengahan Mei 1998. Tentu saja tidak sama persis, setidaknya dari segi waktu. Kudeta merangkak versi anggota Kabinet 1998 hanya dalam hitungan jam. Gerakan yang dilakukan Ginandjar dkk tersebut, termasuk yang mempercepat pengunduran diri Soeharto.
Manual Menuju Kekuasaan
Membahas figur Soeharto dari aspek politik mungkin sudah mencapai titik jenuh. Sementara membicarakan Soeharto sebagai figur militer, justru acapkali terlewatkan, padahal itulah habitat awal Soeharto. Rekam jejak Soeharto sebagai panglima atau komandan satuan, memberi andil pada perilakunya di ranah politik. Solusi gaya komandan satuan militer, banyak dipraktikkan Soeharto ketika menjadi Presiden, setidaknya memberinya inspirasi
Konsep ”kudeta merangkak” sebenarnya diadopsi Soeharto dari taktik satuan infanteri dalam operasi lawan gerilya. Dalam operasi lawan gerilya, pihak yang menguasai ketinggian (seperti perbukitan), dianggap lebih unggul. Itu sebabnya dalam operasi tempur, pasukan infanteri selalu berusaha merebut posisi ketinggian. Apabila posisi ketinggian sedang dalam penguasaan pihak lawan, maka harus direbut dengan cara “merangkak”. Maksudnya naik perlahan dengan cara menyusup, bukan melalui serbuan frontal.
Pada bulan-bulan terakhir 2016, istilah “kudeta merangkak” sempat muncul kembali, sehubungan rumor adanya pihak tertentu yang berupaya menghentikan pemerintahan Presiden Jokowi di tengah jalan. Aksi jalanan yang masif seperti Gerakan 411, Gerakan 212, dan seterusnya, yang kemudian memunculkan spekulasi adanya gerakan “kudeta merangkak”.
Saya sendiri berpandangan, meniru kudeta merangkak dengan segala modifikasinya, akan sia-sia belaka, mengingat strategi “kudeta merangkak” copyright-nya ada di tangan Soeharto.Jadi tidak bisa ditiru sembarang, dan lagi peristiwa besar itu tidak bisa diulang. Namun satu catatan penting, strategi itu telah memberi inspirasi bagi sekelompok orang di negeri ini yang ingin menggapai kekuasaan, mulai dari jabatan rendahan di tingkat kabupaten, sampai elit pemerintahan tingkat pusat.
Bagi yang sedikit mengikuti perilaku politisi di negeri ini, tentu pernah mendengar istilah “gerpol” (gerilya politik). Ini adalah sebuah tindakan terselubung untuk merebut jabatan atau kekuasaan yang bisa terjadi di lembaga mana saja. Gerpol sendiri bisa dianggap miniatur kudeta merangkak, mengingat karakternya yang mirip, seperti manuver terselubung para pelakunya dan dipenuhi intrik, sehingga pihak yang menjadi sasaran sama sekali tak menyadarinya, sampai suatu saat jabatan itu benar-benar lepas dari dirinya.
Petruk Menjadi Raja
Strategi atau konsep kudeta merangkak akan sulit ditiru orang lain, selain karena sudah menjadi hak sejarah Soeharto, para epigon secara umum kelasnya masih di bawah Soeharto. Kaum “plagiat” itu cuma terpesona pada hasil akhir Soeharto, ketika Soeharto sudah tiba di Istana, kemudian diikuti dengan hidup sejahtera. Acapkali kita melihat adalah gerakan instan “gerpol” di sebuah kantor atau lembaga lainnya, ketika proses dan hasilnya kurang mulus, sehingga meninggalkan jejak beruba aib memalukan.
Sebagaimana sedikit disinggung di atas, tahapan kudeta merangkak di lapangan, Soeharto membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Namun sebenarnya prosesnya sudah dirintis, sejak dirinya masih menjadi Panglima di Jawa Tengah (Kodam Diponegoro), pertengahan tahun 1950-an, dan mungkin bisa lebih jauh dari itu. Ada peristiwa yang kelihatannya sepele, namun sangat bermakna dalam memahami aspirasi Soeharto terhadap (khususnya) kesejahteraan.
Soeharto dibesarkan dalam keluarga sederhana di daerah Godean, Yogyakarta. Pernah suatu kali di masa masih kanak-kanak, baju lebaran yang sudah menempel di badan harus dilepas kembali, untuk diberikan pada adiknya, sebagai kakak Soeharto harus mengalah. Bisa kita bayangkan, kesedihan macam apa yang dirasakan Soeharto kecil ketika itu. Sudah barang tentu, pengalaman batin seperti itu tidak mungkin pernah dirasakan oleh Bapak Bangsa yang lain, seperti Bung Karno, Bung Hatta, atau Gus Dur, yang berlatar belakang keluarga mampu.
