Marhaenist – Ditengah Perang Dingin, Indonesia muncul sebagai “Macan Asia”. Karisma Presiden Sukarno mengalihkan perhatian dunia pada sebuah negara kepulauan yang belum lama merdeka. Bagaimana presiden pertama Indonesia berhasil merebut hati Uni Soviet? Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev menceritakan kesannya terhadap Indonesia dan Sukarno dalam memoarnya.
Pada mulanya, Uni Soviet tak mengenal Indonesia, tulis Khrushchev mengawali memoarnya mengenai Indonesia. Di bawah kepemimpinan Stalin, Uni Soviet sama sekali tak punya ketertarikan terhadap Indonesia. Selama bertahun-tahun berhubungan dengan Stalin, ia tak pernah sekalipun berbicara tentang Indonesia atau menunjukkan apa yang ia ketahui mengenai negara itu.
Pertama kali pemerintah Soviet mulai membicarakan Indonesia di tingkat Komite Pusat (Partai Komunis Uni Soviet) adalah pada 1955, ketika penandatanganan Dasasila Bandung (sepuluh poin hasil pertemuan Konferensi Asia-Afrika). Peristiwa itu betul-betul menarik seluruh perhatian dunia. Sejak itu, nama presiden Indonesia, Sukarno, mulai sering muncul di surat-surat kabar Soviet.
Secara perlahan, Indonesia mulai menarik perhatian Uni Soviet. Hubungan diplomatik antara kedua negara terjalin saat Stalin masih berkuasa. Menurut Khrushchev, Indonesia layak mendapat perhatian Soviet karena negara itu adalah negara yang sangat besar, indah, makmur, multietnis, dan terdiri dari ribuan pulau dengan populasi (kala itu) mencapai lebih dari seratus juta jiwa.
Sukarno Mengesankan Khrushchev
Pada 1956, tak lama setelah Kongres Partai Komunis Uni Soviet yang ke-20, Presiden Sukarno berkunjung ke Uni Soviet. Presiden Indonesia disambut dengan penuh hormat sebagaimana mestinya, tulis Khrushchev. “Dia memberi kami kesan sebagai orang yang terdidik dan cerdas. Padahal, tingkat pendidikan dan kecerdasan tak selalu sejalan. Saya telah bertemu banyak orang berpendidikan, tapi sangat tidak cerdas, dan sebaliknya, orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan, tetapi di sisi lain berotak encer. Sukarno memiliki keduanya. Ia berpendidikan dan juga cerdas.”
Kunjungan Sukarno ternyata betul-betul meninggalkan kesan mendalam. Uni Soviet langsung menjalin hubungan baik dengan Indonesia. Khrushchev bahkan mengakui bahwa ia sangat menyukai sosok Sukarno. Selama berada di Uni Soviet, Sukarno menggarisbawahi prinsip-prinsip kebijakannya yang menekankan pada netralitas dan tak berpihak pada blok militer mana pun.
“Begitulah awalnya kami menjalin hubungan dengan Indonesia. Pelan-pelan, Indonesia semakin dekat dengan kami dan bahkan memerlukan bantuan ekonomi,” kata Khrushchev. Pada awal 1960, Sukarno mengundang delegasi pemerintah Uni Soviet untuk berkunjung ke Indonesia. Khrushchev mengaku sangat senang dan karena itu langsung menerima undangan tersebut.
“Delegasi kami terdiri dari beberapa anggota Komite Pusat Partai Komunis Uni Soviet. Saya dipercaya untuk memimpin rombongan itu. Saya ditemani oleh Menlu Gromyko dan sejumlah orang lainnya. Kami terbang ke Indonesia dengan menggunakan pesawat Il-18,” kenang Khrushchev.
Begitu mendarat, delegasi Uni Soviet langsung disambut dengan upacara penyambutan yang luar biasa. Orang-orang bahkan berbondong-bondong memadati jalan-jalan. “Mereka menyambut kami dengan begitu hangat, dan itu langsung memperkuat kesan kami terhadap Indonesia. Indonesia adalah negara yang sangat indah. Orang-orangnya pun sangat ramah. Sementara, kehangatan iklim tropis betul-betul mengejutkan kami.”
