By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Rezim Hibrida Prabowo

Indo Marhaenist
Indo Marhaenist Diterbitkan : Selasa, 20 Agustus 2024 | 18:39 WIB
Bagikan
Waktu Baca 7 Menit
Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. ANTARA/Wahyu Putro A
Bagikan
iRadio

MARHAENIST – Rezim hibrida adalah rezim kekuasaan yang memiliki semua institusi demokrasi tetapi minim bahkan kosong nilai-nilai demokrasinya. Jalan Rezim Hibrida telah dibentuk oleh Jokowi sepanjang sepuluh tahun kekuasaannya. Apakah Prabowo akan melanjutkan jalan itu? Jawaban atas pertanyaan itu tergantung kepada bagaimana set up Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang dicetuskan pada tanggal 8 Agustus 2024 lalu.

KIM Plus adalah koalisi raksasa yang dibentuk oleh Prabowo dengan mengajak gabung semua lawan politiknya pada Pilpres yang lalu. Pada pertemuan 8 Agustus, partai PKS, PKB dan Nasdem dikabarkan akan bergabung ke dalam KIM Plus.

Apa yang terjadi bila koalisi raksasa KIM Plus terwujud? Ini berarti hanya tersisa PDI Perjuangan yang bisa menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah. Kondisi ini menciptakan parlemen yang homogen: KIM Plus setidaknya menguasai 84% kursi parlemen.

Apakah situasi ini tidak akan mengancam demokrasi?

Dampak Koalisi Rakyat

Koalisi dalam politik adalah hal yang lumrah. Seorang presiden terpilih pasti menghendaki dukungan parlemen. Cara termudah baginya adalah berbagi kekuasaan dengan partai-partai yang bersedia bergabung ke dalam koalisi yang dibikinnya. Namun terdapat perbedaan dalam praktek koalisi di Indonesia maupun di dunia.

Di dunia, koalisi partai terjadi karena ada persamaan ideologis. Partai-partai yang berkoalisi menyepakati lebih dulu suatu platform ideologis yang menentukan bagaimana sikap partai itu dalam berbagai isu politik. Meskipun demikian, ruang untuk interpretasi dan negosiasi lebih lanjut tetap ada.

Sebagai contoh Koalisi CDU/CSU (Christian Democrat Union/Christian Social Union) dan Social Democrat Party (2013-2017 & 2017-2021). Selama krisis migrasi Eropa, CDU/CSU (partai kanan-tengah) dan SPD (partai kiri-tengah) memiliki pandangan yang berbeda tentang kebijakan migrasi. SPD lebih mendukung kebijakan yang lebih inklusif, sementara CDU/CSU mengambil sikap yang lebih konservatif dan berhati-hati terkait penerimaan migran. SPD juga sering mendorong kebijakan kesejahteraan dan proteksi sosial yang lebih luas, sementara CDU/CSU lebih mengedepankan disiplin fiskal dan pengendalian anggaran.

Baca Juga:   Studi Terhadap Prilaku Keserakahan, Seberapa Mengerikannya Manusia? (Bagian 3)

Perbedaan di atas biasanya diselesaikan melalui negosiasi dan kompromi. Setiap partai dalam koalisi harus bernegosiasi dan berkompromi untuk mencapai konsensus dalam isu-isu tertentu. Maka debat dan perbedaan pandangan bukan hal tabu melainkan mencerminkan dinamika demokrasi yang sehat di Jerman, dimana tidak ada satu partai atau koalisi yang mendominasi tanpa perdebatan.

Meskipun ada perbedaan pandangan, partai-partai dalam koalisi biasanya berusaha keras untuk menjaga keberlanjutan pemerintahan, karena kegagalan dalam mencapai konsensus bisa menyebabkan jatuhnya pemerintahan dan pemilu dini.

