By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
PB Jakarta Bangun Koperasi ‘Bottom Up’
Kisruh Koperasi dan MRT Bikin Iklim Usaha Buruk,  Ketua PB Jakarta Apresiasi Kebijakan Pramono Anung
Esensi Buku Karl Popper: Logika Penemuan Ilmiah
Kenapa Harus Adili Jokowi?
Lukisan Pakde Karwo Menolak Terbakar: Isyarat Zaman dari Api Grahadi, Ramalan Jayabaya yang Hidup

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Kenapa Harus Adili Jokowi?

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Minggu, 7 September 2025 | 21:46 WIB
Bagikan
Waktu Baca 11 Menit
Deodatus Sunda, Direktur Institut Marhaenisme 27/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Sepuluh tahun Jokowi berkuasa, pembangunan Indonesia selalu dibungkus dengan cerita besar: ekonomi tumbuh, pembangunan merata, dan jalan tol di mana-mana sebagai tanda kemajuan.

Tapi, semua itu hanya tampilan luar. Di baliknya, pembangunan berjalan tanpa arah kebangsaan lebih sibuk melayani investor, menambah utang negara, dan membuat hidup rakyat makin terhimpit. Karena itu, warisan Jokowi tidak bisa sekadar dilihat sebagai kegagalan kebijakan. Ia adalah bentuk penyalahgunaan kuasa, kesalahan yang tak hanya menuntut penilaian politik, tapi juga pertanggungjawaban hukum dan moral.

Ledakan utang negara mungkin jadi gambaran paling jelas dari arah pembangunan di era Jokowi. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, per Juni 2024 jumlahnya sudah mencapai Rp 8.444,87 triliun sekitar 39 persen dari PDB.

Angka itu bukan main, naik hampir 224 persen dibanding tahun 2014 ketika ia baru dilantik. Bahkan sejak tahun pertamanya saja, utang sudah bertambah setengah kuadriliun rupiah dan terus naik tanpa rem. Masalahnya tidak berhenti pada besarnya angka. Lebih penting dari itu adalah orientasinya.

Alih-alih dipakai untuk memperkuat sektor yang benar-benar menyangkut hidup rakyat mulai dari pangan, energi, Kesehatan, uang itu justru digelontorkan untuk proyek mercusuar semacam Ibu Kota Nusantara dan kereta cepat Jakarta–Bandung, yang sejak awal sarat kepentingan politik dan investor.

Proyek Ibu Kota Nusantara dengan estimasi biaya Rp 466 triliun mungkin contoh paling gamblang. Dari jumlah itu, sekitar Rp 90,4 triliun diambil dari APBN, Rp 123,2 triliun ditutup BUMN dan swasta, sementara sisanya Rp 252,5 triliun mengandalkan skema KPBU. Hingga tahap pertama saja, sudah habis Rp 151 triliun, mayoritas dari kantong negara. Ironisnya, “kota masa depan” yang digembar-gemborkan itu kini terancam mandek.

Kementerian PUPR bahkan berencana angkat kaki pada 2026, menyerahkan tanggung jawab ke OIKN yang hanya kebagian Rp 6,3 triliun, jauh dari kebutuhan nyata Rp 21,1 triliun. Alih-alih jadi jawaban atas ketimpangan pembangunan, IKN justru menjelma simbol pemborosan, buruknya perencanaan, dan utang yang kelak dipikul rakyat. Nasib serupa terlihat pada kereta cepat Jakarta–Bandung: biaya yang awalnya ditaksir Rp 66,7 triliun kini bengkak jadi Rp 114,24 triliun, dan lagi-lagi APBN dipakai menutupinya. Polanya sama: proyek dipaksakan berjalan, rakyat akhirnya yang harus menanggung akibat.

Dalam ranah regulasi, Omnibus Law Cipta Kerja mungkin jadi warisan paling bermasalah dari era Jokowi. Undang-undang ini diklaim sebagai jalan untuk menciptakan jutaan lapangan kerja dan memanfaatkan bonus demografi.

Namun, alih-alih memberi perlindungan pada pekerja, ia justru membuka jalan lebar bagi investor asing maupun domestik. Proses pengesahannya pun terburu-buru, sarat cacat prosedur, hingga akhirnya dinyatakan inkonstitusional. Isinya melemahkan posisi buruh, mempermudah izin lingkungan, dan meresmikan praktik upah murah.

