Marhaenist.id – (Pendahuluan) Menata Ulang Cara Kita Memahami Ilmu: Di tengah maraknya klaim yang mengatasnamakan “logika” dalam berbagai tindakan—termasuk justifikasi moral maupun pembenaran tindakan berbasis dogma—muncul urgensi untuk membedakan antara logika ilmiah yang empiris dan logika yang sekadar bersifat reflektif atau spekulatif. Buku Logika Penemuan Ilmiah karya Karl Popper hadir sebagai jawaban atas kebingungan tersebut. Karya ini menjadi landasan penting dalam upaya menjernihkan batas antara ilmu yang bertumpu pada rasionalitas dan metode, dengan klaim-klaim pseudo-ilmiah yang kerap merasuk melalui celah-celah ide metafisik maupun religius yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis.
Melalui buku ini, Popper mengajak pembaca untuk menilai pengetahuan bukan dari validitas moral atau kesepakatan sosial semata, tetapi dari kemampuan sebuah teori untuk diuji dan—bila perlu—dibantah. Di sinilah letak revolusi logika ilmiah ala Popper: kebenaran ilmiah tidak bersifat absolut, melainkan selalu terbuka untuk direvisi, diperbaiki, dan bahkan ditinggalkan jika terbukti salah.
Logika Ilmiah: Menolak Dogma, Merangkul Uji Empiris
Bagi Popper, ilmu pengetahuan tidak dibangun atas dasar keyakinan atau konsensus sosial, tetapi pada kemampuan teori untuk melewati serangkaian pengujian ketat melalui apa yang ia sebut sebagai falsifiabilitas. Artinya, sebuah teori ilmiah harus bisa diuji secara empirik dan terbuka terhadap kemungkinan salah. Justru di sinilah kekuatan sebuah teori: bukan karena tidak pernah salah, tetapi karena mampu bertahan dari berbagai kemungkinan yang bisa menyalahkannya.
Popper menolak pandangan induktivisme klasik yang menyatakan bahwa ilmu dimulai dari observasi lalu disimpulkan menjadi teori. Baginya, pengetahuan bukanlah hasil akumulasi data, melainkan hasil problem solving melalui hipotesis yang dirumuskan secara logis, diuji secara empiris, dan kemudian dipertahankan atau ditinggalkan tergantung pada hasil pengujian tersebut.
Dari Pengalaman Menuju Teori: Sirkulasi Empiris Popper
Popper menawarkan suatu siklus kerja ilmiah yang khas. Ia menyebutnya siklus empiris, yang dimulai dari adanya masalah (problem), dilanjutkan dengan pengajuan teori, penyusunan hipotesis, observasi empiris, hingga akhirnya melakukan generalisasi atau penyempurnaan teori. Namun berbeda dari alur konvensional, Popper tidak menekankan pada pembuktian teori, melainkan pengujiannya—dengan harapan teori itu bisa gagal pada titik tertentu, dan diganti dengan teori yang lebih baik.
Setiap langkah dari teori hingga observasi harus mengikuti logika deduktif, bukan induktif semata. Teori yang baik adalah teori yang berani membuka diri terhadap kritik, dan tidak berlindung di balik hipotesis tambahan (ad hoc) yang mengaburkan kelemahan teorinya.
Ilmu Pengetahuan dan Batas-Batasnya: Demarkasi Ilmiah
Salah satu kontribusi besar Popper adalah apa yang ia sebut sebagai masalah demarkasi—bagaimana membedakan antara ilmu yang sah (scientific) dan yang tidak (non-scientific atau pseudo-scientific). Ia menekankan bahwa ilmu harus bisa diuji secara empiris dan menghindari pembelaan metafisik yang tidak dapat diuji.
Misalnya, sebuah teori yang menjelaskan segala sesuatu tanpa bisa dibantah—seperti banyak teori dalam ranah metafisika atau bahkan astrologi—bukanlah teori ilmiah. Ilmu harus terbuka terhadap kritik, dan tidak boleh mengunci diri dalam dogma. Popper bahkan mengkritik teori Newton yang begitu lama dianggap sebagai kebenaran absolut, dan menunjukkan bagaimana teori tersebut akhirnya digantikan oleh relativitas Einstein.
