Marhaenist.id – Mendorong Soeharto menjadi pahlawan nasional bukan sekadar kekeliruan historis, melainkan penghinaan terhadap ingatan kolektif bangsa. Ia melambangkan kekuasaan yang menata ulang republik melalui darah dan ketakutan, menukar cita-cita kemerdekaan dengan keteraturan semu yang dibangun lewat pembungkaman. Di balik omong koson pembangunan dan stabilitas, terselip jutaan hidup yang direnggut, ribuan intelektual yang diasingkan, serta generasi yang tumbuh dalam paksaan kebisuan. Mengangkatnya sebagai pahlawan berarti mengakui bahwa kekerasan negara dapat ditebus oleh keberhasilan ekonomi semu dan disiplin yang menindas.
Enam buku yang dibahas di sini bukan sekadar bahan bacaan sejarah, melainkan alat perlawanan terhadap pelupaan yang disengaja. Mereka mengurai struktur kekuasaan yang diwariskan Orde Baru dan memperlihatkan bagaimana represi di institusionalisasi dalam budaya, ekonomi, dan bahasa politik kita. Membaca mereka adalah upaya memulihkan akal sehat kolektif, sekaligus ajakan untuk menolak normalisasi kekerasan dan mengingatkan bahwa yang dipertaruhkan dalam wacana gelar pahlawan bukan masa lalu, melainkan masa depan republik itu sendiri.
Dalih Pembunuhan Massal — John Roosa
Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa hadir seperti palu godam yang menghantam narasi resmi negara. Dengan ketelitian seorang sejarawan dan keberanian seorang intelektual, Roosa membongkar G30S bukan sebagai drama hitam-putih, tetapi sebagai manuver kekuasaan yang kemudian melahirkan pembantaian raksasa, penghilangan paksa, dan pendirian rezim fasis militeristik.
Roosa menolak simplifikasi. Bagi dia, istilah yang tepat adalah G30S, tanpa tambahan “PKI”, karena bukti akademis tidak pernah mengunci dalang tunggal. Namun dari ketidakjelasan itu muncul satu kepastian yang tidak bisa dinegosiasikan: Soeharto menggunakan peristiwa dinihari 1 Oktober 1965 sebagai dalih untuk menghancurkan lawan politik, menggulung organisasi rakyat, dan menanamkan militer sebagai tulang punggung kekuasaan sipil. Hasilnya adalah pembunuhan massal, pendirian kuburan tanpa nama di seluruh nusantara, serta tiga dekade represi dan sensor yang mencabut hak bangsa untuk mengingat dengan benar.
Buku ini memang belum membahas seluruh skala kekerasan 65-66. Roosa mengaku itu pekerjaan lanjutan, yang kemudian ditulis dalam Riwayat Terkubur. Namun justru di pengakuan itu tampak betapa pekatnya tragedi ini. Negara membangun monumen megah untuk tujuh jenderal, sementara ratusan ribu korban lain terkubur tanpa nisan, tanpa upacara, bahkan tanpa pengakuan. Negara merawat patung dan museum, tetapi menutup mata pada kuburan massal dari Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Bali.
Dengan napas investigatif dan pijakan dokumen, Roosa menyingkap logika Orde Baru: tidak sekadar memukul lawan, tetapi menghabisi simpatisan, menghancurkan jaringan sosial mereka, dan merenggut memori kolektif bangsa. Inilah operasi politik yang menjadikan ketakutan sebagai alat pemerintahan dan pembantaian sebagai fondasi legitimasi.
Maka membaca Roosa berarti memahami sebuah fakta pahit yang terlalu lama dibungkam: kekuasaan Soeharto tidak lahir dari jasa, melainkan dari darah, penyiksaan, propaganda, dan machine politik yang membungkam ingatan.
Di titik inilah buku ini terasa mendesak dalam wacana hari ini, ketika sebagian pihak mencoba memutihkan sejarah dan mendorong Soeharto sebagai “pahlawan nasional.” Gelar pahlawan adalah penghormatan tertinggi republik ini, diberikan untuk teladan moral dan pengorbanan bagi rakyat. Roosa menunjukkan dengan terang bahwa Soeharto tidak berada di barisan itu. Ia berada di seberangnya.
Menolak gelar pahlawan bagi Soeharto bukan sekadar sikap politik, tetapi kewajiban moral. Ini bukan urusan dendam sejarah, melainkan urusan keadilan memori. Bangsa tidak bisa memuliakan tangan yang pernah membantai dan menguburkan rakyatnya sendiri.