Artinya, obsesi terhadap kekuasaan (termasuk kesejahteraan) sudah dimulai sejak Soeharto belia, dan dia merencanakannya secara terukur bagaimana mencapai semua itu. Sangat jauh berbeda dengan situasi kekinian, ketika banyak orang berlomba-lomba memburu kekuasaan dan harta, tanpa perencanaan yang matang, dibanding Soeharto, kelas mereka masuk kategori abal-abal (mediocre). Seperti anggota kabinet yang membangkang pada pertengahan Mei 1998 tersebut, termasuk dalam kategori ini.
Kita bisa paham sekarang, apa yang nyaris tiap hari kita lihat soal OTT oleh KPK terhadap pejabat publik dan pengusaha, begitulah perilaku manusia kelas abal-abal dalam memburu kekayaan. Jadi apa yang kita saksikan hari ini sejatinya bukanlah ‘Soeharto-Soeharto kecil’ namun tak lebih sekadar (jawa) Petruk dadhi ratu (Petruk menjadi raja).
Metafora “Petruk menjadi raja” adalah ajaran moral untuk menjelaskan fenomena keterkejutan seseorang ketika memperoleh jabatan atau kesejahteraan secara tiba-tiba, biasanya lebih karena keberuntungan, bukan hasil kerja keras sebelumnya. Di Jakarta hari ini sangatlah mudah mencari orang-orang seperti itu, yang umumnya berhimpun di sekitar kekuasaan, yang sebelumnya bukanlah siapa-siapa, kini perilakunya cenderung snob.
Kesabaran Soeharto
Ada satu nilai dari Soeharto, yang rasanya akan sulit diulang pihak lain, yakni soal kesabarannya. Sebagaimana sudah dijelaskan secara gamblang oleh sejarah, bahwa Soeharto terobsesi untuk menundukkan dua jenderal senior AD, yakni Ahmad Yani dan AH Nasution. Dengan kesabarannya yang khas, Soeharto bisa lepas dari bayang-bayang dua jenderal tersebut.
Menonjolnya figur Ahmad Yani menjadikan Soeharto selalu berada di bawah bayang-bayang Ahmad Yani. Selama masih ada figur Ahmad Yani, Soeharto masih harus bersabar menanti pemunculannya. Membandingkan perjalanan karir keduanya menjadi menarik, karena Soeharto-lah yang menggantikan Yani sebagai Pangad (KSAD), setelah Yani ditemukan gugur di Lubang Buaya dalam Peristiwa 1965. Seolah Soeharto merupakan antitesis dari figur Yani.
Sekadar mengingatkan kembali, antara Yani dan Soehartoada ikatan kultural (bersama perwira-perwira asal Jateng lain), yang dikenal sebagai “Rumpun Diponegoro”. Dalam perjalanan waktu kita bisa melihat, antara Soeharto dan Yani terjadi sedikit perberbedaan sikap, dalam pengamalan tradisi rumpun Diponegoro. Tradisi rumpun Diponegoro yang acapkali diasosiasikan dengan nilai-nilai kebatinan Jawa (kejawen), tetap dipegang teguh Soeharto hinga akhir hidupnya. Tidak demikian dengan Yani, yang lebih kosmopolitan, sepulangnya mengikuti pendidikan Seskoad di Amerika (Fort Leavenworth).
Kemudian dalam menghadapi Nasution, kesabaran Soeharto lebih dahsyat lagi, hampir empat dekade. Sebagaimana sudah diketahui, memang sempat terjadi ketegangan antara Soeharto dengan Nasution, pada tahun 1950-an, saat Soehartomasih Pangdam Diponegoro, sementara Nasution adalah KSAD. Nasution mempersoalkan bisnis ilegal yang dilakukan Soeharto beserta kroninya saat itu.
Kesabaran Soeharto untuk menanti hari yang pas untuk “membalas” tindakan Nasution dahulu, ibarat seorang sniper (penembak runduk). Akhirnya saat yang ditunggu datang, pada penggal terakhir kekuasaannya, Soeharto memberi anugerah jenderal besar (lima bintang) pada Nasution.
Ini sebenarnya adalah parodi bagi Nasution. Bagi tokoh sekaliber Nasution, anugerah jenderal besar sebenarnya tidak terlalu berarti. Bila tidak diberikan pun, tidak mengurangi nama besar Nasution. Tampaknya Soeharto sengaja memberi pangkat ini di hari senja Nasution, ketika secara psikis dan fisik Nasution sudah melemah, sehingga tak kuasa menolaknya.
Oleh: Aris Santoso pengamat militer, bekerja sebagai editor buku paruh waktu.