By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Arjuna Putra Aldino Lantik Pengurus DPC GMNI Halut Periode 2025-2027
DPD PA GMNI Kaltim Tolak Pemangkasan DBH yang Dinilai Sangat Tidak Adil
Tambang Rampok Hak Rakyat, Ketua PA GMNI Kaltim Desak Presiden Prabowo Hentikan Operasi 13 Perusahaan Raksasa
Gelar Konfercab Persatuan, Rifki Pratama dan Andi Supriyanto Resmi Pimpin GMNI Bima
Refleksi Hari Jadi Kabupaten Rohul Ke-26 Tahun, GMNI: Momentum Evaluasi Pembangunan dan Penguatan Nasionalisme Kerakyatan

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Konsep “Partai Perorangan” PSI

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Rabu, 12 Maret 2025 | 19:43 WIB
Bagikan
Waktu Baca 7 Menit
Foto: Kaesang Pangerap, Ketua Umum PSI (Sumber foto: Nertay)/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selama ini dikenal sebagai partai yang membawa semangat anak muda, penuh dengan ide-ide segar dan keberanian untuk menantang arus politik lama. Namun, dalam perjalanannya, PSI tampaknya justru mulai terseret ke dalam irama politik konservatif, yang mereka sendiri dahulu kritik. Dengan mengusung gagasan “Partai Perorangan” yang menekankan kepemilikan partai oleh individu dan sistem one man one vote dalam pemilihan ketua umum, PSI mencoba menampilkan dirinya sebagai partai yang lebih terbuka dan demokratis.

Namun, jika kita menelaah konsep ini lebih dalam, tampak bahwa pendekatan PSI justru berpotensi menjauh dari akar politik Indonesia yang berbasis musyawarah mufakat dan gotong royong. Selain itu, alih-alih membangun sistem yang lebih kolektif dan berbasis kebersamaan, PSI malah berisiko terjebak dalam demokrasi prosedural yang kering, yang lebih mementingkan mekanisme pemilihan ketimbang substansi politik itu sendiri.

Ironisnya, sebagai partai yang mengusung semangat anak muda, PSI seharusnya tampil lebih berani dan tidak hanya sekadar mengikuti pola politik individualistik yang diimpor dari sistem demokrasi liberal. Bukankah semangat progresif itu seharusnya bukan hanya soal tampilan modern dan pemilihan langsung, tetapi juga tentang keberanian menata ulang gagasan besar dalam politik nasional?

Bukankah seharusnya PSI menggali kembali semangat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945, yang menempatkan kolektivitas dan keadilan sosial sebagai inti politik Indonesia?

Salah satu kekeliruan mendasar dalam konsep “Partai Perorangan” adalah kecenderungannya untuk memahami partai politik sebagai milik individu-individu yang terpisah (atomistic ownership). PSI tampaknya membayangkan bahwa partai adalah kumpulan individu yang berdiri sendiri, padahal dalam realitas politik, partai merupakan entitas sosial yang berakar dalam konteks sejarah, budaya, dan perjuangan rakyat.

Baca Juga:   GMNI dan Seolah-Olah Berkuasa

Dalam pemikiran Heidegger, keterpisahan individu dari konteks sosial yang lebih luas merupakan bentuk keterasingan (Entfremdung), di mana manusia atau organisasi kehilangan hubungan autentiknya dengan realitas di sekitarnya. Jika PSI benar-benar ingin menjadi partai yang membumi, maka mereka harus memahami bahwa partai politik tidak bisa hanya dilihat sebagai kepemilikan individu yang terpisah-pisah, tetapi sebagai wadah perjuangan kolektif yang memiliki keterikatan organik dengan masyarakat.

Salah satu kelemahan utama dalam konsep PSI adalah keyakinan bahwa demokrasi hanya soal memilih. PSI tampaknya terlalu percaya bahwa dengan menerapkan sistem one man one vote, mereka telah menciptakan demokrasi yang lebih baik. Padahal, demokrasi di Indonesia sejak awal telah berakar pada musyawarah mufakat—sebuah mekanisme yang tidak hanya memungkinkan keterlibatan individu, tetapi juga menjamin keputusan yang mencerminkan kebersamaan.

