MARHAENIST – Palembang, siang hari yang terik, 19 Agustus 1960. Remaja yang belum lagi genap berusia 18 tahun itu sedang duduk-duduk santai di ruang tamu rumah keluarganya di Jalan Dempo, Palembang. Ia baru saja pulang dari menunaikan salat Jumat. Lamat-lamat dari radio transistor di atas bufet di ruang tamu itu terdengar pidato Presiden Soekarno. Pidato itu disiarkan secara langsung dari Istana Negara di Jakarta. “Awalnya, aku mendengar sepintas lalu saja. Tapi, ketika Bung Karno menyinggung soal PRRI, aku tertarik untuk mendengarkan lebih saksama. Makin lama mendengarkan, aku seperti tersihir. Apalagi, dalam pidato itu, Bung Karno sebagai presiden menyatakan secara resmi pembubaran dan pelarangan Masjumi dan PSI. Padahal, ketika itu, hadir pula para pemimpin kedua partai tersebut. Aku benar-benar terkesima. Dalam hati aku, hebat benar Presiden Soekarno, membubarkan partai politik langsung di depan para pemimpin partai tersebut. Dan, apa yang terjadi siang itu sangat membekas dalam diri aku. Sejak itulah aku mulai mengagumi Bung Karno,” ujar Taufiq Kiemas. Sejak itu pula Taufiq mulai merasakan ketertarikan kepada hal-hal yang berbau politik.
Dan, bara kagum pun menjadi api. “Aku kagum karena Bung Karno berani tegas dalam menjalankan gagasannya. Ia juga dengan tegas menangani berbagai pemberontakan yang terjadi di masa itu,” tutur Taufiq. Belakangan, setelah merenungi peristiwa itu dan peristiwa-peristiwa lainnya, Taufiq menginsyafi, Bung Karno selalu menyelesaikan masalah politik dengan cara-cara politik.
“Pemberontakan DI/TII dan PRRI/Permesta diselesaikan dengan memberikan amnesti/abolisi kepada para tokoh-tokoh pembangkang itu dan mereka pun kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” kata Taufiq.
Seiring berjalannya waktu, meski berasal dari keluarga Masjumi, Taufiq memang kemudian tumbuh menjadi seorang Soekarnois. Sejak mendengar pidato lewat radio itu, Taufiq mengaku ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengetahui lebih jauh sosok dan pemikiran Bung Karno. Berbagai hal pun dilakukan Taufiq remaja untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut, mulai dari meminjam buku-buku hasil karya Bung Karno atau yang membicarakan pemikiran sang proklamator sampai berupaya agar selalu bisa menyimak pidato Bung Karno lewat radio. “Bung Karno itu orang besar, pemikir dan pejuang yang sangat dekat dengan nurani rakyat. Ibaratnya, Bung Karno mendengar tarikan napas rakyatnya,“ kata Taufiq.
Tapi, di rumah, semua itu hanya Taufiq simpan dalam hati. Maklumlah, ayahnya adalah orang Masjumi. Orang tuanya baru tahu Taufiq mengagumi Bung Karno dan punya haluan politik yang berbeda dengan ayahnya ketika Taufiq menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, pada tahun 1962. Putra sulung Tjik Agus Kiemas dan Hamzatun Rusjda itu memilih untuk aktif di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) sebagai ajang aktivitas kemahasiswaan. Air cucuran atap memang tak selamanya tepat jatuh ke pelimbahan, apalagi ketika angin bertiup kencang, angin politik di Indonesia pada paruh pertama dekade 1960-an.
Api itu kian membesar. Maka, begitu masuk GMNI, dalam diri Taufiq sudah tumbuh cita-cita dan ambisi untuk menjadi pemimpin di Partai Nasional Indonesia (PNI), partai yang menjadi patron GMNI. “PNI itu kan partai orang Jawa. Aku ingin tunjukkan bahwa orang Sumatera juga bisa memimpin partai orang Jawa,” kata Taufiq.
