Marhaenist.id – Sepuluh tahun Jokowi berkuasa, pembangunan Indonesia selalu dibungkus dengan cerita besar: ekonomi tumbuh, pembangunan merata, dan jalan tol di mana-mana sebagai tanda kemajuan.
Tapi, semua itu hanya tampilan luar. Di baliknya, pembangunan berjalan tanpa arah kebangsaan lebih sibuk melayani investor, menambah utang negara, dan membuat hidup rakyat makin terhimpit. Karena itu, warisan Jokowi tidak bisa sekadar dilihat sebagai kegagalan kebijakan. Ia adalah bentuk penyalahgunaan kuasa, kesalahan yang tak hanya menuntut penilaian politik, tapi juga pertanggungjawaban hukum dan moral.
Ledakan utang negara mungkin jadi gambaran paling jelas dari arah pembangunan di era Jokowi. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, per Juni 2024 jumlahnya sudah mencapai Rp 8.444,87 triliun sekitar 39 persen dari PDB.
Angka itu bukan main, naik hampir 224 persen dibanding tahun 2014 ketika ia baru dilantik. Bahkan sejak tahun pertamanya saja, utang sudah bertambah setengah kuadriliun rupiah dan terus naik tanpa rem. Masalahnya tidak berhenti pada besarnya angka. Lebih penting dari itu adalah orientasinya.
Alih-alih dipakai untuk memperkuat sektor yang benar-benar menyangkut hidup rakyat mulai dari pangan, energi, Kesehatan, uang itu justru digelontorkan untuk proyek mercusuar semacam Ibu Kota Nusantara dan kereta cepat Jakarta–Bandung, yang sejak awal sarat kepentingan politik dan investor.
Proyek Ibu Kota Nusantara dengan estimasi biaya Rp 466 triliun mungkin contoh paling gamblang. Dari jumlah itu, sekitar Rp 90,4 triliun diambil dari APBN, Rp 123,2 triliun ditutup BUMN dan swasta, sementara sisanya Rp 252,5 triliun mengandalkan skema KPBU. Hingga tahap pertama saja, sudah habis Rp 151 triliun, mayoritas dari kantong negara. Ironisnya, “kota masa depan” yang digembar-gemborkan itu kini terancam mandek.
Kementerian PUPR bahkan berencana angkat kaki pada 2026, menyerahkan tanggung jawab ke OIKN yang hanya kebagian Rp 6,3 triliun, jauh dari kebutuhan nyata Rp 21,1 triliun. Alih-alih jadi jawaban atas ketimpangan pembangunan, IKN justru menjelma simbol pemborosan, buruknya perencanaan, dan utang yang kelak dipikul rakyat. Nasib serupa terlihat pada kereta cepat Jakarta–Bandung: biaya yang awalnya ditaksir Rp 66,7 triliun kini bengkak jadi Rp 114,24 triliun, dan lagi-lagi APBN dipakai menutupinya. Polanya sama: proyek dipaksakan berjalan, rakyat akhirnya yang harus menanggung akibat.
Dalam ranah regulasi, Omnibus Law Cipta Kerja mungkin jadi warisan paling bermasalah dari era Jokowi. Undang-undang ini diklaim sebagai jalan untuk menciptakan jutaan lapangan kerja dan memanfaatkan bonus demografi.
Namun, alih-alih memberi perlindungan pada pekerja, ia justru membuka jalan lebar bagi investor asing maupun domestik. Proses pengesahannya pun terburu-buru, sarat cacat prosedur, hingga akhirnya dinyatakan inkonstitusional. Isinya melemahkan posisi buruh, mempermudah izin lingkungan, dan meresmikan praktik upah murah.
Lebih jauh, Omnibus Law menjadi dasar hukum bagi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digerakkan lewat Perpres. Proyek-proyek besar mulai dari food estate, jalan tol, sampai tambang, dipayungi regulasi ini. Hasilnya bukan kesejahteraan rakyat, melainkan semakin banyak konflik agraria.
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan sepanjang 2023 ada 241 konflik agraria, melibatkan 638 ribu hektare lahan dan menjerat puluhan ribu keluarga. Mayoritas konflik itu bersumber langsung dari PSN dan investasi skala besar yang bernaung di balik Omnibus Law.