Foto: Edi Subroto, Alumni GMNI Yogyakarta/MARHAENIST.

Keterputusan dari tradisi deliberatif seperti ini mencerminkan bentuk keterasingan eksistensial dalam politik. Heidegger menggunakan istilah Gerede (obrolan kosong) untuk menggambarkan fenomena ketika sesuatu tampak bermakna di permukaan, tetapi sebenarnya kosong di dalam. Jika PSI hanya sibuk berbicara tentang keterbukaan tanpa benar-benar memahami apa itu demokrasi yang berakar pada realitas sosial Indonesia, maka apa yang mereka lakukan bisa jadi hanyalah sebatas Gerede—sekadar retorika politik yang tidak menyentuh substansi.

Sebagai partai muda yang membawa semangat perubahan, PSI seharusnya melampaui demokrasi prosedural ini dan menggali lebih dalam bagaimana demokrasi bisa dijalankan dengan lebih substantif. Jangan sampai mereka hanya menjadi partai yang sibuk dengan inovasi kosmetik, tetapi kehilangan arah dalam perjuangan yang sebenarnya.

Lebih lanjut, gagasan PSI yang menyamakan dirinya dengan perusahaan terbuka (TBK) mencerminkan cara berpikir politik yang modern tetapi terasing (Entfremdung). Dengan mengadopsi analogi bisnis, PSI mereduksi politik menjadi sekadar mekanisme transaksi dan kehilangan akar nilai politik yang lebih mendalam. Padahal, partai politik bukanlah perusahaan yang sekadar mencari keuntungan atau efisiensi struktural, tetapi entitas ideologis yang seharusnya berorientasi pada nilai dan perjuangan.

Baca Juga:   Erick Thohir dan Serangkaian Keputusan Aneh

Heidegger berulang kali mengkritik bagaimana modernitas menciptakan cara berpikir instrumental yang melihat segala sesuatu dalam istilah yang terlepas dari makna esensialnya. Dalam konteks ini, PSI berisiko mengubah politik menjadi sesuatu yang impersonal, birokratis, dan tidak berakar pada perjuangan rakyat.

Dalam politik Indonesia, ada satu nilai yang telah lama menjadi ciri khas: gotong royong. Konsep ini bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi merupakan bentuk nyata dari sistem sosial yang menempatkan kebersamaan di atas kepentingan individual. Jika ditelaah lebih dalam, gotong royong memiliki kedekatan dengan prinsip sosialisme, di mana kepentingan bersama lebih diutamakan daripada sekadar kepemilikan individu.

Pasal 33 UUD 1945 dengan jelas menegaskan bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada asas kekeluargaan—suatu model yang sangat berbeda dari individualisme yang diusung oleh sistem ekonomi liberal. Jika kita tarik lebih jauh, asas ini sebenarnya bisa menjadi inspirasi untuk sistem politik yang lebih berkeadilan.

Namun, jangankan menggali kembali konsep kolektivitas ini, PSI justru cenderung bergerak ke arah sebaliknya dengan menekankan kepemilikan individu dalam partai dan sistem voting berbasis individualisme. Heidegger menyebut kondisi seperti ini sebagai bentuk kehilangan autentisitas (Uneigentlichkeit), di mana suatu entitas (dalam hal ini, PSI) kehilangan keterhubungannya dengan jati diri sejatinya.

Jika Bodenständigkeit berarti memiliki keterhubungan yang otentik dengan masyarakat, maka partai politik seharusnya memperkuat hubungan organik dengan rakyat, bukan dengan menciptakan ilusi keterbukaan yang justru dapat menghilangkan makna keberpihakan politik. PSI harus lebih dari sekadar partai dengan sistem pemilihan modern; mereka harus mampu membangun hubungan nyata dengan rakyat, memahami kebutuhan mereka, dan bergerak bersama dalam perjuangan kolektif.