GMNI pada awal 1960-an itu memang sudah tampil sebagai organisasi mahasiswa yang disegani. Derap dunia politik pada awal tahun 1960-an memang terasa membahana pada berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Pada masa seperti itulah Taufiq Kiemas mulai berkiprah di GMNI. Pilihan Taufiq bergabung dengan GMNI kelak memberikan warna lain pada wacana dan perkembangan nasionalisme di Indonesia. Dalam skala yang lebih kecil: membawa warna baru bagi partai-partai berhaluan nasionalis. Dengan memilih aktif di GMNI, secara sadar Taufiq telah melakukan perantauan ideologis.
Pada awal tahun 1960-an itu, GMNI di Palembang telah mendominasi dunia kemahasiswaan di kampus-kampus, termasuk di Universitas Sriwijaya. Ketika Taufiq masuk kuliah tahun 1962, panitia perpeloncoan mahasiswa baru diketuai oleh Djohan Hanafiah dan kepanitiaannya didominasi aktivis GMNI. Begitu tahu Taufiq ikut perpeloncoan, Djohan dan para pengurus GMNI Palembang segera saja memutuskan merekrut Taufiq. Mereka tahu persis potensi yang dimiliki Taufiq akan bisa mendinamiskan GMNI Palembang.
Keinginan itu tak bertepuk sebelah tangan. Taufiq yang sudah memendam kekaguman terhadap sosok Bung Karno bagaikan menemukan wadah yang tepat untuk menampung aspirasinya. Taufiq tanpa ragu memutuskan menjadi anggota GMNI. Para anggota geng Don Quixotte lainnya pun mengikuti jejak sang leader, padahal hampir semua latar belakang keluarga mereka adalah Masjumi atau organisasi keislaman lainnya.
Seperti mendapat rezeki nomplok, GMNI Palembang merasa senang dengan masuk Taufiq dan kawan-kawannya itu. GMNI Palembang seperti mendapatkan “darah segar“ yang bisa mendinamiskan organisasi.
Tapi, situasi sebaliknya terjadi di rumah Taufiq Kiemas. Bak mendengar gelegar petir di siang bolong, ayah Taufiq Kiemas, Tjik Agus Kiemas, begitu kaget mendengar info bahwa putra sulungnya telah masuk GMNI sebagai wadah aktivitas kemahasiswaannya di kampus. Bukan hanya terkejut, Tjik Agus sempat sangat sedih dan sampai menitikkan air mata menghadapi kenyataan itu. Sang ayah tak habis pikir, mengapa Taufiq memilih masuk GMNI, bukan organisasi kemahasiswaan yang berasaskan Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sang ayah pun memanggil anak sulungnya itu, menanyakan alasan Taufiq memilih GMNI. Pertanyaan satu disusul pertanyaan lain, sehingga kemudian menjadi semacam diskusi yang alot. Pasalnya, Taufiq kukuh pada pendiriannya.
Muaranya: sang ayah bisa memahami pilihan politik putranya itu. “Tapi, beliau berpesan agar aku siap menjalani konsekuensi pilihan politikku,” ujar Taufiq. Ayah dan anak itu pun berangkulan kembali. Bahkan, rumah keluarga Kiemas di Jalan Dempo, Palembang, sering menjadi tempat berkumpul para aktivis GMNI, kawan-kawan Taufiq.
Bertemu Bung Karno
Kiranya, bukan pandangan yang berlebihan bila dikatakan masuknya Taufiq ke GMNI Palembang membuat organisasi itu semakin dinamis. Karena, Taufiq adalah sosok yang mudah bergaul, sehingga sangat cocok sebagai organisator di lapangan. Kepribadiannya yang supel dan senang membantu orang lain membuat Taufiq relatif mudah masuk ke berbagai lapisan pergaulan, baik di dalam maupun di luar kampus. Ini merupakan bekal yang berharga di tengah persaingan partai-partai politik yang ada, terutama antara PNI dan PKI, yang berlangsung ketat dalam memengaruhi massa.
