Marhaenist.id – Saya lupa dimana pernah saya baca ketika Sukarno menceritakan bagaimana kelahiran Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnaputri, apakah di Bawah Bendera Revolusi atau Otobiografi ditulis Cindy Adams; Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat. Diceritakan bagaimana Bu Fat, Fatmawati, melahirkan putrinya ini di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta, di tengah hujan badai yang deras, petir menyambar, plafon istana bocor dan angin kencang. Di tengah cuaca itu lahirlah bayi kecil 78 tahun lalu tepat hari ini. Soekarno merasa semakin lengkap hadir putrinya, setelah kelahiran Guntur, putra pertamanya. Megawati tumbuh dalam masa perjuangan Republik ketika Ibukota pindah karena perjanjian Renville membuat Republik Indonesia diakui Belanda tetapi hanya sewilayah bekas terakhir wilayah kekuasaan Kraton Jogja setelah Perang Jawa. Makanya hubungan Kraton Jogja dan Sukarno, serta Republik ini tidak pernah terpisah. Maka tidak heran Sultan HB X mengingatkan Jokowi, ” jangan sakiti dia”. Boleh kamu presiden, boleh kamu berkuasa tetapi jangan sakiti Megawati. Maknanya dalam pesan itu.
Makanya ketika Orde Baru Megawati diusahakan untuk tidak boleh beraktivitas politik setelah Bapaknya meninggal dunia. Semua anak termasuk Guntur tidak boleh beraktivitas politik, mereka diberi keleluasaan sebagai remaja tetapi tidak untuk politik. Apa yang ditakutkan? Ya apalagi kalau bukan Sukarnoisme itu sendiri. Rezim orde baru membuat operasi anti Sukarno di semua bidang, partai politiknya PNI dibonsai, pengurus partai yang keras digenjet, dari dalam diadu domba antara Soekarnois pragmatis dan Soekarnois Ideologi, Osa Usep alias Osa Maliki dan Usep Ranawidjaya yang juga didukung mantan Sekjen PNI, Hardi. Soekarno merestui Ali-Surachman, tetapi setelah Soekarno dijatuhkan Suharto melalui operasi khusus dengan penolakan Pidato Nawaksara, maka kelompok Soekarnois Ideologis dihabisi, Ali Sastroamidjoyo sebagai golongan tua PNI waktu itu dipasangkan dengan golongan muda PNI, Ir. Surahman tokoh Persatuan Petani Nasional Indonesia (Petani).
Soekarno ingin transformasi marhaenisme berjalan antar generasi. Tetapi konflik internal dalam soal penjabaran marhaenisme sudah mengeras ketika Hardi yang digantikan Surahman juga melakukan konsolidasi. Konflik yang sebelumnya internal dan bisa dikendalikan Soekarno akhirmya pecah setelah Soekarno dijatuhkan. Muncullah kemudian istilah Marhaenisme tanpa kultus individu Soekarno. Surahman bahkan ditembak mati di Blitar Selatan, karena dia ikut bergabung dalam pelarian para menteri kabinet Dwikora yang waktu itu dituduh PKI, padahal dia seorang Soekarnois ideologis yang kemudian dituduh PKI susupan di PNI.
PNI berubah, menjadi pendukung orde baru, yang masih Soekarnois ditangkap dan ditahan dan di PKIkan. Mereka yang cari selamat bergabung dengan PNI versi lunak yang kemudian ikut Pemilu 1971 dan sudah dioperasi, maka dia hanya dapat 6,8%, padahal pada Pemilu 1955 dia menjadi partai pemenang dengan 22,3%. Soekarno dituduh melindungi PKI maka PNI disamakan dengan PKI, maka hancurlah PNI dan banyak yang kemudian mencari pemyelamatan bergabung dalam Golkar dan ikut melakukan de-Soekarnoisasi. Maka kata Onghokham Sejarawan UI, Soekarno dibunuh dua kali. Pertama secara fisik, kedua secara ideologi. Sebuah kaca benggala hari, dimana Soekarno yang melahirkan angkatan 45 seperti Suharto dkk, justru dibunuh angkatan yang dia lahirkan sendiri. Persis dialami Megawati, membesarkan seorang Presiden Jokowi tetapi dihianati dan dihancurkan oleh yang dia angkat sebagai kadernya.
