“Sejarah mencatat, Perang Dingin AS vs Uni Soviet dulu dimenangkan oleh AS. Kini, Perang Dingin itu bermetamorfosis dalam bentuk persaingan AS vs Tiongkok. Siapa yang bakal jadi pemenang, masih belum jelas. Namun, satu hal yang sudah jelas: rapproachement AS-Rusia di Riyadh ialah bagian dari upaya AS untuk memenangi persaingan itu. Sejarah yang akan mencatat”
Marhaenist.id – Suka tidak suka, apa pun yang dilakukan oleh AS dalam politik internasional selalu menarik perhatian dunia. Itu jugayang terjadi ketika Menlu AS Marco Rubio bertemu dengan Menlu Rusia SergeyLavrov di Riyadh, Saudi Arabia, 18 Februari lalu. Dimediasi oleh Pangeran Mohammad bin Salman, putra mahkota Kerajaan Saudi Arabia, pertemuan itu diniatkan untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung tiga tahun.
Yang membetot perhatian dunia sejatinya bukanlah inisiatif Pangeran Salman untuk perdamaian Rusia-Ukraina itu sendiri. Namun, lebih pada fakta, bahwa pertemuan awal menuju
perdamaian itu tidak dihadiri oleh Ukraina, pihak yang sedang bertikai dengan Rusia. Justru karena ketidakhadiran Ukraina, inisiatif Pangeran Salman itu memantik ramifikasi permasalahan yang tidak sederhana terhadap konflik Rusia-Ukraina.
Dunia mencatat, inilah pertemuan pertama antara kedua menlu setelah Presiden Donald Trump dilantik sebagai Presiden AS. Lantas, bagaimana memaknai pendekatan kembali
antara AS dan Rusia dalam konteks konflik Rusia-Ukraina? Setidaknya ada dua alas pijak dalam memetakan lansekap konflik itu, yaitu geopolitik Eropa dan rivalitas AS-Tiongkok di
panggung politik dunia.
Pertama, dipindai dari geopolitik Eropa,
manuver AS yang tetiba membahas perdamaian Rusia-Ukraina tanpa melibatkan Ukraina jelas membuat Uni Eropa (UE)–kawasan yang paling terimbas perang Rusia-Ukraina–kurang berkenan. Bisa dimaklumi karena dalam perspektif geopolitik Eropa, UE sangat berkepentingan agar Ukraina masuk dalam orbit kepentingan politik dan keamanan Eropa.
Itu untuk mengatakan bahwa UE ingin Ukraina bisa menjadi anggota NATO, untuk kemudian menjadi anggota UE. Namun, justru keanggotaan Ukraina di NATO itulah yang menjadi pemicu Rusia menginvasi Ukraina dan menduduki lima negara bagian Ukraina Timur
dekat perbatasan Rusia-Ukraina. Setidaknya begitulah pretext yang digunakan Rusia untuk menjustifikasi tindakannya yang melanggar kedaulatan Ukraina.
Sejak perang meletus pada Februari 2022, persepsi publik mengatakan UE solid mendukung Ukraina menahan gempuran Rusia. Namun, nyatanya UE tidak kompak-kompak amat. Beberapa anggotanya tidak sepenuh hati mendukung kebijakan UE membantu Ukraina bertahan dari serangan Rusia. Hongaria dan Slovakia, misalnya, seperti gamang untuk mendukung penuh kebijakan UE membantu Ukraina.
Bisa dimengerti karena jika perang terbuka berlangsung lama, kedua negara itu yang paling terdampak sebab secara geografis mereka berbatasan langsung dengan Ukraina. Selain dua negara itu, beberapa anggota UE, terutama Jerman dan Italia, masih sangat tergantung pada suplai gas dari Rusia.
Sebelum perang, ketergantungan kedua negara itu pada gas Rusia berkisar antara 40%-50% dari kebutuhan domestik mereka. Meski setelah perang hampir semua anggota UE menurunkan impor gasnya dari Rusia, tetap saja beberapa anggota UE, terutama negara bekas sosialis-komunis, membutuhkan gas dari Rusia. Ketergantungan pada gas Rusia dan posisi geografis beberapa negara UE menjadi faktor penting dalam soliditas sikap UE terhadap perang Rusia-Ukraina.
Tidak solidnya posisi UE terhadap perang Rusia-Ukraina tentu diintip AS dengan saksama. Faktor itu pula yang menjadi basis kalkulasi AS untuk mengadakan rapproachement kepada Rusia di Riyadh. Ukraina mampu bertahan hingga hari ini tak lain karena dukungan tiga pihak: AS, UE, dan NATO.
Dari trio kekuatan penyangga Ukraina itu, AS ialah pemain utamanya. Bisa dipahami bahwa perubahan posisi AS yang mendekat ke Rusia akan mengubah imbangan geopolitik di Eropa. Pendekatan AS ke Rusia itu jelas memperlemah posisi Ukraina. Namun, justru itu yang diinginkan AS sebab dengan melemahnya dukungan untuk Ukraina akibat berubahnya sikap AS yang berpihak ke Rusia, perang Rusia-Ukraina bisa lebih cepat berakhir. Itu menjadi pertanyaan: mengapa AS ingin perang Rusia-Ukraina segera diselesaikan? Pertanyaan tersebut membawa pada pokok bahasan kedua tulisan ini.
