Marhaenist.id – Salah satu tujuan utama diterapkan pajak oleh negara adalah untuk keadilan. Hal tersebut selain harus tercermin dalam alokasi penggunaanya juga pemungutanya.
Pemungutan pajak yang adil harus tercermin dari subyek dan sumber obyek pajak yang tepat. Salah satunya adalah dilihat dari kemampuan bayar (ability to pay) dari subyek pajak.
Mereka yang memiliki kemampuan membayar pajak lebih besar seharusnya membayar lebih besar dan yang kemampuanya lebih kecil membayar lebih kecil. Bukan justru sebaliknya.
Rencana peningkatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen oleh pemerintah tahun depan adalah bentuk kurang tepat dalam menyasar potensi kemampuan membayar pajak dari subyek pajak. Bahkan jika subyek pajak dianalogikan sebagai domba, dalam hal ini sudah menguliti kulit dombanya dan bukan lagi mencukur bulu dombanya.
Mereka yang akan membayar PPN adalah konsumen melalui harga yang ditambahkan oleh pengusaha. Kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen itu adalah angka yang signifikan. Sebab angka ini jika dilihat dari nilainya dikalikan dari jumlah nilai transaksinya. Sebut saja misalnya jika perusahaan memiliki omset penjualan barang terkena PPN sebesar 10 milyard rupiah maka harus membayar sebesar 100 juta rupiah.
Dalam angka agregatnya, ketika kita menggunakan nilai penjualan yang berpotensi PPN dengan angka nilai tahun 2023 yang sebesar 742.2 trilyun rupiah, jika tarifnya adalah 11 persen maka nilai penjualanya adalah sebesar 6.747,2 trilyun rupiah. Jika angka ini dikalikan 12 persen maka nilainya adalah sebesar
809,6 trilyun rupiah. Rencana tambahan pendapatan dari pajak PPN oleh pemerintah tahun 2025 adalah sebesar 67,4 trilyun rupiah.
Rencana penambahan target sumber pendapatan pemerintah dari sumber PPN sebesar kurang lebih 67,4 trilyun rupiah di tahun 2025 mendatang adalah nilai besar yang harus dibayar oleh masyarakat. Terutama konsumen masyarakat kelas menengah ke bawah.
Tarif yang tinggi dari PPN ini akan justru berpotensi menggerus daya beli masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah dan menjadi pemicu inflasi serius. Sehingga dampaknya justru akan menjadi backlash bagi perekonomian makro secara keseluruhan di tengah masyarakat menengah ke bawah sedang terengah menghadapi penurunan daya beli.
Hal tersebut bukan hanya akan berpengaruh ke sisi demand side atau kemampuan pendorong ekonomi dari permintaan konsumen, namun juga akan menekan ekonomi masyarakat di posisi supply side yang dampaknya akan menekan harga harga barang mentah pendukung usaha usaha pabrikasi. Secara natural para pengusaha pabrikasi akan melakukan pengalihan biaya ( transfer cost ) ke bahan mentah karena jika membebankan sepenuhnya kepada konsumen maka akan mempengaruhi target penjualan mereka.
Pajak Harta Sebagai Solusi Berkeadilan
PPN adalah memang sumber pendapatan yang paling mudah dalam pemungutanya. Namun dampak ekonominya secara agregat justru menjadi buruk. Belum lagi jika digunakan untuk semata menutup defisit neraca pembayaran kita yang mana posisi angsuran utang dan bunga jatuh temponya dalam posisi menekan fiskal. Dalam posisi gali lobang buat jurang.
Jika ingin mendapatkan sungguh sungguh bulu domba dan bukan menguliti kulit dan daging dombanya, serta menjadikan instrumen pajak sebagai pedang keadilan, maka solusi yang tepat diterapkan oleh pemerintah itu seharusnya justru pajak harta.
Pajak harta atau kekayaan bersih, ialah pajak yang dikenakan atas kepemilikan aset pribadi. Aset pribadi yang dimaksud mencakup uang tunai, deposito bank, real estat, aset dalam program asuransi dan pensiun, kepemilikan bisnis yang tidak berbadan hukum, sekuritas, dan lainnya.
Pajak kekayaan ini merupakan pajak atas komponen harta pribadi dikurangi dengan utang. Jadi pajak kekayaan bisa juga disebut sebagai pajak harta atau kekayaan bersih.
Sumber pajak harta untuk di Indonesia ini alamat subyek pajaknya juga sangat mudah ditemukan. Sebab hanya menyangkut kurang lebih 2 persen jumlah penduduk. Mereka adalah yang menurut standard internasiomal ( Suissie Credit Institute, 2021) memiliki kekayaan bersih di atas US$ 100.000 – US$ 1 juta atau 1,4 milyard rupiah ke atas.
Atau kalau akan disasarkan kepada kelompok superkayanya atau mereka yang memiliki kekayaan di atas US $10 juta atau 14,3 milyard rupiah, maka jumlahnya hanya 0,1 persen dari orang dewasa atau sekitar 20.000 an orang dewasa. Atau kalau mau lebih mudah lagi cukup pajaki 100 orang konglomerat saja. Mereka yang kekayaannya dari 4 keluarga saja sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin ( Oxfam, 2023).
Pajak harta ini selain berfungsi untuk mendapatkan sumber pendapatan baru yang disesuaikan dengan visi keadilan dari kemampuan bayarnya, juga penting untuk mencegah kemampuan monopoli dari orang orang kaya dalam urusan bisnis, yang tentu juga penting bagi urusan politik. Sebab dari rahim mereka inilah sistem oligarki yang merusak demokrasi kita itu sesungguhnya lahir. Bagaimana Bu Menteri Keuangan? Berani enggak?
Jakarta, 28 November 2024
Penulis: Suroto, Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (AKSES) Indonesia.