Baca Juga:   Mengawal Pemilihan Kepala Daerah Dengan Keterbukaan Informasi Publik

Lebih jauh, Omnibus Law menjadi dasar hukum bagi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digerakkan lewat Perpres. Proyek-proyek besar mulai dari food estate, jalan tol, sampai tambang, dipayungi regulasi ini. Hasilnya bukan kesejahteraan rakyat, melainkan semakin banyak konflik agraria.

Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan sepanjang 2023 ada 241 konflik agraria, melibatkan 638 ribu hektare lahan dan menjerat puluhan ribu keluarga. Mayoritas konflik itu bersumber langsung dari PSN dan investasi skala besar yang bernaung di balik Omnibus Law.

Selain itu, dekade kepemimpinan Jokowi juga diwarnai oleh maraknya kasus korupsi yang melibatkan para menterinya sendiri. Sejak periode pertama, publik dikejutkan oleh penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kasus ekspor benur dan Menteri Sosial Juliari Batubara yang menjadi tersangka korupsi bantuan sosial COVID-19, sebuah ironi ketika rakyat tengah berada di masa krisis.

Pada periode kedua, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate ikut terseret dalam skandal korupsi BTS 4G dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Terbaru, kasus yang menimpa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menjadi bukti bahwa praktik korupsi tidak hanya menjangkiti sektor politik-ekonomi, tetapi juga merusak sektor pendidikan yang mestinya menjadi fondasi masa depan bangsa.

Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka dalam proyek pengadaan Chromebook senilai Rp 1,98 triliun yang diduga direkayasa untuk menguntungkan vendor tertentu, dengan indikasi kerugian negara yang jauh lebih besar, bahkan mendekati Rp 9,9 triliun menurut catatan investigasi masyarakat sipil.

Rangkaian kasus ini menegaskan bahwa rezim Jokowi mencatat salah satu periode dengan jumlah menteri terjerat kasus korupsi terbanyak pasca-reformasi, memperlihatkan rapuhnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi dan pengkhianatan terhadap amanat reformasi.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari cengkeraman oligarki yang sejak awal menjadi fondasi kekuasaan Jokowi. Kabinet yang dibentuk bukanlah hasil seleksi berdasarkan kapasitas, melainkan buah kompromi antara elit politik, pemilik modal, dan bahkan keluarga yang ingin menjaga status quo.

Proyek-proyek strategis nasional—IKN, kereta cepat—tidak lain hanyalah instrumen untuk menumpuk modal bagi segelintir orang. Rakyat? Dipaksa menanggung utang dan menerima kerusakan sosial-ekologis sebagai konsekuensinya.

Omnibus Law Cipta Kerja pun dirancang dalam semangat yang sama: memberi karpet merah bagi investor dan pemilik modal dengan mengorbankan hak-hak pekerja serta kedaulatan rakyat. Dalam kerangka ini, praktik korupsi para menteri tidak bisa dianggap sekadar penyimpangan personal. Ia bagian dari pola sistemik, lahir dari struktur kekuasaan yang memang oligarkis.

Baca Juga:   Pro dan Kontra PT. SIM di Dusun Pelita, Bupati SBB dilema?

Kasus Nadiem menjadi contoh paling jelas. Ia semula dipromosikan sebagai wajah baru politik, generasi milenial yang teknokratik. Namun pada akhirnya, ia juga terseret ke dalam pola lama, karena siapa pun yang masuk ke dalam rezim yang dikendalikan oligarki, mau tidak mau akan ikut terjebak.

Selama sistem ini tidak diadili dan dibongkar, demokrasi hanya tinggal prosedur kosong. Negara tetap akan dikuasai oleh segelintir elit, sementara mayoritas rakyat terus menanggung biayanya.

Kerugian rakyat tidak berhenti di situ. Di sektor lingkungan, izin yang dipermudah bagi tambang dan industri ekstraktif mempercepat kerusakan ekologis: deforestasi, krisis air, dan pencemaran. Di bidang kesehatan, liberalisasi tenaga medis membuka ruang komersialisasi layanan publik.

