MARHAENIST – Di dalam konferensi di kota Mataram baru-baru ini, Partindo telah mengambil putusan tentang Marhaen dan Marhaenisme, yang poin-poinnya antara lain sebagai berikut:
- Marhaenisme, yaitu Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi.
- Marhaen yaitu kaum Proletar Indonesia, kaum Tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
- Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub di dalamnya.
- Karena Partindo berkeyakinan, bahwa di dalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain-lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu.
- Di dalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
- Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
- Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
- Jadi Marhaenisme adalah : cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
- Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme.
___________________________
Sembilan kalimat dari putusan ini sebenarnya sudah cukup terang menerangkan apa artinya Marhaen dan Marhaenisme. Memang perkataan-perkataannya di sengaja perkataan-perkataan yang populer, sehingga siapa saja yang membacanya, dengan segera mengerti apa maksud-maksudnya. Namun, -ada satu kalimat yang sangat sekali perlu diterangkan lebih luas, karena memang ssangat sekali pentingnya. Kalimat itu ialah kalimat yang kelima. Ia berbunyi: “Di dalam perjuangan Marhaen itu, maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.”
Satu kalimat ini saja sudahlah membuktikan, bahwa cara perjuanngan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang tidak ngelamun, cara perjuangan yang dimaksudkan ialah cara perjuangan yang “menurut kenyataan”, -cara perjuangan yang modern. Sebab, apa yang dikatakan di situ? Yang dikatakan disitu ialah, bahwa didalam perjuangan Marhaen, kaum Proletar mengambil bagian yang besar sekali.
Ya, disini dibikin perbedaan paham yang tajam sekali antara Marhaen dan Proletar. Memang di dalam kalimat nomor 2, nomor 3 dan nomor 4 daripada putusan itu adalah diterangkan perbedaan paham itu: bahwa Marhaen bukanlah kaum Proletar (kaum buruh) saja, tetapi ialah kaum Proletar dan kaum Tani melarat Indonesia yang lain-lain, -misalnya kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan kaum lain-lain. Dan kemodernannya dan kerasionilannya kalimat nomor 5 itu ialah, bahwa di dalam perjuanngan bersama daripada kaum Proletar dan kaum Tani dan kaum melarat lain-lain itu, kaum Proletarlah mengambil bagian yang besar sekali: Marhaen seumumnya sama berjuang, Marhaen seumumnya sama merebut hidup, Marhaen seumumnya sama berikhtiar mendatangkan masyarakat yang menyelamatkan Marhaen seumumnya pula –namun kaum Proletar yang mengambil bagian yang besar sekali.
Ini, paham ”Proletar mengambil bagian yang besar sekali”-, inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasional. Sebab kaum Proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum Proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkenal oleh kapitalisme, kaum Proletarlah yang lebih “mengerti” akan segala-galanya kemodernan Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Mereka lebih “selaras dengan jaman”, mereka lebih “nyata pemikirannya,” mereka lebih “konkret”, dan…Mereka lebih besar harga perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dengan satu kaki di dalam ideologi feodalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang diatas awang-awang, tidak begitu “selaras jaman” dan “nyata pikiran” sebagai kaum Proletar yang hidup di dalam kegemparan percampur gaulan abad keduapuluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang “Ratu Adil” atau “Heru Cokro” yang nanti akan terjelma dari kalangan membawa kenikmatan surga dunia yang penuh dengan rezeki dan keadailan, ngandel akan “kekuatan-kekuatan rahasia” yang bisa “memujakan” datangnya pergaulan hidup baru dengan termenung di dalam gua.
Mereka di dalam segala-galanya masih terbelakang, masih “kolot”, masih “kuno”. Mereka memang sepantasnya begitu: mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!
Sebaliknya kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”. Memang! Sejak adanya soal “Agrarfrage” alias “soal kaum tani”, sejak adanya soal ikutnya si tani di dalam perjuangan melawan stelsel (sistem, ed.) kapitalisme yang juga tak sedikit menyengsarakan si tani itu, maka Marx sudah berkata bahwa di dalam perjuangan tani dan buruh ini, kaum buruh lah yang harus menjadi “revolutionaire voorhode” alias “barisan muka yang revolusioner”: kaum tani harus dijadikan kawannya kaum buruh, dipersatukan dan dirukunkan dengan kaum buruh, dibela dalam perjuangan anti kapitalisme agar jangan nanti menjadi begundalnya kaum kapitalisme itu, -tetapi di dalam perjuangan bersama ini kaum buruhlah yang “menjadi pemanggul panji-panji Revolusi Sosial”. Sebab, memang merekalah yang, menurut Marx, sebagai klasse ada suatu “social noodwendigheid” (suatu keharusan dalam sejarah, ed.), dan memang kemeangan ideologi merkalah yang nanti ada suatu “historische noodwendigheid”, -suatu keharusan riwayat, suatu kemustian di dalam riwayat.