Roosa tidak memberi kenyamanan. Ia memberi ingatan. Dan dalam negeri yang kerap memilih lupa, mengingat adalah bentuk keberanian. Membaca buku ini adalah langkah pertama untuk menagih kebenaran dan menolak glorifikasi atas kekuasaan yang dibangun di atas kuburan massal.
Kekerasan Budaya Pasca 1965 — Wijaya Herlambang
Melalui Kekerasan Budaya Pasca 1965, Wijaya Herlambang membongkar satu sisi lain dari kekuasaan Orde Baru yang sering luput dari sorotan: bukan hanya kekerasan fisik, tetapi kekerasan budaya yang sistematis. Buku ini menunjukkan bagaimana Soeharto tidak hanya mengambil alih kekuasaan negara dengan senapan dan penjara, tetapi juga dengan kata, gambar, dan narasi.
Wijaya memetakan bagaimana anti-komunisme Indonesia tidak tumbuh alami dari pengalaman sosial bangsa, tetapi diproduksi melalui operasi kebudayaan yang terencana, melibatkan negara, militer, intelijen, budayawan liberal, dan bahkan mesin kebudayaan Barat yang terkonsolidasi di puncak Perang Dingin.
Proses penaklukan memori publik itu bekerja melalui dua jalur: pendidikan dan kebudayaan. Dari kampus hingga karya sastra, dari cerpen di Horison hingga propaganda layar lebar Pengkhianatan G30S PKI, Herlambang menunjukkan bagaimana ideologi anti-komunisme disisipkan sebagai moralitas, kemanusiaan, dan bahkan kemurnian bangsa. Melalui kerangka Johan Galtung, ia menamai ini kekerasan budaya: sebuah kondisi ketika kekerasan politik dibungkus bahasa keadilan dan menjadi tampak wajar, bahkan suci.
Di bawah pagar intelektualisme “humanisme universal”, Orde Baru menata jagat kesadaran Indonesia: yang dianggap kiri mesti dibungkam, yang dianggap kritis dicurigai, dan kekejaman negara terhadap warganya sendiri dicuci dengan estetika heroisme dan narasi hitam-putih. Karya-karya alternatif yang melawan, dari Ronggeng Dukuh Paruk hingga dokumenter Jagal dan Senyap, hadir sebagai tandingan, namun terlambat dan terpotong oleh trauma yang telah ditanamkan puluhan tahun.
Herlambang akhirnya memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih menggetarkan ketimbang fakta kekerasan fisik: Orde Baru berhasil menjadikan kebencian sebagai kebajikan, dan menghapus simpati terhadap korban sebagai sesuatu yang patut. Bahkan setelah reformasi, pola itu diwariskan, direproduksi, dan dipakai ulang menjadi sebuah bukti bahwa kekuasaan sejati tidak berhenti pada apa yang tampak saja, tetapi menaklukkan ingatan.
Dan disinilah argumen buku ini menyatu dengan tuntutan moral hari ini. Bagaimana mungkin bangsa memberi gelar pahlawan pada seorang penguasa yang bukan hanya memerintahkan pembantaian, tetapi juga merampas kemampuan rakyat untuk berduka, mengingat, dan memahami sejarahnya sendiri?
Soeharto bukan hanya membawa korban ke liang kubur, tetapi juga membawa ingatan bangsa ke kegelapan. Menolak gelar pahlawan baginya bukan sekadar sikap politik itu adalah upaya menyelamatkan memori, merebut kemanusiaan kembali dari narasi yang sengaja dipelintir, dan memastikan bahwa kekerasan budaya tidak diabadikan sebagai bagian dari identitas bangsa.
Sejarah tidak boleh ditulis oleh mereka yang menang, apalagi oleh mereka yang membungkam. Buku ini mengingatkan kita: melawan lupa adalah kewajiban, dan menolak menjadikan Soeharto sebagai pahlawan adalah bagian penting dari tugas itu.
The Jakarta Method — Vincent Bevins
Dalam The Jakarta Method, Vincent Bevins memetakan satu babak kelam yang selama ini digelapkan bukan hanya oleh negara pelaku, tetapi juga oleh pemenang geopolitik dunia. Ia menunjukkan bahwa kekerasan 1965 bukan sekadar tragedi lokal Indonesia, melainkan model global: sebuah cetak biru pembantaian yang disebarkan sebagai metode anti-komunisme di era Perang Dingin. Jakarta bukan hanya nama kota, tetapi simbol teror yang menjadi kode operasi: “Yakarta Viene”, “Jakarta is coming”, ancaman yang kemudian menggulung Brasil, Chile, dan sejumput negara lain dalam badai kudeta dan eksekusi politik.