Selain itu, dekade kepemimpinan Jokowi juga diwarnai oleh maraknya kasus korupsi yang melibatkan para menterinya sendiri. Sejak periode pertama, publik dikejutkan oleh penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kasus ekspor benur dan Menteri Sosial Juliari Batubara yang menjadi tersangka korupsi bantuan sosial COVID-19, sebuah ironi ketika rakyat tengah berada di masa krisis.
Pada periode kedua, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate ikut terseret dalam skandal korupsi BTS 4G dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Terbaru, kasus yang menimpa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim menjadi bukti bahwa praktik korupsi tidak hanya menjangkiti sektor politik-ekonomi, tetapi juga merusak sektor pendidikan yang mestinya menjadi fondasi masa depan bangsa.
Kejaksaan Agung menetapkannya sebagai tersangka dalam proyek pengadaan Chromebook senilai Rp 1,98 triliun yang diduga direkayasa untuk menguntungkan vendor tertentu, dengan indikasi kerugian negara yang jauh lebih besar, bahkan mendekati Rp 9,9 triliun menurut catatan investigasi masyarakat sipil.
Rangkaian kasus ini menegaskan bahwa rezim Jokowi mencatat salah satu periode dengan jumlah menteri terjerat kasus korupsi terbanyak pasca-reformasi, memperlihatkan rapuhnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi dan pengkhianatan terhadap amanat reformasi.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari cengkeraman oligarki yang sejak awal menjadi fondasi kekuasaan Jokowi. Kabinet yang dibentuk bukanlah hasil seleksi berdasarkan kapasitas, melainkan buah kompromi antara elit politik, pemilik modal, dan bahkan keluarga yang ingin menjaga status quo.
Proyek-proyek strategis nasional—IKN, kereta cepat—tidak lain hanyalah instrumen untuk menumpuk modal bagi segelintir orang. Rakyat? Dipaksa menanggung utang dan menerima kerusakan sosial-ekologis sebagai konsekuensinya.
Omnibus Law Cipta Kerja pun dirancang dalam semangat yang sama: memberi karpet merah bagi investor dan pemilik modal dengan mengorbankan hak-hak pekerja serta kedaulatan rakyat. Dalam kerangka ini, praktik korupsi para menteri tidak bisa dianggap sekadar penyimpangan personal. Ia bagian dari pola sistemik, lahir dari struktur kekuasaan yang memang oligarkis.
Kasus Nadiem menjadi contoh paling jelas. Ia semula dipromosikan sebagai wajah baru politik, generasi milenial yang teknokratik. Namun pada akhirnya, ia juga terseret ke dalam pola lama, karena siapa pun yang masuk ke dalam rezim yang dikendalikan oligarki, mau tidak mau akan ikut terjebak.
Selama sistem ini tidak diadili dan dibongkar, demokrasi hanya tinggal prosedur kosong. Negara tetap akan dikuasai oleh segelintir elit, sementara mayoritas rakyat terus menanggung biayanya.
Kerugian rakyat tidak berhenti di situ. Di sektor lingkungan, izin yang dipermudah bagi tambang dan industri ekstraktif mempercepat kerusakan ekologis: deforestasi, krisis air, dan pencemaran. Di bidang kesehatan, liberalisasi tenaga medis membuka ruang komersialisasi layanan publik.
Di bidang ketenagakerjaan, fleksibilitas kontrak dan pemangkasan jaminan sosial melahirkan precariat class yang hidup tanpa kepastian. Semua ini memperlihatkan bahwa Omnibus Law bukanlah jawaban bagi bonus demografi, melainkan instrumen untuk memperdalam ketidakadilan struktural.
Di luar kegagalan ekonomi-politik, pemerintahan Jokowi juga meninggalkan jejak suram bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi yang dulu dipandang sebagai jalan rakyat untuk mengawasi kekuasaan, pelan-pelan dipersempit ruangnya. Lembaga-lembaga yang semestinya independen seperti KPK, polisi, kejaksaan, pengadilan, bergeser menjadi alat kekuasaan. Aktivis yang kritis dikriminalisasi, lawan politik dibungkam, media dikooptasi, dan hukum dipelintir untuk menjaga kepentingan dinasti.
Apa yang tampak adalah pola, bukan kebetulan. Kasus demi kasus memperlihatkan arah yang sama: kekuasaan dijaga dengan menekan oposisi, bukan dengan memperkuat rakyat. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena perdebatan sehat malah berubah jadi ladang represi.