Gelora Bung Karno
Sebelum ke Indonesia, pemerintah Uni Soviet telah menyepakati sejumlah kerja sama dengan Indonesia. Soviet, misalnya, sepakat membantu penyediaan sejumlah peralatan dan memberikan pinjaman untuk penambangan timah dan barang tambang berharga lainnya. Sukarno bahkan meminta supaya Uni Soviet membantu pembangunan stadion di Jakarta. Stadion itu, sebagaimana yang dikatakan Sukarno, diharapkan dapat menampung ribuan orang. Stadion itulah yang kemudian dikenal sebagai Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Akhirnya, sejumlah pakar Soviet yang berpengalaman mengerjakan proyek semacam itu membangun stadion untuk Indonesia. Sukarno bahkan mengundang Khrushchev untuk mengunjungi lokasi pembangunan. Saat itulah, Khrushchev sadar bahwa Sukarno ingin dirinya terlihat sebagai sosok sentral dalam pembangunan ini, seolah-olah dialah pencetus utamanya.
“Bersama saya, ia melakukan semacam aksi simbolis tenaga kerja. Kami menarik tali yang menghidupkan mesin pemancang tiang. Semua ini hanyalah aksi teatrikal, tapi memang begitulah dia (Sukarno),” kata Khrushchev mengenang. Dalam memoarnya, Khrushchev bercerita bahwa ketika presiden Indonesia meminta bantuan Uni Soviet untuk membangun stadion megah di Jakarta yang menghabiskan banyak uang, ia mengaku terkejut dan berterus terang pada Sukarno bahwa itu bukanlah langkah yang bijaksana.
“Indonesia (saat itu) masih merupakan negara terbelakang. Aneka industri baru mulai dibangun. Negara itu hidup dengan mengandalkan sumber daya alamnya dan mengekspor barang-barang mentah. Meski begitu, hal pertama yang mereka inginkan adalah stadion! Untuk apa?” ujar Khrushchev.
“Untuk menggelar orasi publik,” jawab Sukarno singkat.
Jawaban itu ternyata tak memuaskan Khrushchev. Dalam memoarnya, sang pemimpin Soviet bahkan mengakui bahwa ia memandang sikap presiden Indonesia itu secara negatif. Menurutnya, dari berbagai pemimpin negara yang ia kenal, Sukarno betul-betul berbeda. Ia setuju bahwa seorang pemimpin negara sesekali perlu menggelar orasi publik. Namun, Khrushchev melihat bahwa sikap Sukarno itu justru menunjukkan kelemahannya.
“Dia memang senang berada di tengah-tengah rakyat. Dia terlihat seolah-olah selalu membutuhkan penonton dan karena itulah dia membutuhkan sebuah panggung besar — sebuah stadion, yang akhirnya kami bangun,” kenang sang pemimpin Soviet.
Meski begitu, saat kunjungan pertama Sukarno ke Uni Soviet, ia memang sempat berpidato di Stadion Luzhniki, Moskow. Kabarnya, ia begitu terkesan dengan stadion tersebut sehingga memutuskan bahwa ibu kota Indonesia pun memerlukan kompleks olahraga sejenis. Tak heran, stadion yang belum lama ini menjadi saksi kehebatan timnas sepak bola Prancis pada Piala Dunia beberapa waktu lalu menjadi inspirasi untuk membangun Stadion Gelora Bung Karno.
Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno mulai dikerjakan pada 8 Februari 1960. Dua tahun kemudian, pada 24 Agustus 1962, stadion itu resmi dibuka sebagai kelengkapan sarana dan prasarana Asian Games 1962 yang diadakan di Jakarta. Untuk membangun stadion megah itu, Uni Soviet memberikan kredit lunak sebesar 12,5 juta dolar AS kepada Indonesia.
Kenangan Khrushchev terhadap Sukarno dan Indonesia tak selesai sampai sini.
_______