Marhaenist.id, Jakarta – Penjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2016–2017, Soni Sumarsono, menegaskan bahwa membangun Jakarta sebagai kota global tidak cukup hanya dengan pembangunan infrastruktur dan pencitraan modernitas. Jakarta, katanya, harus menjadi kota global yang berkeadilan sosial — kota yang maju tanpa meninggalkan rakyatnya.
Hal itu disampaikan Soni dalam Diskusi Publik Sesi II bertema “Tata Kelola Pemerintahan yang Akuntabel dan Transparan Menuju Jakarta Kota Global-Berkeadilan Sosial”, yang digelar oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Raya di Kantor DPP PA GMNI, Jakarta, Sabtu (25/10/2025).
“Kota global yang berkeadilan sosial bukan hanya tentang ekonomi dan politik dunia, tapi tentang memastikan semua warganya mendapat keadilan sosial. Kalau bikin kota global saja gampang. Tapi yang berkeadilan sosial, itu harus ada muatan ideologisnya,” tegas Soni.
Ia menjelaskan, konsep kota global sejatinya menuntut keberimbangan antara daya saing internasional dan kesejahteraan warga. Jakarta, lanjutnya, sudah memenuhi banyak kriteria kota global—dengan bandara internasional, pelabuhan, kawasan bisnis modern, serta peran budaya dan diplomasi—namun tantangan terbesar terletak pada kesenjangan sosial dan partisipasi publik.
> “Jakarta sekarang sudah kota global. Kita peringkat 71 dari 158 kota dunia, naik dari posisi 74 tahun lalu. Tapi jangan lupa, kota global yang berkeadilan sosial menolak kesenjangan ekonomi yang sering muncul akibat globalisasi. Harus ada akses setara bagi semua,” ujarnya.
Soni juga mengapresiasi langkah Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung yang dinilainya progresif dalam memperkuat tata kelola kota.
“Langkah-langkah sekarang sudah bagus — integrasi MRT, LRT, TransJakarta, digitalisasi pelayanan publik. Untuk smart city, Jakarta yang terbaik di Indonesia. Tapi cakupan dan pemerataan harus terus ditingkatkan,” ungkapnya.
Menurutnya, pembangunan kota global juga harus memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam kebijakan publik.
“Partisipasi masyarakat masih lemah. Transparansi yang belum optimal bisa berpengaruh pada akuntabilitas, dan ujungnya korupsi. Ini yang harus dibenahi,” katanya.
Soni menilai sejumlah program seperti transportasi publik murah, perumahan rakyat, ekonomi kreatif berbasis komunitas, serta ruang publik hijau harus menjadi prioritas utama agar Jakarta tumbuh sebagai kota global yang tetap humanis.
“Jakarta harus menjadi kota yang maju secara global tapi berakar secara ideologis. Di situlah nilai-nilai nasionalisme dan marhaenisme menemukan relevansinya,” tuturnya.

Ia juga mendorong PA GMNI untuk berperan aktif sebagai penjaga nilai keadilan sosial dalam arah pembangunan kota.
“Peran PA GMNI penting — sebagai pejuang pemikir dan pemikir pejuang. PA GMNI harus ikut mengawal Jakarta agar menjadi kota global yang tetap berpihak pada rakyat,” tandasnya.
Sementara itu, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta-Ketua Bidang Komunikasi Sosial Chico Hakim menyampaikan bahwa Gubernur Pramono Anung terus menekankan pembangunan yang dimulai dari lapisan masyarakat terbawah.
“Pak Gubernur selalu bilang, membangun Jakarta harus dari bawah. Enggak mungkin Jakarta jadi kota global kalau masyarakatnya enggak terangkat,” ujar Chico.
Ia memaparkan sejumlah gebrakan yang telah dilakukan, di antaranya peningkatan penerima manfaat KJP dari 500 ribu menjadi 700 ribu anak, perluasan KJMU hingga 17 ribu mahasiswa, serta pemutihan ijazah bagi 8 ribu pelajar.
“Jakarta di persimpangan ambisi global dan kesenjangan sosial. Karena itu, kebijakan kita diarahkan agar kota global ini benar-benar berpihak pada rakyat,” tambahnya.
Pemerhati kebijakan publik Yenny Sucipto turut menegaskan pentingnya pendekatan kemanusiaan dalam pembangunan Jakarta sebagai living global city.
“Transformasi Jakarta bukan hanya soal infrastruktur dan teknologi, tapi soal bagaimana kota ini memanusiakan manusianya. Jakarta harus membuat warganya merasa dihargai, aman, dan bermakna,” ujarnya.
Yenny menilai sistem keuangan dan audit Pemprov DKI sudah tertib, namun partisipasi publik perlu ditingkatkan.
“Portal APBD sudah interaktif, tapi jangan mandek di situ. Harus ada komunikasi politik dengan akar rumput, misalnya lewat pra-musrenbang,” kata Yenny.
Ia menekankan bahwa transparansi harus menjadi karakter birokrasi Jakarta.
“Membangun kota global bukan meniru dunia, tapi membuat dunia belajar dari Jakarta — kota yang tumbuh tanpa kehilangan hati,” pungkasnya.
Diskusi publik yang menjadi bagian dari rangkaian menuju Konferensi Daerah (Konferda) V DPD PA GMNI Jakarta Raya ini menegaskan satu pesan penting: bahwa globalisasi Jakarta harus dibangun di atas fondasi ideologis keadilan sosial.
Sebagaimana disampaikan Soni Sumarsono, kota global yang sejati bukan sekadar diukur dari indeks atau infrastruktur, melainkan dari sejauh mana setiap warganya dapat merasakan keadilan, kesetaraan, dan kebermaknaan hidup di dalamnya.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.