Semua mencapai puncaknya ketika Gibran Rakabuming, putra Jokowi, bisa melenggang menjadi calon wakil presiden. Jalannya terbuka berkat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi, lembaga yang saat itu dipimpin oleh iparnya sendiri. Peristiwa ini memperlihatkan dengan telanjang bagaimana institusi negara telah dijadikan perisai untuk melanggengkan kekuasaan keluarga.
Di titik ini, demokrasi kehilangan rohnya. Secara prosedural memang masih berjalan, pemilu tetap digelar, partai tetap berdiri, tetapi substansinya menguap. Negara tidak lagi bekerja demi rakyat banyak, melainkan demi segelintir elit dan lingkaran keluarga di sekeliling penguasa.
Situasi sekarang terasa seperti mengulang lembar lama sejarah kita. Cara Jokowi memakai aparat negara untuk mengamankan kekuasaan begitu mirip dengan pola Orde Baru di bawah Soeharto. Selama tiga dekade, Soeharto menekan lawan politik, membungkam kritik, dan membelokkan hukum demi bertahan di singgasananya. Biayanya ditanggung rakyat: kebebasan yang hilang, pelanggaran HAM, dan krisis ekonomi yang membekas.
Namun yang paling menyakitkan, saat lengser pun Soeharto tidak pernah benar-benar diadili. Padahal, jejak korupsi dan pelanggaran HAM-nya jelas ada. Negara memilih menutup mata. Luka itu dibiarkan menganga, seakan waktu bisa menyembuhkan tanpa keadilan. Itulah pola impunitas yang membuat penguasa bisa lolos, meski sudah menyalahgunakan kekuasaan.
Kini kita melihat bayangan pola yang sama. Sepuluh tahun berkuasa, Jokowi meninggalkan utang yang membengkak, proyek-proyek besar yang membebani rakyat, kemunduran demokrasi, bahkan pelecehan konstitusi. Dan ada tanda-tanda ia akan pergi tanpa dimintai pertanggungjawaban. Jika itu terjadi, bangsa ini kembali gagal belajar. Kita membiarkan sejarah berulang: pemimpin yang merugikan rakyat bisa melenggang begitu saja.
Bahaya terbesarnya ada pada warisan yang ditinggalkan. Setiap kali seorang penguasa lolos tanpa diadili, pesan yang sampai ke generasi berikutnya jelas: kekuasaan boleh disalahgunakan, hukum bisa dipelintir, rakyat bisa ditekan, asalkan kursi tetap aman. Inilah lingkaran setan yang belum pernah kita putus sejak Orde Baru dan bisa terus berulang jika tidak ada keberanian untuk menghentikannya.
Mengadiili jokowi bukanlah sekedar amarah emosional saja, apalagii persoalan “kalah” dalam pemilu, mengadili jokowi adalah keberanian untuk kemudian melahirkan sebuah preseden bahwa seorang presiden pun tidak boleh kebal hukum, karena sejatinya kedaulatan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat.
kita tentu mengingat bagaimana Soeharto terlepas dari 32 tahun kekuasaanya yang penuh dengan Korupsi, Kolusi, dan nepotisme, hingga akhir hayatnya tidak pernah dibawa ke balik jeruji atau bahkan meja pengadilan. Yang menjadi persoalan bukan hanya soal utang negara yang menumpuk atau proyek besar yang gagal.
Di balik semua itu ada wajah-wajah nyata: petani yang tanahnya hilang dirampas oleh korporat besar, buruh yang dipaksa menerima upah murah akibat kebijakan gagal, aktivis demokrasi yang dibungkam, keluarga kecil yang kehilangan masa depan akibat pendidikan yang dikomersialisasi. Mereka inilah yang paling merasakan akibat dari kebijakan yang salah arah di era jokowi.
Jika Jokowi berani kita adili, pesan yang lahir sederhana tapi kuat: kekuasaan adalah Amanah kedaulatan rakyat, bukan hak istimewa. Siapa pun yang merugikan rakyat harus bertanggung jawab. Tapi jika ia dibiarkan lolos begitu saja, sejarah akan berulang.***
Penulis: Deodatus Sunda, Direktur Institut Marhaenisme 27.