Di bidang ketenagakerjaan, fleksibilitas kontrak dan pemangkasan jaminan sosial melahirkan precariat class yang hidup tanpa kepastian. Semua ini memperlihatkan bahwa Omnibus Law bukanlah jawaban bagi bonus demografi, melainkan instrumen untuk memperdalam ketidakadilan struktural.

Di luar kegagalan ekonomi-politik, pemerintahan Jokowi juga meninggalkan jejak suram bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi yang dulu dipandang sebagai jalan rakyat untuk mengawasi kekuasaan, pelan-pelan dipersempit ruangnya. Lembaga-lembaga yang semestinya independen seperti KPK, polisi, kejaksaan, pengadilan, bergeser menjadi alat kekuasaan. Aktivis yang kritis dikriminalisasi, lawan politik dibungkam, media dikooptasi, dan hukum dipelintir untuk menjaga kepentingan dinasti.

Apa yang tampak adalah pola, bukan kebetulan. Kasus demi kasus memperlihatkan arah yang sama: kekuasaan dijaga dengan menekan oposisi, bukan dengan memperkuat rakyat. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena perdebatan sehat malah berubah jadi ladang represi.

Semua mencapai puncaknya ketika Gibran Rakabuming, putra Jokowi, bisa melenggang menjadi calon wakil presiden. Jalannya terbuka berkat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi, lembaga yang saat itu dipimpin oleh iparnya sendiri. Peristiwa ini memperlihatkan dengan telanjang bagaimana institusi negara telah dijadikan perisai untuk melanggengkan kekuasaan keluarga.

Di titik ini, demokrasi kehilangan rohnya. Secara prosedural memang masih berjalan, pemilu tetap digelar, partai tetap berdiri, tetapi substansinya menguap. Negara tidak lagi bekerja demi rakyat banyak, melainkan demi segelintir elit dan lingkaran keluarga di sekeliling penguasa.

Situasi sekarang terasa seperti mengulang lembar lama sejarah kita. Cara Jokowi memakai aparat negara untuk mengamankan kekuasaan begitu mirip dengan pola Orde Baru di bawah Soeharto. Selama tiga dekade, Soeharto menekan lawan politik, membungkam kritik, dan membelokkan hukum demi bertahan di singgasananya. Biayanya ditanggung rakyat: kebebasan yang hilang, pelanggaran HAM, dan krisis ekonomi yang membekas.

Baca Juga:   Kongres GMNI XXII: Panggung Oportunis atau Forum Progresif?

Namun yang paling menyakitkan, saat lengser pun Soeharto tidak pernah benar-benar diadili. Padahal, jejak korupsi dan pelanggaran HAM-nya jelas ada. Negara memilih menutup mata. Luka itu dibiarkan menganga, seakan waktu bisa menyembuhkan tanpa keadilan. Itulah pola impunitas yang membuat penguasa bisa lolos, meski sudah menyalahgunakan kekuasaan.

Kini kita melihat bayangan pola yang sama. Sepuluh tahun berkuasa, Jokowi meninggalkan utang yang membengkak, proyek-proyek besar yang membebani rakyat, kemunduran demokrasi, bahkan pelecehan konstitusi. Dan ada tanda-tanda ia akan pergi tanpa dimintai pertanggungjawaban. Jika itu terjadi, bangsa ini kembali gagal belajar. Kita membiarkan sejarah berulang: pemimpin yang merugikan rakyat bisa melenggang begitu saja.

Bahaya terbesarnya ada pada warisan yang ditinggalkan. Setiap kali seorang penguasa lolos tanpa diadili, pesan yang sampai ke generasi berikutnya jelas: kekuasaan boleh disalahgunakan, hukum bisa dipelintir, rakyat bisa ditekan, asalkan kursi tetap aman. Inilah lingkaran setan yang belum pernah kita putus sejak Orde Baru dan bisa terus berulang jika tidak ada keberanian untuk menghentikannya.

Mengadiili jokowi bukanlah sekedar amarah emosional saja, apalagii persoalan “kalah” dalam pemilu, mengadili jokowi adalah keberanian untuk kemudian melahirkan sebuah preseden bahwa seorang presiden pun tidak boleh kebal hukum, karena sejatinya kedaulatan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.

kita tentu mengingat bagaimana Soeharto terlepas dari 32 tahun kekuasaanya yang penuh dengan Korupsi, Kolusi, dan nepotisme, hingga akhir hayatnya tidak pernah dibawa ke balik jeruji atau bahkan meja pengadilan. Yang menjadi persoalan bukan hanya soal utang negara yang menumpuk atau proyek besar yang gagal.

