By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Reformasi Disabotase: Ketika TNI dan Polri Ingin Berkuasa Lagi

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Senin, 7 April 2025 | 16:45 WIB
Bagikan
Waktu Baca 7 Menit
Foto: Albert, Ketua DPC GMNI Malang/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Reformasi 1998 adalah tonggak sejarah penting dalam demokratisasi Indonesia. Salah satu agenda utamanya adalah restrukturisasi sektor pertahanan dan keamanan melalui penghapusan dwifungsi ABRI, yaitu peran ganda militer di bidang pertahanan dan politik. Sejak saat itu, TNI diposisikan sebagai kekuatan pertahanan negara yang profesional dan tidak berpolitik, sementara Polri diarahkan menjadi institusi sipil yang melayani masyarakat. Namun dua dekade lebih sejak reformasi, cita-cita tersebut kini terancam mundur.

Rencana revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) serta pembahasan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan masyarakat sipil. Alih-alih memperkuat akuntabilitas institusi, dua regulasi ini justru memberi ruang legal bagi ekspansi peran militer dan kepolisian ke dalam ranah sipil—sebuah langkah mundur dari prinsip negara demokratis yang menjunjung supremasi sipil.

TNI dan Ancaman Kembalinya Dwifungsi

Salah satu poin paling kontroversial dalam revisi UU TNI adalah usulan untuk memperluas peran militer dalam jabatan sipil. Dalam naskah akademik revisi UU TNI yang beredar, disebutkan bahwa prajurit aktif bisa ditugaskan di kementerian/lembaga, bahkan perusahaan milik negara (BUMN/BUMD), atas dasar kebutuhan dan penugasan negara.

Padahal, Pasal 47 ayat (2) UU TNI yang berlaku saat ini secara tegas menyatakan bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Ketentuan ini merupakan hasil perjuangan panjang reformasi yang bertujuan menjamin netralitas militer serta mencegah terulangnya dominasi militer dalam pemerintahan sipil.

Kekhawatiran publik bukan tanpa alasan. Menurut catatan KontraS, sejak 2020, terdapat kecenderungan peningkatan pelibatan militer aktif dalam jabatan sipil dan proyek strategis nasional, seperti di bidang pangan, infrastruktur, dan penanganan pandemi COVID-19. Legalisasi praktik ini melalui revisi UU hanya akan memperparah tren deprofesionalisasi militer dan membingungkan garis batas sipil-militer.

Baca Juga:   PDI-P dan Revisi UU TNI

Bahkan Komnas HAM menilai, keterlibatan TNI di luar fungsi pertahanan dapat mempersulit penegakan hukum, terutama ketika terjadi pelanggaran HAM oleh oknum militer. TNI yang tunduk pada peradilan militer kerap luput dari proses akuntabilitas publik yang berlaku dalam sistem hukum umum (Komnas HAM, 2022).

RUU Polri dan Sentralisasi Kekuasaan

Tak kalah mengkhawatirkan, RUU Polri yang tengah digodok DPR mengandung sejumlah pasal yang berpotensi memperbesar kekuasaan institusi Polri tanpa pengawasan yang memadai. Beberapa pasal mengatur perluasan fungsi intelijen kepolisian, termasuk dalam pengumpulan dan pemanfaatan data pribadi masyarakat.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 14 RUU Polri, kepolisian diberi kewenangan mengakses informasi pribadi warga negara, termasuk data biometrik, data keuangan, dan aktivitas digital, tanpa mekanisme peradilan yang ketat. Dalam konteks negara demokratis, hal ini rawan penyalahgunaan, terutama jika tidak diimbangi oleh lembaga pengawas independen.

RUU Polri juga memberi peluang perpanjangan masa jabatan Kapolri tanpa batasan yang jelas. Hal ini menciptakan ketidakpastian dalam mekanisme regenerasi kepemimpinan, serta membuka ruang intervensi politik dalam proses pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Padahal, dalam laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), disebutkan bahwa Polri adalah salah satu lembaga negara dengan indeks kepercayaan publik yang fluktuatif. Ketiadaan reformasi struktural yang sungguh-sungguh hanya akan memperdalam kesenjangan antara kepolisian dan masyarakat.

Normalisasi Kekuasaan Aparat dan Ancaman Demokrasi

Kombinasi revisi UU TNI dan RUU Polri menunjukkan arah kebijakan yang konsisten: menguatkan posisi aparatur bersenjata dalam struktur negara, bahkan dalam ruang sipil. Jika ini dibiarkan, Indonesia berpotensi kembali pada pola kekuasaan otoriter, di mana militer dan kepolisian memainkan peran politik secara langsung maupun tidak langsung.

Penguatan aparat dalam ranah sipil, seperti jabatan birokrasi, proyek strategis, hingga urusan data dan privasi warga, menandai kembalinya model pemerintahan yang represif dan tertutup. Demokrasi tidak dapat tumbuh dalam situasi di mana institusi bersenjata tidak tunduk pada pengawasan publik.

Baca Juga:   Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka

Presiden Joko Widodo pada masa awal pemerintahannya pernah menegaskan bahwa TNI dan Polri adalah alat negara, bukan alat politik kekuasaan. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Banyak pelibatan TNI dalam proyek sipil, pengamanan konflik agraria, bahkan pendekatan represif terhadap aktivis dan masyarakat adat di Papua dan Kalimantan yang justru memperuncing konflik dan memperlemah kepercayaan publik terhadap negara.