Bevins menggabungkan dokumen baru CIA, arsip diplomatik, dan kisah langsung para penyintas;jurnalis yang suaminya hilang disiksa hingga mati, pekerja serikat buruh yang dipenjara karena keyakinannya pada keadilan sosial. Dalam setiap cerita, ia menunjukkan bagaimana daftar nama, propaganda anti-komunis, dan kerja sama intelijen menjadi jaring pembantaian. Washington tidak hanya mendukung, tetapi dalam banyak hal mendorong, menghalalkan, dan kemudian menghargai pola kekerasan ini sebagai proses “stabilisasi”.
Yang membuat buku ini penting bukan sekadar pengungkapan keterlibatan Amerika, melainkan pemahaman bahwa kekejaman itu dibingkai sebagai kemenangan moral. Barat merayakan runtuhnya kekuatan kiri progresif di dunia ketiga sebagai kemenangan demokrasi(ala Amerika Tentunya), padahal ribuan tubuh terbakar di rawa-rawa dan ratusan kamp konsentrasi dibangun di tanah air kita. Bevins mengingatkan: ketika Vietnam menjadi simbol kegagalan imperialisme, Indonesia justru menjadi bukti keberhasilannya.
Ia pun menolak jawaban mudah bahwa ini sekadar logika Perang Dingin. Non-blok Sukarno, minimnya dukungan Soviet untuk Allende, hingga penetrasi perusahaan Amerika di Indonesia. hal ini memperlihatkan bahwa penghancuran gerakan kiri lebih dari sekadar strategi geopolitik; ia adalah misi ideologis, semacam puritanisme anti komunis yang menganggap pengorganisasian rakyat dan solidaritas kelas sebagai ancaman eksistensial. Anti-komunisme bukan sekedar taktik ia menjadi kepercayaan negara.
Buku ini menelanjangi satu ironi sejarah: mereka yang dibantai bukan musuh bersenjata, tetapi guru desa, petani, aktivis buruh, perempuan yang mengajar baca tulis. Mereka dibunuh bukan karena melakukan pemberontakan, tetapi karena berani bermimpi tentang masyarakat yang lebih adil tanpa explotation der l’homme par l’homme dan exploitation der l’nation par l’nation.
Di titik inilah The Jakarta Method menjadi relevan dalam perdebatan hari ini. Upaya mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional sama saja dengan menutup mata terhadap sistem pembantaian yang ia jalankan, dan mengamini metode kekuasaan berbasis teror, darah, dan kekerasan yang kemudian menjadi inspirasi kediktatoran dunia.
Soeharto bukan hanya motor kekerasan, tetapi simbol global dari rezim yang memaknai pembunuhan sebagai stabilitas dan penghilangan warga negara sebagai “penertiban”. Memberinya gelar pahlawan berarti bukan hanya mengkhianati jutaan korban di Indonesia, tetapi juga menjustifikasi pola kekejaman yang menjalar dari Jakarta hingga Santiago.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu — Pramoedya Ananta Toer (Jilid I)
Jika sejarah resmi berupaya membekukan tahun 1965 sebagai momentum heroisme negara, maka Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah suara teriakan lantang yang datang dari ruang yang paling sunyi, namun paling jujur: kamp konsentrasi, tubuh yang direpresi, dan pikiran yang ditolak hidup. Bukan novel, bukan fiksi, melainkan catatan getir seorang ayah yang menulis surat pada anak-anaknya yang tak pernah ia peluk, seorang suami yang direnggut dari keluarganya, dan seorang penulis yang dipaksa bungkam oleh negara yang takut pada gagasan.
Pramoedya tidak mengeluarkan makian; ia mencatat dengan kemarahan yang tenang. Dalam sunyi, ia menelanjangi wajah sebuah rezim yang menyebut dirinya penyelamat bangsa, namun membangun kekuasaan melalui ketakutan, penghilangan, dan penghukuman tanpa pengadilan. Dari pembuangan Pulau Buru, Pram menulis bukan untuk dendam, tetapi untuk tetap menjadi manusia, untuk mempertahankan ingatan agar tidak ditenggelamkan oleh propaganda yang satu arah.
Buku ini membuat kita paham betapa mengerikannya kekuasaan yang menuntut rakyat untuk percaya tanpa bertanya. Ia menawarkan ruang paling intim dari seorang manusia yang dirampas hak berbicara: rekahan rindu, ketabahan yang tidak ingin dipuji, dan kesadaran bahwa negara bisa menghancurkan tubuh, tetapi tidak selalu bisa mematikan martabat.