Di balik semua itu ada wajah-wajah nyata: petani yang tanahnya hilang dirampas oleh korporat besar, buruh yang dipaksa menerima upah murah akibat kebijakan gagal, aktivis demokrasi yang dibungkam, keluarga kecil yang kehilangan masa depan akibat pendidikan yang dikomersialisasi. Mereka inilah yang paling merasakan akibat dari kebijakan yang salah arah di era jokowi.

Jika Jokowi berani kita adili, pesan yang lahir sederhana tapi kuat: kekuasaan adalah Amanah kedaulatan rakyat, bukan hak istimewa. Siapa pun yang merugikan rakyat harus bertanggung jawab. Tapi jika ia dibiarkan lolos begitu saja, sejarah akan berulang.***


Penulis: Deodatus Sunda, Direktur Institut Marhaenisme 27.

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

PB Jakarta Bangun Koperasi ‘Bottom Up’
Senin, 8 September 2025 | 00:15 WIB
Kisruh Koperasi dan MRT Bikin Iklim Usaha Buruk,  Ketua PB Jakarta Apresiasi Kebijakan Pramono Anung
Senin, 8 September 2025 | 00:07 WIB
Esensi Buku Karl Popper: Logika Penemuan Ilmiah
Minggu, 7 September 2025 | 23:24 WIB
Lukisan Pakde Karwo Menolak Terbakar: Isyarat Zaman dari Api Grahadi, Ramalan Jayabaya yang Hidup
Minggu, 7 September 2025 | 19:34 WIB
Masyarakat Burnout: Dari Disipliner ke Pasca-Disipliner
Minggu, 7 September 2025 | 19:16 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Satu Tahun DPRD Binjai: Tunjangan Mengalir Deras, Produk Hukum Nihil
Kabar GMNI
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Internasionale

Jadi PM Baru dan Termuda di Thailand, Ini Rekam Jejak Paetongtarn Shinawatra

Marhaenist.id - Parlemen Thailand telah melakukan pemungutan suara atas pencalonan Paetongtarn Shinawatra, putri…

PERADAH Jakarta/MARHAENIST
Infokini

Lokasabha PERADAH Jakarta, Bryan Pasek – Eka Dharmayudha Fokus Pemberdayaan Ekonomi Keumatan

Marhaenist.id, Jakarta - Dewan Pimpinan Provinsi Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia Provinsi DKI…

InsightOpini

Menjelang Kemerdekaan RI Ke 80 Dibawah Banyang-Banyang Premanisme dan Distopia Orwellian

Marhaenist.id – Ditengah gelombang tanda tanya dikalangan pengusaha perihal logo HUT ke…

Opini

Pasang Surut Semangat Kartini dalam Gerakan Emansipasi Perempuan era Modern

Marhaenist.id - Perempuan, seringkali dianggap sebagai orang kedua atau pelengkap peran daripada laki-laki.…

Kabar GMNI

Gelar Dialog Interaktif, DPC GMNI Kendari Ulas Perspektif Pergerakan Perempuan di Masa Kini

Marhaenist.id, Kendari - Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kabar PA GMNIMarhaenis

Ahmad Yandi Khadafi: Hakim Tak Boleh Jadi Alat Kekuasaan: Wujudkan Asas Keadilan, Bebaskan Hasto!

Tangerang, Marhaenist.id - Proses hukum terhadap Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kini…

Opini

Toleransi Beragama: Jalan Hidup Damai Antar Umat Beragama di Indonesia

Marhaenist.id - Ketika anda menganggap pemeluk agama lain adalah sesat, memangnya mereka…

Indonesiana

Dukung Fatwa Mahkamah Internasional, Indonesia Minta Israel Akhiri Pendudukan di Palestina

Marhaenist.id, Den Haag - Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, pada…

Manifesto

Nasrani-Yahudi Dalam Tinjauan Madilog

AGAMA NASRANI Jesus Nazrenus Rex Jodioram Jesus dari Nazaret Rajanya Yahudi Agama…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?