Hal ini juga terjadi pada kita selaku manusia, walau tidak dapat dipukul rata bahwa semua manusia memiliki keinginan untuk membunuh. Tetapi, Neurolog bernama Jonathan H. Pincus dalam bukunya “Base Instincts: What Makes Killers Kill?” menyatakan kesimpulan yang serupa. Bahwa manusia akan cenderung melakukan aksi membunuh manusia lainnya dalam usaha mempertahankan diri atau menyelamatkan nyawa sendiri. Analisa sifat dasar manusia sebagai pembunuh ini sempat dituliskan juga oleh Review Global berdasarkan penelitian dari David M Buss seorang psikolog sekaligus Profesor di University of Texas di Austin.
Penelitian tersebut mengemukakan sekitar 91% pria atau 84% wanita memiliki keinginan untuk membunuh makhluk hidup lain. Baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan. Selain David M Buss, penelitian-penelitian lain juga banyak yang menyatakan bahwa aktivitas saling bunuh pada manusia merupakan alur dari genetik etika atau sosiobiologi sampai alur evolusi manusia. Sebab, ternyata insting manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan cara bersaing sudah berada sejak didalam Rahim. Reaksi ini diperlihatkan dalam sebuah hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada janin kembar untuk mendapat ruang yang maksimal pada rahim ibunya mereka tidak segan untuk menendang dan mendorong saudaranya. Mungkin inilah awal mula alasan munculnya sifat egois dan kejam pada manusia saat merasa terpojok dan terancam.
Insting untuk bertahan hidup memang tidak pernah lepas dari sifat binatang yang dimiliki oleh manusia. Berbicara mengenai kehidupan ditingkat kebinatangan, hukum alam menggambarkan bahwa kehidupan baru berjalan ketika hewan sudah saling memangsa. Bahaya untuk dimangsa oleh predator lain yang lebih dominan akan selalu mengancam dari menit ke menit, siklus kehidupan tersebut dapat kita samakan saat manusia ada dalam peperangan.
Berbicara tentang perang dalam kacamata normal kita, itu selalu tentang bencana. Namun sialnya dalam dunia internasional bencana dalam peperangan terkadang dimuliakan dan bahkan dirayakan. Dalam perang ada sesuatu kekomplekan, disana mengandung banyak sisi unsur definisi dan varian. Perang dapat dilihat dari dua sisi yakni positif dan negatif yang bergantung pada dampak frekuensi, skala motivasi dan tren perkembangan yang lahir kemudian setelah peperangan. Namun di luar itu, pada dasarnya dampak yang dihasilkan oleh perang adalah selalu negatif seperti rusaknya tatanan sosial, ekonomi, lahirnya trauma jangka Panjang, kelaparan, malnutrisi pada anak-anak disabilitas dan juga timbulnya berbagai penyakit. Semua peperangan yang ada dalam buku sejarah kita membuktikan hal ini. Namun manusia dengan akalnya selalu mencari pembenaran akan suatu peperangan.
Imanuel Kant seorang filsuf besar Jerman bahkan menyatakan bahwa tendensi perang telah tertanam dalam kodrat manusia. Menurutnya, perang perlu dianggap mulia karena perang mendorong manusia ke arah nilai luhur. Seperti; perdamaian, menjaga martabat dan juga tidak mementingkan diri sendiri. Sejalan dengan itu, Jean Paul Sartre filsuf eksistensialis kenaman dari Prancis menganggap tindakan perang sebagai pilihan bebas manusia sebab itu lahir dari otak manusia. Perang adalah suatu insting manusia terutama dalam keadaan terancam. Dalam perang manusia memang tidak jauh berbeda dengan Binatang. Segala kecenderungan kontradiktifnya dilakukan secara bersamaan, perang menggambarkan kemanusiaan dalam bentuk terburuknya dimana semua kecerdikan energi dan kapasitas manusia ditunjukkan untuk saling membunuh.
Dalam perang semua seolah menjadi dibolehkan. Perampasan, pemerkosaan dan penahanan. Bahkan tidak sedikit kasus-kasus yang menunjukkan para tahanan perang dijadikan bahan uji coba ilmu pengetahuan. Seperti, unit 731 milik Jepang unit 51 milik Amerika dan camp konsentrasi Nazi adalah beberapa contoh tempat eksperimen ilegal yang membuat para tahanan menjadi objek uji coba. Perang memang selalu mengerikan, perang adalah kekejaman kata William Tecumseh Sherman yang terkenal dan tidak ada yang dapat menyempurnakannya. Setiap upaya untuk menggali prinsip-prinsip moral untuk perang tampaknya tidak hanya ditakdirkan gagal tetapi juga menyimpang secara moral. Tidak ada aturan untuk perang, sebagaimana tidak ada aturan untuk pembunuhan atau pemerkosaan.
Dari beberapa kasus pembunuhan dan peperangan diatas lantas kita bertanya-tanya dari manakah sifat-sifat sadisme itu berasal?. Beberapa orang berspekulasi bahwa sadisme adalah adaptasi yang membantu kita menyembelih hewan saat berburu. Yang lain berpendapat bahwa sadisme turut membantu orang untuk mendapatkan kekuasaan. Sejalan dengan pendapat tersebut, ilmu saraf menjelaskan bahwa sadisme bisa menjadi taktik dalam bertahan hidup yang dipicu oleh masa-masa sulit. Ketika makanan tertentu menjadi langka, tingkat neurotransmitter kita yakni serotonin menjadi turun. Kejatuhan ini membuat manusia lebih rela menyakiti orang lain karena dengan menyakiti ada perasaan yang membuat manusia menjadi lebih menyenangkan. Salah satu perkara besar dalam dunia filsafat adalah pembicaraan tentang manusia. Menjadi perkara bukan karena kompleksitas masalah yang harus didekati dalam diri manusia. Tetapi karena diri manusia menyimpan banyak misteri.
Beragam pendekatan dengan segala variannya mencoba untuk mendekati manusia, mega proyek yang dikerjakan oleh kaum modernis dengan memberikan tekanan pada esensi manusia rupanya tidak cukup untuk menguraikan dan membahasakan perihal perilaku manusia itu sendiri. Perdebatan dalam hal hakikat manusia itu baik atau jahat menjadi perdebatan yang tidak selesai sampai hari ini, beberapa orang menyatakan pada dasarnya setiap manusia itu baik namun ternyata persepsi tersebut adalah persepsi yang keliru. Sebab, pada dasarnya setiap manusia hidup mengikuti nalurinya. Yakni, bagaimana cara agar dia bisa terus bertahan hidup.
Bersambung….>>
Penulis: Ahmad Saepul Bahri, Kader GMNI Kabupaten Tanggerang, Provinsi Banten.