Aktivitas Taufiq juga bukan hanya di lapangan kegiatan. Taufiq menyadari, siapa saja yang terjun di dunia politik harus selalu memperluas wawasan pengetahuannya. Pemikiran seperti itulah yang mendorong Taufiq untuk rajin menimba ilmu politik dan pengalaman dari para seniornya. Bermacam buku ia baca. Juga berdiskusi dengan aktivis senior GMNI dan tokoh-tokoh politik di Palembang.
Bukan hanya itu. Keseriusan Taufiq juga bisa dilihat dari aktifnya ia menyampaikan gagasan untuk kemajuan organisasi politik, khususnya GMNI dan PNI. Salah satu pemikirannya yang sudah muncul saat itu adalah tentang organisasi politik yang harus selalu berusaha menyatu dengan rakyat. Jadi, meski GMNI merupakan organisasi mahasiswa, menurut Taufiq, perhatian utamanya tidak boleh terpaku pada gerakan kemahasiswaan saja, tapi juga harus masuk ke dalam gerakan politik kenegaraan, demi memperjuangkan kepentingan rakyat dan kepemimpinan bangsa.
Lewat pergaulan dengan para tokoh politik itu, karakter Taufiq sebagai politisi yang mencintai negerinya semakin terlihat jelas. Apalagi, ia juga rajin menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh politik berbagai aliran, termasuk kalangan Islam dan militer. Seolah tanpa kenal lelah, Taufiq mendatangi mereka satu per satu, termasuk yang tinggal di luar Kota Palembang. Jadi, jejaring politik telah dirajut sejak awal Taufiq Kiemas terjun ke dunia politik, suatu hal yang memang harus dilakukan oleh siapa pun yang terlibat di dalamnya.
Berkat kerja kerasnya membesarkan organisasi, karir Taufiq di GMNI melesat cepat. Hanya setahun setelah menjadi anggota, Taufiq pada tahun 1963 dipercaya untuk memegang jabatan di kepengurusan GMNI Palembang, menggantikan Zainal Abidin yang dipromosikan menjadi pengurus GMNI Pusat. Pada tahun 1964, Taufiq kemudian bergabung dengan Inti Jiwa Pembina Revolusi—organisasi kader yang bertujuan menegakkan ajaran-ajaran Bung Karno. Di organisasi inilah ia berkenalan dan kemudian bersahabat dengan Guntur Soekarnoputra.
Lewat aktivitasnya di organisasi kader inilah Taufiq dapat bertemu langsung dengan idolanya, Bung Karno. Pertemuan pertama mereka terjadi pada akhir Maret 1965. Ketika itu, Taufiq dan sejumlah aktivis GMNI Sumatera Selatan pergi ke Jakarta untuk mengikuti pertemuan kader pelopor PNI. Pertemuan itu diikuti sekitar 15 ribu aktivis muda partai dari seluruh Indonesia dan Presiden Soekarno memberikan kuliah selama tiga malam dalam program pelatihan kader pelopor tersebut.
Taufiq sempat bersalaman dengan Bung Karno serta mendengar langsung sang proklamator berpidato. “Ketika itu rasanya bangga sekali. Aku semakin yakin bahwa Bung Karno adalah tokoh hebat,” kenang Taufiq.
Namun, jalan sejarah kemudian memasuki tikungan yang tajam. Beberapa bulan setelah pertemuannya dengan Bung Karno itu, Taufiq menghadapi badai politik yang terbilang luar biasa, yang berkaitan dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta.
Gestok
Peristiwa Gestok 1965 telah mengubah jalan hidup Taufiq Kiemas. Tak lama setelah pengumuman Dewan Revolusi oleh Kolonel Untung di Jakarta, 1 Oktober 1965, Taufiq dan sejumlah tokoh nasionalis di Palembang ditahan. Pasalnya, garis politik GMNI ketika itu adalah membela Presiden Soekarno dari berbagai kekuatan politik yang berusaha menggerogoti wibawa dan kekuasaannya. Tak peduli apakah itu dari kalangan komunis, tentara, atau kekuatan politik lain. Pokoknya, siapa saja yang menyerang Bung Karno waktu itu dianggap musuh.
