Perhelatan kontestasi politik melalui Pemilihan Umum 2024 semakin dekat dan berjalan dinamis. Tersiarnya kabar bahwa sederet politisi maupun relawan politik melakukan konsolidasi demi terciptanya kerjasama politik ataupun koalisi. Pentingnya kesepahaman dan keselarasan politik demi menciptakan gagasan yang ideal, dalam rangka membangun sebuah peradaban bangsa yang saling keterhubungan satu dengan yang lain.
Bagi penulis, kunci terpenting untuk menjadi magnet politik adalah dengan cara komunikasi politik. Salah satu contoh komunikasi politik yang ideal yakni politik inklusif, dengan cara menggunakan bahasa politik yang sederhana, dan dimengerti oleh rakyat. Sehingga yang dimaksudkan bahwa politik inklusif yakni cara tokoh politik bertemu langsung dengan akar rumput, yakni rakyat.
Misalnya, komunikasi politik bersifat inklusif yakni kinerja tokoh politik untuk menarik simpatisan publik, tentu sederet gagasan yang harus diperhatikan adalah kesejahteraan rakyat yang menyangkut hajat hidup orang banyak, dengan kebermanfaatan secara kolektif dan berkelanjutan. Bukan hanya formalistik seremonial yang bersifat populistik.
Tokoh politik yang menjadi pemimpin, haram hukumnya jika menjauh dengan rakyat. Begitupun sebaliknya, hukumnya haram jika rakyat menjauh atau bahkan apatisme dengan pemimpinnya. Oleh karena itu, pentingnya kerjasama antara pemimpin dengan rakyat dalam mewujudkan satu kesatuan yang utuh, yang dilakukan secara gotong royong.
Komunikasi politik berhasil jika tokoh politik melakukan konsolidasi dengan rakyat, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri selalu menginstruksikan kepada kadernya untuk rajin turun kebawah, mengamati kondisi sosial serta mendengarkan aspirasi rakyat.
Dalam studi kasus PDI-P, dalam pandangan subyektif penulis berdasarkan pengamatan sosial, Megawati Soekarnoputri dalam penyampaian dimedia massa pun geram terhadap kadernya, jika kebijakan politik kadernya tidak sesuai dengan prinsip ideologis yang bersumber dari ajaran Bung Karno. Atau bahkan jika menemukan kadernya ‘macak’ elit feodalistik (tidak sesuai dengan politik gagasan wong cilik), yang dikhawatirkan adalah persepsi publik menjumpai kader PDI-P dalam perilaku politiknya cenderung eksklusif, berpotensi menggerus eksistensi PDI-P, sehingga tipologi tersebut harus diantisipasi dengan cara deteksi dini.
Hal yang wajar, terdapat fenomena politik jika Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengeluarkan surat keputusan untuk memecat kadernya yang pembangkang, eksklusivisme, serta jauh dari nawacita ideologi partai politik. Mengapa demikian ? bagi penulis, dikhawatirkan menjadi boomerang tersendiri bagi PDI-P, sebagai partainya wong cilik dengan mempertahankan citra partai yang bersifat inklusif, bukan ekslusif.
Oleh karena itu, mandat yang diberikan oleh kader PDI-P terhadap Megawati Soekarnoputri, melalui kongres 2019 di Bali, Ketum mempunyai hak preogatif dalam menentukan keputusan politiknya di PDI-P. Hasil kongres 2019 tidak serta merta keputusan tersebut secara sepihak, melainkan berdasarkan pertimbangan yang masak, menuju arah gerak partai itu tersendiri.
Hal ini dibuktikan dengan data survey yang dirilis oleh Litbang Kompas periode Agustus 2023, PDI-P menempati posisi teratas dengan dukungan elektabilitas 24,4%, naik 1% dari survey Mei 2023, dengan elektabilitas 23,4%. Terpaut jauh dengan peringkat dibawahnya, menempati posisi kedua, yakni Partai Gerindra yang hanya mendapatkan dukungan elektabilitas 18,9%, naik 0,3% dari survey Mei 2023, dengan elektabilitas 18,6%.
Dukungan elektabilitas PDI-P, tidak terlepas dengan penggemblengan kaderisasi politik yang dilakukan oleh PDI-P. Sehingga dalam proses kaderisasi diharapkan dapat menghasilkan tokoh politik yang mampu mewarisi ajaran The Founding Father, yakni Bung Karno sebagai referensi utama kaderisasi politik yang dilakukan oleh PDI-P.
