Marhaenist.id – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sebagai organisasi kader yang lahir dari semangat Marhaenisme Bung Karno, saat ini menghadapi krisis legitimasi dan dualisme kepemimpinan yang telah berlangsung lebih dari lima tahun sejak Kongres Ambon 2019 lalu antara Kubu Arjuna dan Kubu Imanuel.
Kondisi ini bukan hanya mengancam marwah organisasi, tetapi juga melemahkan fungsi utama GMNI sebagai wadah kader intelektual yang berpihak pada rakyat.
Hal ini diperparah dengan tidak adanya kesepakatan bersama untuk mengadakan Kongres Persatuan dan justru salah satu pihak yakni Kubu Imanuel mengambil jalannya sendiri untuk mengadakan Kongres sendiri di Kota Bandung.
Namun tidak semua pihak menyambut positif proses tersebut. Di Bandung, misalnya, klub cabang (DPC GMNI Bandung dan Bakercab GMNI Bandung) menolak keras Kongres GMNI XXII yang digagas oleh kubu Imanuel dan menilai bahwa ini merupakan pemaksaan kehendak elit organisasi atas penderitaan kader akar rumput.
Mereka menyerukan rekonstruksi total dengan konsolidasi ideologis berbasis akar rumput, bukan hanya formalitas struktural semata.
Info terkini dari Kongres GMNI XXII versi Imanuel di Bandung, menghasilkan konflik baru dengan adanya penetapan 2 Ketua Umum terpilih yaitu Soejahri Somar-Amir Mahfut dan Risyad Fahlefi-Patra Dewa.
Kemenangan Sojarhi Somar-Amir Mafhuf didukung oleh 91 suara DPD dan DPC GMNI Se-Indonesia yang hadir sebagai peserta kongres, sementara sisanya 44 Suara mendukung Risyad Pahlefi-Patra Dewa.
Meskipun mendapatkan suara lebih sedikit dari Sujarhi Somar-Amir Mahfut, Risyad Pahlefi-Patra Dewa tetap bertahan sebagai pemenang Kongres karena mereka terpilih secara terpisah dengan Sujarhi-Amir melalui Kongres Tandingan yang telah diseting oleh Imanuel.
Kini, GMNI terbelah menjadi 3 bagian atau Tigaisme, ditambah dengan adanya kubu Arjuna-Dendy yang gencar menyuaran persatuan ditubuh GMNI.***
Catatan Redaksi yang diambil dari Keresahan Kader GMNI di berbagai Sumber Media Sosial.