Objektivitas dan Peran Subjek: Dialektika Pengetahuan
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Popper tidak mengabaikan peran subjek. Justru, ia melihat bahwa objektivitas ilmu dibangun dari interaksi antar subjek (intersubjektivitas), yang menyusun, mengkritik, dan menyempurnakan teori-teori ilmiah. Objektivitas tidak hadir dari ruang hampa, melainkan dari proses metodologis yang dapat direproduksi oleh siapa pun dengan cara yang transparan dan logis.
Dengan demikian, objektivitas bukan lawan dari subjektivitas, tetapi hasil dari dialog kritis yang dibingkai oleh metode ilmiah.
Falsifiabilitas: Jantung dari Metode Ilmiah Popper
Konsep paling terkenal dari Popper tentu saja adalah falsifiabilitas (falsifiability), yaitu kemampuan suatu teori untuk diuji dan dipatahkan. Sebuah teori yang tidak bisa dipatahkan—seperti teori bahwa “segala hal terjadi karena kehendak Tuhan”—tidak bisa dianggap ilmiah karena tidak bisa dibuktikan salah.
Sebaliknya, teori yang menyatakan “semua logam memuai ketika dipanaskan” adalah teori yang falsifiable—karena jika ditemukan satu logam yang tidak memuai ketika dipanaskan, maka teori itu gugur. Inilah fondasi pengetahuan yang progresif: terbuka terhadap koreksi.
Konvensionalisme vs Falsifikasionisme
Popper juga menentang konvensionalisme, yaitu kecenderungan mempertahankan teori lama dengan cara menyisipkan hipotesis-hipotesis tambahan untuk menyelamatkannya. Ia menyebut cara ini sebagai “trik konvensionalis” (conventionalist stratagem), yang justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam falsifikasionisme yang ia usulkan, sebuah teori harus siap untuk dikritik dan tidak boleh dimodifikasi hanya agar tetap tampak benar. Sebaliknya, hipotesis tambahan hanya boleh diterima jika meningkatkan ketajaman pengujian dan membuka kemungkinan untuk diuji secara mandiri.
Keterbatasan dan Tantangan: Fries’s Trilemma dan Simplicity
Popper menyadari bahwa logika ilmiah pun tidak bebas dari tantangan. Salah satunya adalah Fries’s Trilemma, yang mengidentifikasi tiga jebakan utama dalam epistemologi: dogmatisme (menerima sesuatu tanpa bukti), regresi tak berujung (selalu butuh bukti untuk bukti), dan psikologisme (mengandalkan pengalaman sebagai dasar kebenaran).
Popper juga membahas pentingnya kesederhanaan (simplicity) dalam teori ilmiah. Semakin sederhana teori, semakin besar peluang untuk diuji dan difalsifikasi. Namun kesederhanaan di sini tidak berarti dangkal, melainkan hemat asumsi dan memiliki struktur logis yang kuat.
Kesimpulan: Membangun Ilmu yang Progresif dan Terbuka
Logika Penemuan Ilmiah bukan sekadar buku tentang metode ilmiah, melainkan suatu pandangan dunia tentang bagaimana ilmu harus dibangun, diuji, dan dikembangkan. Bagi Karl Popper, tidak ada teori yang mutlak benar. Yang ada adalah teori yang belum terbukti salah. Ilmu pengetahuan adalah proses yang terus bergerak: dari masalah ke solusi, dari teori ke kritik, dari pemahaman ke pemahaman baru.
Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk tidak mencampuradukkan sains dengan spekulasi, agama, atau ideologi. Ilmu harus berdiri di atas logika yang rasional, terbuka, dan empiris. Dan jika kita ingin membangun masyarakat yang berpikir kritis, maka buku ini adalah salah satu fondasi penting yang perlu dipahami dan dijadikan pegangan.***
• Judul Asli Buku: The Logic of Scientific Discovery
• Penulis: Karl Popper
• Penerbit Versi Indonesia: Institut Teknologi Bandung
• Diresensi oleh: Daniel Russell, Alumni GMNI Bandung.