Di Indonesia, koalisi pemerintahan SB Yudoyono (2004-2014) relatif bekerja sebagaimana koalisi di Jerman. Banyak debat dan perbedaan pendapat di kalangan anggota koalisi, misalnya dalam penentuan calon kepala daerah. Walau begitu koalisi SBY selamat sampai akhir dan mencetak pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun.

Namun dalam 10 tahun terakhir koalisi partai yang mendukung Joko Widodo diwajibkan untuk satu suara, se-iya sekata dalam semua urusan politik. Jokowi mengatakan, “Hanya ada satu visi yaitu visi presiden.” Jadi koalisi Jokowi tidak membangun visi bersama. Mereka hanya boleh mengikuti kemauan presiden: tidak ada debat, tidak ada perdebatan.

Akibatnya, terjadi kemunduran demokrasi yang parah. Jokowi menyalahgunaan kekuasaan dengan membatasi pilihan rakyat secara semena-mena, mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan yang adil bagi semua individu untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Koalisi besar Jokowi, dengan demikian, tidak lain adalah persekongkolan politik untuk merusak demokrasi.

Apa yang terjadi pada Koalisi Besar Jokowi bisa terjadi pada Koalisi Raksasa KIM Plus. Pilkada Jakarta bisa menjadi contoh. Dalam kasus ini, keputusan elit politik KIM Plus untuk mengonsolidasikan dukungan hanya kepada satu calon, yaitu Ridwan Kamil, telah secara efektif menghapuskan pilihan bagi rakyat Jakarta. Dengan besarnya koalisi KIM Plus praktis tidak ada cukup dukungan bagi pesaing Ridwan Kamil. Di titik ini esensi demokrasi, yang didasarkan pada partisipasi dan pilihan bebas, hilang. Jika Anda tidak setuju dengan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur, Anda hanya dapat memilih kotak suara kosong—sebuah pilihan yang secara jelas tidak akan menghasilkan perubahan.

Baca Juga:   Refleksi Hari Perempuan Internasional: Guyonan Seksis, Cerminan Mentalitas Bobrok!

Mengapa Tidak Demokratis?

Koalisi besar yang menyediakan calon tunggal atau calon semu adalah tidak demokratis karena mereka merampas hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka. Dalam demokrasi sejati, rakyat harus memiliki pilihan antara beberapa kandidat yang layak, yang menawarkan visi dan kebijakan yang berbeda. Namun, ketika elit politik bersekongkol untuk menyingkirkan kompetisi dan memaksakan satu calon saja, mereka merampas hak publik untuk memilih, mengubah proses pemilihan menjadi prosedur formalitas yang absurd. Ini bukanlah demokrasi, melainkan manipulasi sistem politik yang menyamar sebagai demokrasi.

Partai politik yang diberi wewenang untuk memilihkan calon pemimpin terbaik terbukti bersekongkol, menelikung hak rakyat.

Ketika rakyat dihadapkan dengan pilihan yang terbatas pada satu calon, atau bahkan calon semu, mereka kehilangan suara mereka. Pemilihan yang seharusnya menjadi sarana untuk mengekspresikan kehendak rakyat berubah menjadi ritual kosong tanpa makna. Bagaimana bisa kotak suara kosong—yang tidak mewakili apa pun—menjadi pilihan yang sah dalam sebuah pemilu? Jawabannya tentu saja, tidak bisa. Pemilihan menjadi absurd, dan partisipasi rakyat, yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi, menjadi tidak berarti.

Siapa yang bertanggung jawab atas absurditas ini? Mereka adalah elit yang berkomplot untuk sengaja merampok hak-hak publik. Dengan menyingkirkan calon lain yang potensial dan memusatkan dukungan hanya pada satu individu, mereka memastikan bahwa proses demokrasi tidak lebih dari sebuah sandiwara. Persekongkolan ini mencerminkan kecenderungan otoritarian dalam demokrasi yang seharusnya memberikan rakyat suara yang sejati. Demokrasi yang dirampas dari pilihan yang bebas dan adil tidak lagi dapat disebut demokrasi.