Maka sangat bisa dimaklumi kalau Megawati selalu terlihat emosional ketika berpidato, dia lahir dan sepanjang hidupnya selalu melalui pasang surut ideologi. Dia bangunkan lagi Soekarnoisme dan Marhaenisme dengan masuk Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan partai hasil fusi yang sudah direkayasa Orde Baru. Mega sudah mengalami asam garam waktu itu, pelarangan anak-anak Soekarno ke politik membuatnya kemudian menjadi ibu rumahtangga, menikah dengan penerbang muda Angkatan Udara Surindro Supiarso, yang kemudian pada 1970 disaat Ibu muda Megawati mengurus 1 bayi dan 1 lagi dalam kandungan, suaminya hilang tak berbekas ketika menerbangkan pesawat. Sebuah cerita yang hampir mirip terjadi pada Letjen KKO Hartono mantan Komandan KKO atau marinir kalau sekarang, yang ditemukan tewas dengan luka tembak ketika cuti sebagai duta besar Korea Utara, setahun setelah suami Megawati hilang dalam penerbangan. Angkatan Laut dan Udara adalah tentara loyal yang mengikuti perintah Soekarno dalam operasi Trikora maupun Dwikora.
Bisa dibayangkan seorang ibu muda, kehilangan suami tercinta setelah pada tahun yang sama 1970, ayahnya Sukarno meninggal dalam tahanan rumah Orde Baru di Wisma Yaso. Seorang perempuan yang masa kecilnya ditimang oleh para pendiri republik seperti Hatta, Syahrir, Agus Salim juga yang lain, yang kemarin dia panggil juga dengan Paatje, panggilan anak-anak Agus Salim pada ayahnya. Semua orang itu dia panggil Om, juga bagaimana dia bercerita tentang Pak Gatot (Subroto) pendiri Akabri yang merupakan Bapak TNI modern setelah Nasution dan Simatupang. Megawati adalah “ramuan” dari sintesa pemikiran dari ayahnya dan om-om-nya, dan dialah yang sekarang tersisa sebagai benteng demokrasi Indonesia, setelah Gus Dur meninggal. Dimana akan selalu didampingi Sultan HB X sebagaimana dulu Soekarno akan terus didukung HB IX ketika pasca perang. Demokrasi kita akan terus dijaga oleh Megawati bahkan ketika dia harus melawan penghianatan dari kadernya sendiri. Karena sedari kecil dia sudah mendengar pemikiran demokrasi dari riuh debat ayahnya dan para pendiri republik lainnya.
Apa yang dialami partainya sudah dia alami pasang surut ketika PNI jaman orde baru, ketika PNI digencet dan berubah menjadi fusi orde baru dan juga ketika PDI dipecah oleh orde baru dalam Kongres pada 1992, sehingga kemudian dia dilarang ikut kampanye dan tidak diakui dalan kepesertaan pemilu 1997 dimana sebelumnya terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Dia dilindungi oleh mereka yang masih percaya bahwa tanpa Soekarno, republik ini tak ada kemerdekaan, mereka-mereka ini ada di lapisan manapun mau sipil, militer bahkan kaum kromo. Maka ketika reformasi dan politik kembali bebas, PDIP menjadi partai terbesar kembali pada Pemilu 1999 dengan 33,7%.
Zaman bisa kembali berulang, dia hendak diperlakukan seperti mendiang ayahnya. Tetapi tidak mudah, megawati adalah peramuan dari pertemuan ide-ide pasca Indonesia merdeka. Tidak hanya Soekarno tetapi demokrasi ala Hatta, ala Syahrir, ala Agus Salim, ala Kyai Wahab, ala Soekiman dan ala-ala lainnya. Dia tidak akan bisa diluruhkan oleh hanya avonturir atau petualangan pragmatis dari seorang mantan kadernya yang sudah merubah diri lebih dari kelicikan, kekejaman Suharto. Watak kolonialisme hanya berganti baju dan wajah dia tidak sepenuhnya hilang, termasuk.di kalangan bangsa sendiri. Dia yang sebenarnya bukan siapa-siapa adalah wajah kolonial hari ini, Selamat Ulang Tahun, Dirgahayu Bu Mega tetap menjaga negeri ini sampai akhir menutup mata!
Sumber: Facebook Markijok.