*Supremasi Sipil dan Tuntutan Reformasi Sektor Keamanan*
Kembali ke semangat reformasi, supremasi sipil adalah prinsip dasar negara demokrasi. Dalam sistem ini, institusi militer dan kepolisian tunduk kepada otoritas sipil yang dipilih secara demokratis, dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis atau mengelola urusan sipil.

Hal ini ditegaskan dalam prinsip Security Sector Reform (SSR) sebagaimana dirumuskan oleh PBB dan lembaga internasional lainnya. SSR mendorong penguatan institusi keamanan negara (militer, kepolisian, intelijen) agar efektif, profesional, dan akuntabel, serta tunduk pada prinsip hukum dan hak asasi manusia.

Di Indonesia, agenda reformasi sektor keamanan masih belum tuntas. Pelibatan aparat dalam konflik agraria, kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, serta lemahnya transparansi dalam institusi kepolisian adalah indikator bahwa pekerjaan rumah masih besar. Sayangnya, alih-alih memperbaiki institusi melalui reformasi, negara justru hendak menguatkan mereka secara regulatif tanpa kontrol yang seimbang.

Demokrasi Harus Dijaga

Revisi UU TNI dan RUU Polri bukan sekadar isu teknis perundang-undangan. Ini adalah persoalan arah negara. Apakah Indonesia akan menjadi negara demokrasi yang menghormati supremasi sipil, atau kembali ke pola otoriter yang menempatkan aparat sebagai penguasa?

Kita sebagai masyarakat sipil harus bersuara. Jangan diam ketika demokrasi dipreteli secara perlahan melalui regulasi. Kita tidak anti militer, tidak pula memusuhi kepolisian. Tetapi kita percaya, militer dan polisi yang profesional justru akan kuat bila tidak diseret ke politik dan urusan sipil.

Baca Juga:   GMNI Harus Kembali ke Jalan Persatuan

Kader-kader muda, aktivis, akademisi, dan seluruh elemen masyarakat harus mendorong parlemen dan pemerintah untuk membuka ruang dialog publik, menghentikan pembahasan yang tidak transparan, dan mengembalikan arah reformasi sektor keamanan sesuai semangat demokrasi 1998.

Demokrasi tidak hanya soal pemilu. Demokrasi adalah soal pembatasan kekuasaan. Dan saat ini, kita sedang diuji: apakah berani bersuara, atau justru membiarkan jalan mundur demokrasi terbentang tanpa perlawanan?

Referensi:
Komnas HAM (2022). Laporan Tahunan Komnas HAM RI.

KontraS (2023). Catatan Kritis Pelibatan Militer dalam Ranah Sipil.

ICJR (2023). RUU Polri dan Ancaman terhadap Perlindungan Data Pribadi.

United Nations. Security Sector Reform Integrated Technical Guidance Notes.

Wahid Foundation (2022). Demokrasi dan Supremasi Sipil di Indonesia Pasca-Reformasi.***


Penulis: Albert, Ketua DPC GMNI Malang.

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Foto: Desain Grafis oleh SP-NTT/MARHAENIST
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Senin, 25 Agustus 2025 | 17:44 WIB
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:34 WIB
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:28 WIB
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
Minggu, 24 Agustus 2025 | 21:13 WIB
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait
Sabtu, 23 Agustus 2025 | 19:24 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Peringati HUT Kemerdekaan RI, DPC GMNI Touna dan DPK GMN Bung Tomo Manajenen Gelar Nobar Sekaligus Bedah Film bersama Masyarakat
Kabar GMNI
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Kabar GMNI

Gelar Aksi, DPK GMNI UM Buton dan PK IMM Faperta UM Buton Desak Pencopotan Dosen atas Dugaan Pelecehan Seksual

Baubau, Marhaenist.id - Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Opini

Bangkitnya Massa Marhaen Penentu Kemenangan Ganjar

Banyak kalangan dari kaum Nasionalis menilai bahwa transisi kepemimpinan kali ini punya…

Kabar PA GMNI

Rayakan HUT yang Ke 80 Tahun, Guntur Sukarno Putra Luncurkan Buku ‘Sang Saka Melilit Perut Megawati’

Marhaenist.id, Jakarta - Guntur Soekarno Putra, Ketua Dewan Ideologi Persatuan Alumni (PA)…

Opini

Pemilu 2024 dan Tiktok

Marhaenis.id - Penggunaan media sosial dalam pemilu 2024 telah menjadi fakta yang…

Opini

Urgensi Kawal Pususan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dalam Penyelenggaraan Pilkada 2024

Marhaenist.id - Pada tanggal 22-23 Agustus 2024, demonstrasi massal di depan gedung…

Opini

Peningkatan PPN akan Menjadi Disinsentif Bagi Masyarakat Kecil

Marhaenist.id - Keputusan pemberlakuan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen…

Kabar GMNI

Kembali Gelar PPAB, DPC GMNI Salatiga Targetkan KTD Sebelum Juni

Marhaenist.id, Salatiga - Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPC GMNI)…

Kabar GMNI

Manifesto Ekonomi Nasional GMNI

Marhaenist.id - Akhir-akhir ini ekonomi Indonesia tengah berada dalam kondisi yang tidak…

Opini

Komitmen Kepala Daerah Dalam Pelayanan Informasi Publik

Marhaenist.id - Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia, dan keterbukaan informasi…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?