Welnu, jikalau benar ajaran Marx ini, maka benar pula kalimat nomor 5 daripada sembilan kalimat diatas tadi, yang mengatakan bahwa di dalam perjuangan Marhaen, kaum Buruh mempunyai bagian yang besar sekali.
Tetapi orang bisa membantah bahwa keadaan di Eropa tak sama dengan keadaan di Indonesia? Bahwa disana kapitalisme terutama sekali kapitalisme kepabrikan, sedang disini ia adalah terutama sekali kapitalisme pertanian? Bahwa disana kapitalisme bersifat zulvere industrie, sedang disini ia buat 75% bersifat onderneming (perkebunan, ed.) karet, “onderneming” teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya? Bahwa disana hasil kapitalisme itu ialah terutama sekali kaum Proletar 100%, sedang disini ia terutama sekali ia menghasilkan kaum tani melarat yang papa dan sengsara? Bahwa disana memang benar mati hidup kapitalisme itu ada di dalam genggaman kaum Proletar, tetapi di sini ia buat sebagian besaar ada di dalam genggaman kaum tani? Bahwa dus sepantasnya disana kaum Proletar yang menjadi “pembawa panji-panji,” tetapi disini belum tentu harus begitu juga?
Ya,… benar kapitalisme disini adalah 75% industril kapitalisme pertanian, benar mati hidupnya kapitalisme disini itu buat sebagian besar ada di dalam genggamannya kaum tani, tetapi hal ini tidak merubah kebenaran pendirian, bahwa kaum buruhlah yang harus menjadi “pembawa panji-panji”. Lihatlah sebagai tamzil sepak teryangnya suatu tentara militer: yang menghancurkan tentaranya musuh adalah tenaga daripada seluruh tentara itu, tetapi toh ada satu barisan daripadanya yang ditaruh dimuka, berjalan dimuka, berkelahi mati-matian dimuka, -mempengaruhi dan menjalankan kenekatan dan keberaniannya seluruh tentara itu: barisan ini adalah barisannya barisan pelopor. Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya klas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum Proletar.
Oleh karena itu, pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani. Camkanlah ajaran ini, kerjakanlah ajaran ini! Bangunkanlah barisan “buruh dan sekerja” itu, bangkitkanlah semangat dan keinsyafan, susunkanlah semua tenaganya! Pergerakan politik Marhaen umum adalah perlu, -tetapi sarekat buruh dan sekerja adalah juga perlu, amat perlu, teramat perlu, maha perlu dengan tiada hingganya!
Fikiran Ra’jat 1933
Satu Massa-Aksi!! Djangan Dipisah-Pisahkan!
Kaum kolot gempar sekali!
Gempar karena mendengar semboyannya kaum Marhaeni Bandung yang berbunyi : “Kita tidak sudi ekonomi-ekonomian atau sosial-sosialan saja, kita tidak mendirikan perhimpunan sendiri, kita duduk dalam satu organisasi-politik dengan kaum laki-laki, kita menjalankan satu massa aksi dengan kaum laki-laki itu!” Dan mereka gempa-maha gempar, tatkala kaum marhaeni Bandung itu ternyata memfikirkan sembojan itu, dengan mengadakan suatu rapat besar pada hari 25 Juni yang lalu, yang mengorbankan hatinya orang 4.000 perempuan dan laki-laki.
Sebab apa gempar? Kaum kolot gempar, oleh karena “perempuan-beraksi-politik” memang adalah suatu barang baru baginya, dan terutama sekali oleh karena mereka memang selamanya hidup didalam keadatan ideologi, bahwa kaum perempuan itu harus mempunyai organisasi sendiri. Mereka hidup didalam keadatan melihat organisasi-organisasi “perempuan sendiri” sebagai Putri Budi Sedjati, sebagai Pasundan Isteri, sebagai P.P.I.I., sebagai Wanita Utomo d.l.s., ya mereka melihat organisasi kaum perempuan-sendiri sebagai Isteri Sedar yang toch terkenal itu,#— dan kini keadatan ini dirobek oleh kaum Marhhaeni Bandung dengan semboyannya tidak mau organisasi-sendiri, tetapi organisasi bersama dengan kaum laki-laki! Kini Marhaeni Bandung itu tidak mau diadakan perbedaan dan tidak mau diadakan perpisahan antara kaum perempuan dan kaum laki-laki.
