Marhaenist.id – Dalam beberapa tahun terakhir, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menghadapi tantangan serius yang mengancam integritas dan eksistensinya sebagai organisasi kader berbasis ideologi.
Konflik dualisme kepemimpinan di tingkat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) telah menciptakan polarisasi hingga ke akar rumput, menghambat kaderisasi, dan mereduksi makna ideologis GMNI sebagai rumah perjuangan Marhaenis.
Sebagai organisasi yang menjadikan Marhaenisme warisan Bung Karno sebagai dasar perjuangan, GMNI semestinya menjadi ruang konsolidasi intelektual, bukan arena pertarungan kekuasaan. Namun faktanya, dualisme yang terus berlangsung telah menjauhkan GMNI dari marwah awalnya.
Ketika dua kubu saling mengklaim legitimasi, yang terdampak langsung adalah kader di tingkat komisariat dan cabang—mereka yang seharusnya menjadi ujung tombak gerakan justru terjebak dalam kebingungan arah.
Ideologi Bukan Alat Politik
Marhaenisme sejatinya adalah jalan ideologis yang mengutamakan kesetaraan, gotong royong, dan perjuangan kelas. Bung Karno meletakkan dasar ini bukan untuk diperebutkan, tapi untuk dijalankan secara kolektif. Ironisnya, Marhaenisme hari ini justru terfragmentasi oleh tafsir-tafsir praktis yang cenderung membenarkan dominasi dan sektarianisme.
Dualisme dalam organisasi tidak bisa dilihat sebagai hal biasa. Ia adalah luka ideologis yang, jika dibiarkan, akan menjauhkan GMNI dari orientasi kerakyatannya. Kita sedang menyaksikan bukan hanya krisis kepemimpinan, tetapi juga krisis identitas. GMNI yang seharusnya tampil sebagai organisasi ideologis progresif kini justru dipersepsikan sebagai kelompok yang terbelah dan pragmatis.
Saatnya Islah Ideologis
Penyelesaian konflik dualisme tidak bisa diserahkan pada proses hukum atau administratif semata. Ia harus didekati secara ideologis dan kultural. Islah bukan hanya tentang siapa yang sah, tetapi tentang siapa yang bersedia menanggalkan ego demi persatuan. Kongres Islah Nasional bisa menjadi forum bersama yang menjunjung semangat rekonsiliasi dan musyawarah mufakat.
Dalam konteks ini, kader-kader GMNI di seluruh Indonesia memiliki tanggung jawab besar. Mereka harus menjadi penekan moral agar DPP dari kedua kubu membuka diri pada dialog ideologis. Kader di daerah harus sadar bahwa kekuatan GMNI bukan terletak pada siapa yang memimpin di pusat, melainkan pada kesetiaan terhadap nilai-nilai perjuangan yang diwariskan oleh Bung Karno.
Mengembalikan Marwah Organisasi
Jika konflik ini terus dipelihara, maka GMNI akan kehilangan generasi ideologisnya. Kader-kader muda akan jenuh, apatis, dan meninggalkan organisasi. Ketika organisasi kehilangan roh perjuangan, ia hanya akan menjadi nama kosong tanpa pengaruh.
Oleh karena itu, sudah saatnya seluruh elemen GMNI kembali ke jalan persatuan. Perbedaan tafsir seharusnya memperkaya dialektika, bukan memecah barisan. Marhaenisme harus menjadi titik temu, bukan alat legitimasi kekuasaan.
Sebagaimana pesan Bung Karno: “Persatuan Indonesia bukan hanya soal menyatukan tubuh, tetapi menyatukan jiwa.” GMNI harus menyatukan kembali jiwanya—jiwa kolektif, jiwa rakyat, dan jiwa yang membebaskan.***
Penulis: Adi Maliano, Mahasiswa Pascasarjana Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Universitas Haluoleo, Kader GMNI Kendari.