Justru di dalam kesunyian itulah Nyanyi Sunyi Seorang Bisu menjadi teriakan. Sebuah kesaksian bahwa rezim militer Orde Baru bukan hanya membunuh dalam gelap, tetapi juga membungkam dalam terang. Pramoedya, seorang intelektual yang dipenjara tanpa proses hukum, adalah bukti nyata bahwa di bawah Soeharto, pikiran pun bisa dianggap ancaman negara.
Di tengah wacana mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional, buku ini berbicara tegas tanpa perlu retorika: bangsa yang menghormati pelaku represi sama saja merayakan kebisuannya sendiri. Sementara Pram menulis untuk tetap hidup, kita membaca untuk tetap insyaf dan waras agar tidak membiarkan negara kembali mengulang cara yang sama untuk mengatur rakyatnya mengunakan ketakutan, pembungkaman, dan monumen palsu yang menutupi luka.
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu mengingatkan bahwa untuk mengakui luka bukan tanda lemah, tetapi syarat menjadi bangsa yang matang. Menolak Soeharto sebagai pahlawan bukan soal menolak masa lalu, tetapi memastikan generasi mendatang tidak perlu belajar diam dari penjara. Buku ini adalah saksi dan saksi tidak boleh dikubur, apalagi dijadikan ornamen sejarah yang jinak.
Unfinished Nation — Max Lane
Di antara sejarah resmi yang membekukan rakyat sebagai penonton, Unfinished Nation hadir untuk mengembalikan subjek sejati dari sejarah Indonesia: massa yang bergerak, buruh yang mogok, petani yang melawan, mahasiswa yang menolak tunduk. Max Lane, dengan ketajaman ideologis yang tak disembunyikannya, menyajikan kisah Indonesia bukan sebagai dongeng stabilitas, tetapi sebagai proyek politik yang belum rampung sebuah bangsa yang terus bergolak antara tatanan yang menindas dan keberanian kolektif untuk melawan penindasan tersebut.
Lane menelusuri jalan panjang dari gelora anti-kolonial awal abad ke-20 hingga tumbangnya penguasa paling lama dalam sejarah republik. Dalam narasinya, kejatuhan Soeharto bukan keajaiban politik, bukan diplomasi elite, melainkan akumulasi aksi massa yang sabar, maju, dan penuh risiko. Ia mengangkat suara-suara yang jarang disebut dalam pidato kenegaraan: buruh pabrik yang dipukuli aparat, mahasiswa yang digiring ke barak, petani yang bertahan di tanahnya meski negara memerintahkan mundur. Mereka, bagi Lane, adalah jangkar sejati republik bukan para jenderal atau teknokrat yang selama tiga dekade menjadi wajah Orde Baru.
Tentu, fokus Lane pada perjuangan kelas dan gerakan rakyat membuat gambarnya kadang sepihak. Kompleksitas politik Islam, dinamika budaya, hingga fragmentasi sosial Indonesia kerap tersisih dari bingkai. Tetapi keberpihakannya bukan kelemahan, ini adalah bagian perlawanan terhadap bagaimana cara kita diajarkan melihat sejarah, dari atas, oleh mereka yang menang. Lane menulis dari ruang organisasi bawah tanah, dari mimbar kampus, dari teriakan massa yang ingin negeri ini lebih dari sekadar stabilitas yang penuh ketakutan.
Di tengah upaya merapikan masa lalu menjadi kisah yang manis, buku ini mengingatkan: Indonesia bukan negara yang selesai. Reformasi bukan puncak, tapi pembukaan. Dan ingatan akan kediktatoran bukan benda museum ia masih mengepul di cara aparat berkuasa, di oligarki yang bertahan, di narasi nostalgia Orde Baru yang kini kembali dipoles.
Maka dalam perdebatan soal gelar pahlawan untuk Soeharto, Unfinished Nation menegaskan sesuatu yang sederhana namun mendasar: bangsa ini dijaga oleh mereka yang melawan ketidakadilan, bukan mereka yang melanggengkan ketakutan. Memuliakan figur yang mengontrol rakyat dan meminggirkan partisipasi publik berarti menutup mata pada fakta bahwa Indonesia bertahan bukan karena seorang pemimpin kuat, tetapi karena keberanian kolektif yang menolak tunduk.
