Marhaenist.id – Beberapa hari ini, saya membaca kembali rekam jejak bisnis dan kebijakan Erick Thohir. Semakin saya dalami, semakin menarik. Dan jujur saja, membingungkan.
Erick seperti mempunyai dua wajah: satu di bidang bisnis yang sangat impresif, dan satu lagi di ruang publik yang sarat tanda tanya.
Kita tahu, Erick berangkat dari dunia usaha. Ia pemilik Mahaka Group, sebuah konglomerasi media dan event organizer yang melahirkan banyak jaringan radio, televisi, hingga platform digital.
Di bidang olahraga pun kiprahnya panjang. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Perbasi 2004-2006, lalu memimpin Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA) sampai 2019. Dengan jaringan dan pengaruh sebesar itu, ia punya akses luas ke lingkaran elite bisnis global.
Bukti konkretnya: Erick pernah punya saham di klub NBA Philadelphia 76ers, juga di Inter Milan dan D.C. United. Setelah melepas dua klub besar itu, ia membeli saham Oxford United di Inggris, dan di dalam negeri, menggandeng Kaesang Pangarep menguasai Persis Solo.
Singkatnya, Erick adalah figur yang tahu betul bagaimana memutar uang dan membangun jejaring kekuasaan lewat olahraga.
Tapi menariknya, justru di titik ketika Erick memegang jabatan publik sebagai Menteri BUMN, muncul sejumlah keputusan yang sulit dimengerti.

Mari kita mulai dari kasus Lalu Sudarmadi. Mantan Komisaris Utama ASDP ini mengaku dipecat sebulan setelah mengirimkan surat resmi kepada Erick Thohir pada Maret 2020.
Surat itu bukan surat pribadi, melainkan laporan pengawasan. Isi pokoknya memperingatkan bahwa proses KSU dan akuisisi PT Jembatan Nusantara berisiko merugikan negara.
Secara hukum, Lalu sedang menjalankan tugasnya. Pasal-pasal dasar dalam UU Perseroan jelas: komisaris wajib mengawasi dan memberi nasihat dengan itikad baik. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Bukannya Lalu Sudarmadi mendapat apresiasi, Lalu justru diberhentikan. Bukan hanya dia, jajaran direksi dan komisaris lain yang menolak akuisisi itu juga turut dipecat.
Kalau begini, sulit untuk tidak curiga bahwa Erick tidak nyaman dengan pengawasan. Padahal, sebagai menteri yang mengusung jargon “transparansi dan profesionalisme”, ia justru terlihat alergi terhadap kontrol internal.
Belum selesai soal itu, Maret 2025 muncul kabar baru: Erick mengangkat Silfester Matutina sebagai Komisaris PT Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food). Sekilas mungkin terlihat biasa. Tetapi masalahnya, Silfester adalah terpidana kasus pencemaran nama baik Jusuf Kalla dan sudah divonis 1,5 tahun penjara.
Yang mencengangkan lagi, keputusan itu melanggar aturan yang ditandatangani Erick sendiri.
Permen BUMN Nomor 3 Tahun 2023 mengatur bahwa calon komisaris harus berintegritas. PP No. 23 Tahun 2022 bahkan menegaskan, komisaris yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum seharusnya diberhentikan, bukan justru diangkat.
Bukankah Erick seharusnya paling tahu isi regulasi ini? Permen BUMN Nomor 3 Tahun 2023 ia yang tandatangani sendiri. Maka wajar jika publik bertanya: apakah penunjukan Silfester murni profesional, atau ada kepentingan lain di baliknya?
Masalah tidak berhenti di ranah BUMN. Di PSSI, sebagai ketua umum, Erick kembali membuat keputusan yang mengundang kontroversi: memecat Shin Tae-yong.
Alasannya disebut “karena dinamika internal tim nasional yang kompleks.” Tapi publik justru melihat yang sebaliknya: Timnas di bawah STY sedang naik daun. Arab Saudi bahkan sempat kebobolan 2-0 di GBK, performa yang jarang terjadi.
Tetapi hanya beberapa hari setelah itu, STY didepak. Begitu Timnas kalah 3-2 dari Arab Saudi di Jeddah, warganet menjadi marah. Gelombang komentar muncul di mana-mana, dan satu nama jadi sasaran: Erick Thohir. Ia dianggap sebagai biang keladi kekalahan tim nasional.
Saya tidak tahu seberapa besar pengaruh keputusan itu terhadap moral tim, tapi momentum pemecatan STY jelas tidak tepat. Ketika performa sedang membaik, publik butuh konsistensi, bukan kejutan politik.
Jika kita rangkai benang merahnya, pola Erick terlihat jelas: keputusan besar diambil dengan cepat, tetapi sering kali tidak disertai kejelasan dasar pertimbangannya. Dari ASDP, ke ID Food, hingga ke PSSI.
Saat ini, di tengah babak penentuan selanjutnya, menghadapi Irak yang tangguh, saya pribadi sedikit pesimis.
Yang saya persoalkan bukan karena kemampuan pemain Timnas, tetapi karena manajerial yang kacau. Dan seperti biasa, publik akan disuruh percaya bahwa semua ini demi kepentingan bangsa.***
Penulis: Edi Subtoto, Alumni GMNI Yogyakarta.