Jika PSI ingin tetap relevan dan autentik, mereka seharusnya lebih mendasarkan diri pada semangat kebersamaan, kolektivitas, dan gotong royong—nilai-nilai yang telah lama mengakar dalam politik Indonesia. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi bagian dari demokrasi prosedural yang kehilangan makna.

Baca Juga:   Menimbang Urgensi Perubahan Wantimpres Menjadi DPA

Beranikah PSI untuk kembali pada politik yang lebih berakar, lebih sosialistis, dan lebih berorientasi pada keadilan? Atau mereka akan terus hanyut dalam demokrasi dangkal yang hanya terlihat modern di permukaan.***


Penulis: Edi Subroto, Alumni GMNI Yogyakarta.

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Arjuna Putra Aldino Lantik Pengurus DPC GMNI Halut Periode 2025-2027
Senin, 13 Oktober 2025 | 14:51 WIB
DPD PA GMNI Kaltim Tolak Pemangkasan DBH yang Dinilai Sangat Tidak Adil
Senin, 13 Oktober 2025 | 12:24 WIB
Tambang Rampok Hak Rakyat, Ketua PA GMNI Kaltim Desak Presiden Prabowo Hentikan Operasi 13 Perusahaan Raksasa
Senin, 13 Oktober 2025 | 11:36 WIB
Gelar Konfercab Persatuan, Rifki Pratama dan Andi Supriyanto Resmi Pimpin GMNI Bima
Senin, 13 Oktober 2025 | 00:21 WIB
Refleksi Hari Jadi Kabupaten Rohul Ke-26 Tahun, GMNI: Momentum Evaluasi Pembangunan dan Penguatan Nasionalisme Kerakyatan
Minggu, 12 Oktober 2025 | 16:32 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Heri Purnomo Kembali Terpilih Secara Aklamasi sebagai Ketua PA GMNI Kota Bekasi
Kabar PA GMNI
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Polithinking

Emak-emak Muslimat di Lumajang Antusias Ketemu Atikoh Ganjar; Harus Jadi Ibu Negara

Marhaenist.id, Lumajang - Siti Atikoh Suprianti, istri calon Presiden RI Ganjar Pranowo…

Opini

Ajaran Dasar Dalam Pendidikan Yang Terlupakan

Marhaenist.id -Setiap tanggal 2 mei kita memperingati hari pendidikan Nasional, tapi untuk…

Opini

Mahasiswa Perlu Sederhanakan Istilah Bahasa Agar Mudah Dipahami Masyarakat

Marhaenist.id - Kadangkala mahasiswa organisasi gerakan menggunakan bahasa akademis yang sulit dipahami…

Kabar PA GMNI

Arief Hidayat Terpilih Sebagai Ketua Umum PA GMNI 2021-2026

Marhaenist - Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia memilih secara…

Infokini

Kekerasan Aparat Mewarnai Aksi Tolak UU TNI

Marhaenist.id, Jakarta - Aksi unjuk rasa Ratusan Mahasiswa dan Koalisi Masyarakat Sipil…

Polithinking

Pasangan Hasto-Wawan Temui Warga Masyarakat Penerima PIP

MARHAENIST - Pasangan calon walikota dan wakil walikota Yogyakarta yang diusung oleh…

Polithinking

Putusan MK Mulai Jegal Klan Jokowi

MARHAENIST - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menetapkan minimal syarat usia calon di…

Opini

Indonesia di Persimpangan Geopolitik: Peluang dan Tantangan Dalam Menjalin Kerja Sama Dengan Uni Eropa

Marhaenist.id - Pernyataan Kanselir Jerman Olaf Scholz di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di…

Internasionale

Membaca Teka-Teki Politik di Bangladesh

Marhaenist - Pada hari Senin, 5 Agustus, mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?