Marhaenist.id – Setelah peristiwa berdarah 1 Oktober 1965, Supeni menerima tugas berat dari Ketua Umum PNI, Mr. Sartono: mencari para pemuda yang hilang, diculik, atau disiksa karena dituduh terlibat G30S. Ia bolak-balik ke kantor KODAM dan SKOGAR untuk meminta kejelasan langkah yang membuatnya diawasi dan diintimidasi oleh kelompok pemuda anti-Soekarno yang tergabung dalam KAMI/KAPPI.
Rumahnya di Jalan Sriwijaya II, Kebayoran Baru, tiap malam dikepung suara sepeda motor yang meraung-raung simbol tekanan politik. Namun ketika Supeni berhadapan langsung dengan Panglima KODAM Umar Wirahadikusumah dan menanyakan apakah dirinya terlibat G30S, jawabannya tegas: “Tidak.”
Tak lama, kaca depan rumah Supeni diberi tulisan besar dari KODAM: “Jangan Diganggu.” Sejak itu, demonstrasi berhenti.
Namun badai besar belum usai. PNI partai yang dibesarkan Bung Karno dan menjadi rumah ideologi Marhaenisme mulai retak dari dalam. Bung Karno kecewa pada para marhaenis gadungan yang menyeleweng dari cita-citanya. Supeni, yang telah mencintai PNI sejak remaja, berusaha keras menyatukan partai yang tercerai-berai antara kubu Ali Sastroamidjojo dan Hardi.
Ia mendatangi Bung Karno dengan hati yang gelisah.
“Kalau PNI tidak utuh kembali, bahaya, bahaya, bahayaaa, Bung Karno!”
Bung Karno kelak menceritakan dengan haru kepada Sucipto Yudodiharjo bahwa Supeni mengucapkan kata “bahaya” itu sambil menangis.
Namun waktu tak berpihak. Sebelum upaya penyatuan berhasil, pecahlah tragedi G30S, dan PNI terbelah dua — menjadi PNI Ali-Surachman dan PNI Osa-Usep. Bagi Supeni, itu bukan sekadar konflik politik, melainkan luka ideologis yang dalam: tercerabutnya ruh marhaenisme sejati dari tubuh partai rakyat.
Jejak Awal Seorang Pejuang Perempuan
Supeni mulai mengenal dunia politik sejak usia 14 tahun di Blitar. Bersama Sukarni yang kelak menjadi tokoh pergerakan pemuda ia aktif di Indonesia Muda. Saat sekolah di HIK Blitar, ia dipecat karena berpolitik. Dari situ, ia belajar bahwa perjuangan selalu menuntut pengorbanan.
Pada 1946, ia resmi bergabung dengan PNI. Hanya dalam tiga tahun, Supeni sudah menjadi anggota Dewan Partai. Ia dikirim belajar sistem pemilu ke India dan menulis buku Pemilihan Umum di India (1952). Dua tahun kemudian, ia diundang ke Amerika Serikat untuk mempelajari hal serupa.
Dalam Pemilu 1955, Supeni memimpin PNI Jakarta dan berhasil membawa partainya menjadi pemenang. Ia kemudian menjadi anggota DPR sekaligus anggota Konstituante.
Di parlemen, ia dikenal lantang memperjuangkan garis politik anti-neokolonialisme dan anti-imperialisme ala Bung Karno. Resolusinya mendukung nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir pada 1956 diterima secara aklamasi oleh DPR bukti kecemerlangannya sebagai politisi sekaligus diplomat.
Diplomat Andal dan Utusan Khusus Bung Karno
Bakat diplomatik Supeni membawa namanya ke panggung dunia. Ia menjadi penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, Duta Besar Keliling RI menjelang KTT Non-Blok I tahun 1961, dan kepala delegasi Indonesia di Sidang Umum PBB 1962.
Ketika Bung Karno menyiapkan Konferensi Asia-Afrika II tahun 1965, Supeni dipercaya menjelajahi 22 negara Afrika untuk menggalang dukungan. Ia pun kerap menjadi utusan pribadi Presiden Soekarno ke Filipina, Kamboja, dan negara Asia Tenggara lain — menjelaskan politik luar negeri Indonesia yang berdaulat dan berkepribadian.
Bung Karno pernah memujinya sebagai “diplomat berkemampuan tinggi”, namun juga seorang pendebat tangguh yang bahkan berani menentang Presiden jika merasa kebenaran berpihak padanya.
Wartawan, Pejuang, dan Saksi Sejarah
Selain politisi dan diplomat, Supeni juga menulis dan memimpin media. Ia menjadi Pemimpin Redaksi Pembimbing (1951-1954), Ampera Review (1964-1972), dan Dwiwarna (1968-1972). Ia aktif pula di Persatuan Bridge Wanita bukti bahwa meski keras di politik, ia tetap halus dalam seni dan budaya.
Setelah kejatuhan Bung Karno, Supeni tetap setia. Ia bersama suaminya sering menjenguk Sang Pemimpin di Batu Tulis, Bogor, hingga masa tahanan rumah di Wisma Yaso. Kesetiaannya tak berubah, bahkan ketika gelombang Orde Baru mencoba menghapus nama dan ajaran Soekarno dari lembaran sejarah.
Akhir Perjalanan Sang Marhaenis Sejati
Pada 26 Oktober 1995, Supeni mendirikan kembali Partai Nasional Indonesia, dan dideklarasikan pada 20 Mei 1998 hanya beberapa minggu sebelum reformasi mengguncang negeri. Namun semangat kebangkitannya tenggelam di tengah hiruk-pikuk politik baru.
Supeni Pudjobuntoro meninggal dunia pada 24 Juni 2004, dalam usia 87 tahun. Ia pergi dengan nama yang bersih, dengan idealisme yang tak pernah layu.
Supeni, Bayangan Terakhir Marhaenisme
Supeni bukan sekadar tokoh perempuan, melainkan simbol keberanian, kesetiaan, dan kecerdasan politik perempuan Indonesia pada masa-masa tergelap sejarah bangsa. Ia berdiri di antara kekuasaan dan nurani, di antara loyalitas kepada Bung Karno dan cinta pada rakyat.
Ia adalah saksi hidup dari zaman ketika politik bukan sekadar perebutan kursi, tetapi medan untuk mempertahankan martabat bangsa.
Sumber: koransulindo.com/Editor: Bung Wadhaar.