Marhaenist.id – Di negeri ini, ada satu hukum alam yang tak tertulis tapi biasanya selalu terbukti: kalau ada alokasi anggaran besar dari Pemerintah ke masyarakat, yang diterima masyarakat berpotensi mengecil.
Kali ini, yang sedang jadi sorotan adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG)—sebuah inisiatif mulia yang bertujuan meningkatkan gizi masyarakat, tetapi justru memunculkan keanehan dalam distribusinya.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, baru-baru ini mengungkap hasil pertemuan dengan Badan Gizi Nasional (BGN). Menurutnya, ada laporan bahwa makanan yang seharusnya bernilai Rp10.000 hanya sampai ke tangan penerima sejumlah Rp8.000-an.
Selisih Rp2.000 ini mungkin terdengar kecil, tapi kalau dikalikan jumlah penerima se-Indonesia, bisa jadi cukup untuk membangun pabrik susu formula.
Si Ketua KPK bahkan menggambarkan fenomena ini dengan analogi yang menarik: anggaran yang turun dari pusat itu seperti es batu—kokoh saat di pusat, tapi entah kenapa begitu sampai ke daerah, tiba-tiba menjadi mencair.
Bahkan orang awam-pun akan paham, terdapat potensi adanya sentuhan tangan-tangan hangat yang membuat anggaran MBG meleleh lebih cepat dari seharusnya.

Bagaimanapun, ini bukan sekadar soal uang yang hilang, tapi juga tentang kualitas makanan yang dikorbankan. Bayangkan, kalau lauk yang harusnya ikan malah jadi kerupuk.
Kepala BGN pun angkat bicara. Beliau bahkan berkomitmen untuk memperbaiki sistem agar anggaran tidak terus “menetes”.
Tapi tentu saja, di negeri yang kaya akan peraturan dan prosedur ini, “perbaikan” bisa berarti banyak hal. Kita semua tahu, di birokrasi negeri ini, “perbaikan” sering kali hanya berarti lebih banyak rapat, lebih banyak diskusi, dan lebih banyak studi banding ke luar negeri.
Sebagai solusi, KPK mendorong transparansi keuangan dan penggunaan teknologi dalam pengawasan. Idealnya, teknologi bisa mencegah dana ini “menguap” secara misterius.
Yang jelas, program ini harus diawasi ketat. Jika tidak, kita akan menghadapi fenomena yang berulang: proyek besar dengan anggaran besar, tiba-tiba anggarannya mengecil ketika tiba pada penerimanya.
Kita tentu berharap bahwa makanan bergizi ini benar-benar sampai ke rakyat dengan kualitas yang baik, bukan sekadar menu anggaran yang lebih banyak menggemukkan para oknum dibandingkan mereka yang benar-benar membutuhkan.
Tapi tentu saja, harapan adalah satu hal, kenyataan di lapangan adalah hal lain.***
Penulis: Edi Subroto, Alumni GMNI Yogyakarta.