Padahal suhu politik saat itu sedang panas. Isu anti-PKI mulai beralih menjadi anti-Soekarno. Kekuatan anti-Soekarno dan pro-Soekarno sudah berhadap-hadapan, bahkan sampai ke jalanan. Akan halnya tentara, terutama Angkatan Darat, baik secara diam-diam maupun terang-terang, memihak kalangan yang anti-Soekarno.
Taufiq dan puluhan aktivis GMNI Palembang dimasukkan ke dalam sel tahanan markas CPM Kodam Sriwijaya di Jalan Merdeka, Palembang. “Saat pertama masuk, kami kaget juga. Di dalam sel-sel yang sempit itu telah berjejal ratusan tahanan PKI,” kenang Taufiq.
Semula, mereka disatukan dengan para tahanan PKI. Tapi, setelah beberapa hari diperiksa, anak-anak GMNI dipisahkan di sel sendiri. Sel tahanan berukuran 2,5 meter x 2,5 meter itu diisi sepuluh atau sebelas orang. Untuk berdiri saja sudah terasa sesak, apalagi untuk tidur. Jadi, terpaksalah mereka berdesak-desakan. Semakin hari sel itu semakin padat, karena ada saja aktivis GMNI yang tertangkap. Terakhir tercatat sedikitnya ada 23 orang aktivis GMNI yang mendekam di tahanan CPM itu. Bahkan, ada yang menyerahkan diri karena rasa solidaritas sesama kawan.
Ada hikmah yang didapat Taufiq dan kawan-kawan selama di dalam tahanan itu. Rasa senasib sepenanggungan semakin menyuburkan solidaritas di antara mereka. “Bayangkan selama setahun lebih dipenjara, kami tak boleh dijenguk siapa pun, termasuk keluarga ataupun sanak-famili. Bahkan, tak boleh menerima kiriman makanan sekalipun. Jadi, urusan makanan hanya bergantung pada jatah makanan dari dapur penjara,” kenang Taufiq.
Hikmah lain: karakter kepemimpinan Taufiq semakin terasah. Pernah suatu kali, seorang aktivis bernama Hasan jatuh sakit karena kekurangan gizi. Pasalnya, jatah makanan para tahanan saat itu cuma empat sendok nasi dengan sayur seadanya.
Nurani Taufiq tersentuh. Ia mengusulkan para tahanan kelompok mereka menyumbangkan satu sendok jatah makanan masing-masing untuk Hasan. Jadi, sejak saat itu, Hasan mendapat tambahan jatah nasi 22 sendok setiap hari.
Namun, untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak, sakit Hasan keburu parah. Hanya beberapa hari kemudian, Hasan meninggal di sel tahanan. Kawan-kawannya sungguh berduka, termasuk Taufiq. Tapi, Taufiq kemudian membesarkan hati kawan-kawannya bahwa begitulah risiko sebuah perjuangan politik.
Menurut Taufiq, apa yang ia alami dan kawan-kawannya itu belum seberapa dibanding dengan apa yang dialami para tahanan PKI. Mengenai soal PKI ini, Taufiq mengungkapkan, “Kalau aku pikir-pikir lagi, bangsa kita masa itu termasuk yang paling kejam di dunia. Nazi yang membunuh orang Yahudi itu catatannya lengkap: siapa yang dibunuh, tanggal berapa dibunuh, dan sebagainya. Orang Rusia yang membunuh di zaman Revolusi Bolshevik ada pengadilannya, meskipun tidak sungguh-sungguh. Tapi, orang-orang yang terlibat atau terindikasi terlibat PKI disiksa, lantas dihabisi begitu saja, tanpa catatan atau pengadilan apa pun.“ Apalagi, kondisi tahanan di Palembang masa itu sangatlah memprihatinkan. “Aku rasa tidak ada tahanan di Indonesia waktu itu yang mengalami perlakuan lebih kejam dari tahanan di Sumatera Selatan. Dari puluhan ribu orang tahanan yang dianggap PKI, mungkin hanya ratusan yang selamat keluar hidup-hidup,” tutur Taufiq.
________
Imran Hasibuan