Kedua, bagaimana implikasi pendekatan
AS-Rusia terhadap rivalitas AS-Tiongkok dipanggung politik dunia? Seorang pengamat Tiongkok dan Eropa Timur, Reid Standish, dalam artikelnya di RFE (Radio Free Europe) mengatakan AS memprioritaskan kebijakan
‘membendung Tiongkok’ dalam politik luar negerinya. Kawasan Eropa dan Timur Tengah tidak akan menjadi prioritas lagi. Itu dilakukan karena AS ingin fokus di kawasan Asia-Pasifik untuk menghadang Tiongkok.
Upaya AS dan sekutunya untuk membendung Tiongkok di Asia-Pasifik sangat kasatmata. Untuk tidak menyebut semuanya, pembentukan aliansi AUKUS, pembukaan kantor penghubung
NATO di Tokyo dan kerja sama militer trilateral AS-Jepang-Filipina dinilai banyak pengamat sebagai bagian dari strategi geopolitik AS untuk menahan gerak laju pengaruh Tiongkok di Asia-Pasifik, utamanya di Laut China Selatan
dan Selat Taiwan. Apabila AS berhasil merangkul Rusia dan mengendurkan dukungannya kepada UE dan NATO, perang Rusia-Ukraina bisa cepat selesai. Selesainya perang Rusia-Ukraina memungkinkan AS fokus menghadapi Tiongkok di Asia-Pasifik.
Media internasional mewartakan, seusai
pertemuan Menlu AS dan Menlu Rusia di Riyadh, kedua pemimpin sepakat membentuk tim teknis untuk membicarakan modalitas perdamaian Rusia-Ukraina. Pertemuan kedua menlu akan dilanjutkan pada tingkat lebih tinggi: pertemuan Trump dan Putin. Rencana pertemuan Trump-Putin mengungkit memori kolektif dunia tentang kunjungan Presiden Nixon ke Beijing 1972. Saat itu dunia masih dihantui Perang Dingin antara blok Liberal-Kapitalis dibawah AS dan blok Sosialis-Komunis di bawah Uni Soviet. Tiongkok secara ideologis lebih dekat ke blok Uni Soviet.
Kunjungan Nixon ke Beijing saat itu telah mengubah peta persaingan antara blok kapitalis dan blok komunis. Dalam suasana Perang Dingin saat itu, AS tentu berkepentingan untuk menjauhkan Tiongkok dari Uni Soviet. Benar saja, setelah kunjungan Nixon yang bersejarah itu, Tiongkok menjadi dekat dengan AS, memberi tambahan leverage politik bagi AS dalam berhadapan dengan Uni Soviet.
Suasana Perang Dingin AS vs Uni Soviet kini seolah menjelma kembali dalam bentuk lain: bermetamorfosis dalam bentuk persaingan antara AS vs Tiongkok. Meski tak sekeras Perang Dingin AS-Uni Soviet dulu, nuansa persaingan AS-Tiongkok sudah mewujud dalam berbagai bidang. Dalam geostrategi membendung Tiongkok, AS mengajak sekutunya di Asia-Pasifik (Australia dan Jepang) untuk membentuk aliansi dan kerja sama militer. Di bidang perdagangan, kedua negara terlibat saling ancam perang dagang.
Dalam kerja sama minilateral, Tiongkok melalui BRICS berupaya mengurangi penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional. Ketika dunia dilanda pandemi pada 2019, persaingan kedua kekuatan dunia itu juga mengemuka. Kedua negara saling tuduh tentang asal muasal virus covid-19 yang mematikan itu. Bahkan, Tiongkok melalui media internasional mengumumkan pada dunia bahwa mereka sukses mengalahkan virus celaka itu hanya dalam waktu tiga bulan.
Tak hanya itu. Ketika banyak negara gamang memerangi virus, Tiongkok justru membanggakan sistem politik partai tunggalnya yang berbasis sosialisme-ekonomi terbuka (sering
dirujuk dengan terma socialist state-capitalism): Tiongkok berhasil mengalahkan covid-19 dengan cara yang padu, kuat, efektif, dan efisien. Narasi itu seolah ingin memperhadapkan sistem politik partai tunggal yang diklaim efektif dan efisien dengan demokrasi liberal-kapitalis Barat yang dinilai lamban, gaduh, dan panik dalam pengambilan keputusan.
Pada titik itu, terlihat rivalitas AS vs Tiongkok tidak hanya di bidang politik, ekonomi, dan militer. Lebih serius dari itu, rivalitas AS vs Tiongkok juga merambah ke persaingan ideologis. Persis seperti terjadi pada saat Perang Dingin AS vs Uni Soviet dulu. Sangat dimaklumi bahwa tujuan akhir dari persaingan dua kekuatan ialah memenangkan pertarungan itu.
Sejarah mencatat, Perang Dingin AS vs Uni Soviet dulu dimenangkan oleh AS. Kini, Perang Dingin itu bermetamorfosis dalam bentuk persaingan AS vs Tiongkok. Siapa yang bakal jadi pemenang, masih belum jelas. Namun, satu hal yang sudah jelas: rapproachement AS-Rusia di Riyadh ialah bagian dari upaya AS untuk memenangi persaingan itu. Sejarah yang akan mencatat.***
Penulis: Darmansjah Djumala,
Dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad, Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Wina periode 2017-2021, Alumni GMNI.
Disclaimerl: Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan di Media Indonesia.