MARHAENIST – Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino menilai revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh Baleg DPR RI cacat hukum atau inkonstitusional. Pasalnya menurut Arjuna, putusan MK 60 memiliki semangat untuk menjamin hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu serta dalam upaya menghormati suara rakyat dalam pemilu.
Maka Mahkamah memutuskan syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.
“Artinya, semangat MK ingin membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal, yang jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat,” kata Arjuna.
Sedangkan Baleg DPR mengubah syarat partai politik untuk mengusung calon kepala daerah hanya berlaku bagi partai tanpa kursi DPRD. Sehingga menurut Arjuna, hasil Baleg DPR RI bukan hanya tidak sesuai dengan putusan MK tapi juga bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis.
“Semangat Baleg DPR ini melanggengkan kartel politik yang sudah barang tentu bertentangan dengan UUD 45, suara rakyat diamputasi,” imbunya.
Arjuna juga berpendapat putusan MK 60 ini harus menjadi momentum untuk meradikalisasi proses demokrasi di Indonesia, terutama momentum untuk menghapus formula electoral threshold dalam sistem demokrasi Indonesia. Karena menurut Arjuna, formula electoral threshold inilah yang menjadi biang kerok munculnya kartelisasi politik. Dengan adanya electoral threshold maka banyak suara rakyat yang terbuang, dan terjadi penghilangan hak warga negara untuk memilih. Karena kandidat disodorkan oleh kartel partai politik.
“Satu-satunya jalan untuk mencegah kawin silang oligarki dan kartel politik adalah menghapus electoral threshold. Tidak ada jalan lain,” tandasnya.