Dalam konteks perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang, melalui proses panjang dan pertimbangan kriteria, baik dari segi pemikiran, olah rasa, dan implementasi pengalaman politiknya, maka PDI-P secara bulat mengusung kadernya sendiri yakni Ganjar Pranowo. Dalam perjalanan karier politiknya, Ganjar Pranowo pernah menjabat di Lembaga Legislatif, yakni DPR-RI dan lembaga eksekutif, yakni Gubernur Jateng 2 periode, yang bakal selesai dalam masa jabatannya pada 5 September 2023.
Elektabilitas dan Popularitas Ganjar Pranowo
Bagi penulis, bahwa Ganjar Pranowo merupakan tokoh politik yang dikenal mampu menjadi aktor intelektual sipil berlatarbelakang politisi yang mempunyai jiwa leadership dan mengorganisir aspirasi rakyat, terutama dalam hal menyangkut kesejahteraan rakyat. Bahkan dalam perjalanan kehidupan pribadinya yang berlatarbelakang dari sipil yang sederhana, untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Gadjah Mada, ia merelakan untuk menjual bensin eceran.
Sehingga, dugaan penulis, yang bersangkutan selama menjadi Gubernur Jawa Tengah (Jateng), yang menjadi konsentrasi program prioroitas dalam kebijakan publik adalah pengentasan kemiskinan di Jateng. Hal ini didasarkan pada hasil release yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, jumlah penduduk miskin Jateng pada Maret 2023 berada di angka 3,79 juta orang (10,77 persen) penduduk miskin, turun 0,21% jika dibanding dengan September 2022 dengan jumlah 3,86 juta orang (10,98%) penduduk miskin (turun sejumlah 66,73 ribu).
Hal tersebut dibuktikan dari beberapa lembaga riset yang tersiar di media massa, menunjukan bahwa popularitas tokoh politik seperti Ganjar Pranowo menempati posisi teratas. Misalnya, berdasarkan hasil survey Litbang Kompas, yang diwartakan oleh Harian Kompas, berdasarkan simulasi 3 calon presiden dengan catatan kriteria calon tersebut melanjutkan program dari Presiden Jokowi (berlatarbelakang sipil), Calon Presiden (Capres) Ganjar Pranowo menempati posisi teratas dengan elektabilitas 36,9%. Kemudian Capres Prabowo Subianto, dengan modal latarbelakang militer, menempati posisi kedua 35,4%, dan Capres Anies Baswedan hanya menempati posisi ketiga dengan elektabilitas 22,1%.
Selain itu, berdasarkan indeks kelompok persepsi memandang kinerja pemerintah Jokowi – Ma’ruf, Ganjar Pranowo menempati posisi teratas dengan kelompok paling positif menilai kinerja pemerintah, dengan presentase 87,3%. Pendukung Prabowo Subianto menempati posisi ketiga dengan presentase 74,3%, dibawahnya persepsi pendukung Ridwan Kamil menempati posisi kedua, dengan presentase 75,0%. Sedangkan persepsi pendukung Anies Baswedan, menempati posisi kelima dengan presentase elektabilitas 52,6%.
Politik Inklusif: dari Komunikasi Politik Menjadi Program Kerja Kerakyatan
Berdasarnya gambar diatas merupakan potret dari politik inklusif yang mempunyai keselarasan, serta bermanfaat dan berdampak nyata bagi rakyat. Politik inklusif harus menjadi pegangan bagi tokoh politik, selama menjabat di lembaga Negara, baik legislatif maupun eksekutif. Dalam konteks lembaga eksekutif, politik inklusif dapat diterapkan melalui komunikasi politik antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Salah satu caranya yakni harmonisasi kebijakan, serta keselarasan dan kesinambungan program kerja, yang berwatak kerakyatan.
Ataupun bisa menggunakan skema penterjemahan program prioritas dari pemerintahan pusat oleh pemerintahan daerah. Seperti halnya Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dapat menterjemahkan program kerja prioritas dari Presiden Joko Widodo. Sehingga, kesinambungan program kerja dengan pendekatan Politik Inklusif, diharapkan mampu memberikan kontribusi secara langsung agar rakyat mendapatkan dampaknya.
Contohnya, melalui Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jateng mendukung akselerasi kebijakan pusat menyangkut yakni; a) penurunan stunting; b) penghapusan kemiskinan ekstrem menjadi 0 persen; c) Percepatan Eliminasi Malaria; d) Pengendalian Inflasi; e) Implementasi Satu Data Indonesia; serta f) Kondusivitas Wilayah.
*) Penulis bernama Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.