Politik Jatah Preman-Ian Douglas Wilson
Salah satu warisan paling berbahaya dari kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto adalah normalisasi kekerasan politik melalui hubungan patronase antara negara dan preman. Ian Douglas Wilson, dalam buku Politik Jatah Preman, menunjukkan dengan jelas bagaimana rezim Soeharto tidak hanya mengandalkan aparat legal seperti militer dan kepolisian, tetapi juga membangun jaringan kekuasaan informal yang berbasis pada geng, organisasi masyarakat, dan kelompok paramiliter untuk menegakkan “ketertiban sosial” versi negara.
Dalam logika Orde Baru, kekerasan bukan sekadar alat represi, tetapi bagian dari mekanisme pemerintahan. Kelompok-kelompok pemuda seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, dan berbagai organisasi lain diberi mandat moral dan politik untuk menjadi perpanjangan tangan negara dalam membungkam kritik. Mereka mengatasnamakan ideologi Pancasila, namun pada prakteknya menjalankan fungsi sebagai penggebuk terhadap siapapun yang berseberangan dengan rezim. Kekuasaan Soeharto memelihara sistem ini dengan cermat. Preman dilindungi selama setia, diberi akses ke sumber daya ekonomi dan politik, serta dilegitimasi sebagai “penjaga stabilitas”.
Inilah yang kemudian oleh Wilson disebut sebagai politik jatah preman, yaitu simbiosis antara kekuasaan negara dan kekuasaan jalanan. Dalam sistem ini, loyalitas lebih penting daripada hukum, dan kekerasan menjadi alat legitimasi politik. Premanisme menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan, bukan penyimpangan darinya. Soeharto menciptakan model kekuasaan yang menggabungkan birokrasi dengan dunia bawah, menjadikan kekerasan informal sebagai pondasi stabilitas semu Orde Baru.
Warisan ini tidak hilang setelah Soeharto tumbang. Demokratisasi pasca 1998 hanya memindahkan pusat patronase dari negara ke arena politik lokal dan elektoral. Preman, milisi, dan ormas-ormas paramiliter beradaptasi. Kini mereka bukan lagi alat negara, melainkan aktor politik otonom yang menjadi perantara antara politik formal dan dunia jalanan. Mereka mengklaim mewakili identitas agama atau etnis, namun tetap melanjutkan praktik kekerasan dan rente ekonomi yang berakar dari pola kekuasaan Orde Baru. Dengan kata lain, premanisme yang kita saksikan hari ini adalah bentuk mutasi dari sistem kekuasaan yang dibangun oleh Soeharto, sebuah sistem yang menanamkan kekerasan sebagai bahasa politik.
Memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto berarti menutup mata terhadap struktur kekerasan yang ia bentuk dan wariskan. Tidak ada pahlawan di balik sistem yang menormalisasi kekerasan terhadap rakyatnya sendiri, yang memelihara preman untuk menggebuk oposisi, yang menggantikan hukum dengan loyalitas dan keadilan dengan patronase. Warisan politik jatah preman bukanlah warisan kepahlawanan, melainkan jejak pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan dan demokrasi.
Jika pahlawan adalah mereka yang membebaskan rakyat dari ketakutan, maka Soeharto adalah kebalikannya. Ia membangun kekuasaan dengan menanamkan rasa takut melalui tangan-tangan preman yang ia pelihara.
Menobatkan Soeharto sebagai pahlawan berarti memuliakan kekerasan sebagai cara berpolitik dan melanjutkan budaya impunitas yang hingga kini masih menghantui demokrasi Indonesia.
Penutup
Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti mengakui kekerasan sebagai fondasi republik dan melupakan sejarah sebagai medan perjuangan moral. Soeharto bukan sekadar bagian dari masa lalu, melainkan bayangan panjang yang masih menuntun cara kekuasaan bekerja hari ini: menindas atas nama stabilitas melalui proyek negara, memanipulasi ingatan atas nama persatuan. Enam buku ini mengajarkan bahwa menolak bukanlah sikap kebencian, melainkan tanggung jawab rakyat terhadap kebenaran. Selama negeri ini masih menganggap pembantaian sebagai “pengorbanan”, dan pembungkaman sebagai “ketertiban”, maka pekerjaan sejarah belum selesai. Menolak Soeharto sebagai pahlawan adalah cara paling sederhana namun paling penting untuk menjaga akal sehat bangsa agar tidak tunduk pada kekuasaan yang lahir dari ketakutan dan dipelihara oleh omong-kosong Atas nama mereka yang dibunuh, yang dibungkam, yang diasingkan, dan yang terus berjuang agar kebenaran tidak terkubur, kita harus bersikap tegas dan tanpa ragu: Soeharto bukan pahlawan!!!***
Penulis: Dhiva Trenadi Pramudia, Institut Marhaenisme 27.