Dengan mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menciptakan kondisi di mana pilihan rakyat terbatas hanya pada satu calon, elit politik tidak hanya menodai proses pemilihan tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem politik itu sendiri. Nepotisme dan persekongkolan politik yang menghasilkan calon tunggal adalah bentuk pengkhianatan terhadap esensi demokrasi, dimana hak rakyat untuk memilih dan menentukan masa depan mereka seharusnya menjadi yang utama.

Baca Juga:   Selama Ego Masih Menggebu, Bicara Persatuan di Tubuh GMNI Hanyalah Omong Kosong - Refleksi Perjalanan GMNI

Oleh : Multatuli 

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Foto: Desain Grafis oleh SP-NTT/MARHAENIST
Pernyataan Sikap SP-NTT: Polemik Geothermal Flores-Lembata dan Polemik Investasi di Pulau Padar Taman Nasional Komodo
Senin, 25 Agustus 2025 | 17:44 WIB
Semangat Muda Kaum Nasionalis: Deklarasi GSNI Pacitan
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:34 WIB
Aksi Mahasiswa: Bubarkan DPR ?
Senin, 25 Agustus 2025 | 13:28 WIB
Mas Bambang Patjul Dibutuhkan Fokus Skala Nasional
Minggu, 24 Agustus 2025 | 21:13 WIB
‎Dugaan 22 Anak SD Keracunan Makanan dari Program MBG, Ketua GMNI Inhil: Kurangnya Kontrol Pihak Terkait
Sabtu, 23 Agustus 2025 | 19:24 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Peringati HUT Kemerdekaan RI, DPC GMNI Touna dan DPK GMN Bung Tomo Manajenen Gelar Nobar Sekaligus Bedah Film bersama Masyarakat
Kabar GMNI
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Kabar GMNI

Dianggap Lecehkan Bung Karno, GMNI Blitar Polisikan Rumah Produksi Video Klip Lagu “Iclik Cinta”

Marhaenist.id, Blitar – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kabar GMNI

Kritik Pernyataan Imanuel, Eksponen GMNI: Ada Pelecehan Demokrasi yang Ditutupi Demi Memenangkan Pilpres

Marhaenist.id, Jakarta - Eksponen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyayangkan pernyataan Imanuel…

Kabar GMNI

Gelar Aksi, DPK GMNI UM Buton dan PK IMM Faperta UM Buton Desak Pencopotan Dosen atas Dugaan Pelecehan Seksual

Baubau, Marhaenist.id - Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kapitalisme

Ekonomi Negara Sedang Dalam Keadaan Tidak Baik-Baik Saja

Marhaenist - Sejumlah data terbaru menunjukkan perekonomian domestik sedang tidak berada dalam…

Kabar GMNI

Dua Ekor Bebek Untuk Kegagalan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu

MARHAENIST - Massa aksi yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kabar GMNI

Dana Bawaslu tak Terbayar, GMNI Sulbar Nilai Pj Bupati Mamasa dan Pj Gubernur Sulbar tak Serius Laksanakan Perintah Mendagri

Marhaenist.id, Mamasa - Polemik Dana Pilkada Bawaslu Mamasa tidak terbayarkan, Gerakan Mahasiswa…

Kabar GMNI

Kawal Putusan MK, GMNI Jember Gelar Unjuk Rasa

MARHAENIST - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Kabar GMNI

DPC GMNI Tangsel Sesalkan Tindakan Kekerasan terhadap Mahasiswa Katolik di Pamulang

Marhaenist.id, Pamulang Tangsel - Baru-baru ini, sebuah video yang menjadi viral di…

Polithinking

Bantah Sakit, Prabowo Jogetan di Depan Jokowi

Marhaenist.id, Jakarta - Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dikabarkan sakit…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?