Marhaenist – Dalam perhelatan Pilpres 2024, walaupun tidak dinyatakan secara terbuka, semua orang bisa melihat kemana arah dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan merestui anaknya Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto, bahkan dengan proses yang kontroversial di MK, sangat jelas bahwa Jokowi memberikan dukungan penuh dan mengendorse pada Prabowo.
Kenapa Jokowi sepertinya mbalelo dari PDI Perjuangan, partai yang sudah membesarkannya sejak 2005 ketika dia menjadi Walikota Surakarta. Banyak pihak menduga karena Jokowi merasa “Tidak Aman” dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh PDI Perjuangan.
Ditolaknya proposal 3 periode oleh Megawati, ditolaknya perpanjangan masa jabatan, ditetapkannya Ganjar Pranowo, semua itu adalah beberapa hal yang disinyalir membuat Jokowi merasa harus menempuh jalan yang berbeda dari partainya.
Indikasi paling mencolok adalah ketika PDI Perjuangan sudah mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai Capres yang diusung, Jokowi masih mengatakan “Ojo Kesusu” ke para relawan garis kerasnya. Padahal sebagai kader PDI Perjuangan, wajib hukumnya untuk sejalan dengan garis partai.
Jokowi merasa perlu mengamankan dirinya dan keluarganya setelah selesai dari masanya jabatannya. Beberapa petunjuk mengarah pada dugaan tersebut, bahwa dia perlu mengamankan dirinya dan keluarga.
Tunduknya ketua-ketua partai politik menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menjadi kartu truff di antara mereka. Jokowi mungkin memegang kartu truff yang cukup banyak, sesuai dengan ujarannya bahwa dia punya data intelijen termasuk tentang aktivitas para ketua-ketua partai politik itu. Tapi hal ini juga bisa berarti sebaliknya, para ketua parpol itu juga punya pegangan tertentu tentang Jokowi.
Hubungan Transaksional Ini Tentunya Tinggal Masalah Kartu Truff Siapa Yang Lebih Kuat?
Dibandingkan Ganjar yang secara tegas menyatakan bahwa dia hanya tunduk pada rakyat dan ketua umum partainya, Jokowi merasa lebih aman bersama Prabowo yang seolah-oleh sangat manut dengan Jokowi yang sudah mengalahkannya dalam 2 kali perhelatan Pilpres, yaitu pada 2014 dan 2019. Mungkin Jokowi merasa, Prabowo akan mengamankan dirinya setelah dia tak lagi duduk di kursi Presiden RI. Demi memastikan kemenangan Prabowo, Jokowi merestui anaknya untuk maju mendampingi Prabowo, walaupun harus melakukan utak-atik aturan melalui tangan sang ipar yang saat itu duduk di kursi ketua MK.
Tapi, semuanya tak semulus apa yang direncanakan. Jauh sebelum sang putra dilegalkan untuk maju sebagai cawapres, Anies Baswedan sudah lebih dulu dideklarasikan oleh Nasdem dan beberapa parpol lain untuk maju sebagai Capres. Dengan kondisi PDI Perjuangan sebagai pemegang golden ticket yang mampu mengusung capres sendiri tanpa perlu berkoalisi, maka kemungkinan besar akan muncul 3 paslon.
Hal ini tentu saja merusak rencana Jokowi dan Prabowo untuk menyelesaikan pilpres dalam 1 putaran. Jadi, keberatan terbesar dari Jokowi dari majunya Anies bukanlah soal meneruskan IKN atau tidak. Bukan juga tentang Anies adalah antitesis Jokowi. Keberatan terbesar Jokowi dari majunya Anies adalah dengan adanya 3 paslon, kemungkinan untuk bisa menang dalam 1 putaran menjadi sangat kecil, mendekati nihil.
Inilah yang membuat berbagai upaya dilakukan untuk menjegal Anies. Ancaman pemanggilan KPK dan pengerahan tangan-tangan kekuasaan dilakukan. Tapi kubu Anies juga tidak tinggal diam dan melakukan upaya-upaya yang tak kalah kuat untuk menjaga majunya Anies. Pada akhirnya, KPU tetap menetapkan 3 paslon Capres-Cawapres yang resmi berlaga dalam Pilpres 2024.
Tapi, seandainya Prabowo berhasil memenangkan Pilpres 2024, benarkah dia akan mengamankan posisi Jokowi ketika sudah tidak menjabat nanti?
Mari Berspekulasi
Beberapa issue mengatakan, Jokowi dan Prabowo akan tukar guling posisi. Prabowo sebagai presiden dan Jokowi sebagai ketum Gerindra. Ada pula issue yang mengatakan Jokowi akan menjadi ketum atau Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia setelah putranya Kaesang menjadi ketum di sana.
Posisi-posisi ini dianggap cukup strategis untuk membuat Jokowi tetap punya suara dan nilai tawar dalam kancah perpolitikan negeri ini.
Tapi, ada satu hal “Kecil” yang mungkin dilupakan Jokowi. Ketika Prabowo sudah berkuasa, maka semua tangan kekuasan ada di bawah komandonya, baik secara resmi maupun tidak resmi. Dan selama proses kampanye ini, Prabowo tentunya akan banyak belajar dari Jokowi tentang strategi-strateginya dalam Pilpres 2014 dan 2019, yang kita tau, sebagian orang menganggap ada cukup banyak kecurangan yang dilakukan disana.
Prabowo tentu akan mendapat insight yang lebih baik, langsung dari Jokowi, tentang cara-cara yang ditempuh Jokowi untuk memenangkan 2 kali pilpres tersebut. Dan ini, bisa saja menjadi kartu truff tambahan untuk Prabowo jika sewaktu-waktu ingin melepaskan diri dan menyingkirkan Jokowi andai dia berkuasa nanti.
Jadi, bukan tidak mungkin Prabowo justru akan memenjarakan Jokowi dengan semua data dan informasi yang dia miliki. Bagaimanapun juga, tidak akan ada matahari kembar dalam prinsip kepemimpinan.
Akankah Jokowi akan menjadi Presiden RI pertama yang terjerat kasus pidana ketika sudah lengser dari kekuasaannya?
Hanya Sang Khalik yang tahu.
Penulis : Doddy.