Siapa yang benar? Harus ada organisasi “perempuan-sendiri”, atau tidak harus ada organisasi perempuan sendiri? Yang benar,—bagi pergerakan politik Marhaen—, adalah kaum Marhaeni Bandung: didalam perjuangan politik Marhaen itu, terutama sekali didalam perjuangan Marhaen-radikal, kaum perempuan dan laki-laki harus sama-sama duduk didalam satu organisasi, bersama-sama mengobar-ngobarkan massa-aksi.
Didalam F.R. hampir setahun yang lalu, hal ini sebenarnya sudah saya terangkan. Tetapi berhubung dengan kegemparan kaum-kolot tercengang melihat aksinya Marhaeni Bandung itu, baiklah saya kupas lagi.
Kaum perempuan tidak cukup, dengan mengejar persamaan hak dengan laki-laki saja, tidakpun cukup dengan mendapat persamaan hak dengan laki-laki saja, tidakpun cukup dengan mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki itu. Riwayat pergerakan dunia membuktikan hal itu. Dulu, dibenua asing, memang persamaan hak saja yang dikejar oleh perempuan. Dulu memang hanya “vrouwenemancipatie” saja yang diperhatikan. Kaum laki-laki boleh jadi pegawai pabrik, boleh berpolitik, boleh menjadi advokat, boleh menjadi guru, boleh jadi anggota parlemen,–kenapa kaum perempuan tidak? wahai, kaum perempuan, marilah bersatu, marilah rukun, marilah menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki itu, merebut persamaan hak itu dari tangannya kaum laki-laki yang mau menggagahi dunia sendiri!
Begitulah mereka punya pekik perjuangan. Dan mereka lantas mendirikan organisasi-organisasi perempuan sendiri, dan membangkitkan organisasi perempuan itu didalam perjuangan terhadap kaum laki-laki. Mereka memandang kaum laki-laki itu sebagai musuh, sebagai saingan, sebagai saingan yang sombong dan bengal. Mereka berjuang dengan ulet dan berani, dan akhirnya mereka menang.
Dan didalam perjuangan itu, seluruh dunia borjuis adalah bersimpati kepadanya. Didalam perjuangan itu mereka sangat sekali mendapat sokongan dari dunia borjuis itu, mendapat sokongan dari dunia kemodalan. Sokongan karena “rasa-kemanusiaan”? Karena “rasa-keadilan”, karena “rasa ethiek”? Boleh jadi begitu; memang persamaan hak antara perempuan dan laki-laki adalah juga soal “kemanusiaan”, soal “keadilan”, soal “ethiek”. Memang tiap-tiap manusia yang adil dan sehat otak, harus menyokong aksi merebut persamaan hak itu. Tetapi diatas dasarnya “rasa kemanusiaan” daripada kaum borjuis dan kaum modal itu adalah terletak “rasa-keuntungan” yang tebal sekali. “Ethiek”-nya kaum borjuis terhadap pada soal ini adalah ethieknya kepentingan kelas yang mentah-mentahan: jikalau kaum perempuan dapat merobek adat kuno dan mendapat persamaan hak dengan kaum laki-laki, jikalau adat kuno yang mengurung kaum perempuan didalam dapur itu bisa lenyap sehingga mereka boleh masuk kedalam “dunia luaran”, jikalau kaum perempuan itu dus boleh masuk bekerja didalam pabrik, didalam bingkil, didalam perdagangan, didalam kantor, didalam bedrijf, maka kaum borjuislah yang sangat untung, kaum borjuislah yang mendapat kaum buruh murah!
Inilah yang menjadi dasarnya “kemanusiaan” kaum borjuis. Inilah “ethiek”-nya kaum borjuis menyokong kaum perempuan merobek tabirnya adat kuno. Inilah yang memberi kebenaran pada perkataan Henriette Roland Holst, bahwa pergerakan emansipasi wanita itu dulu sebenarnya adalah suatu “pergerakan borjuis”. Tetapi inilah pula yang menjadi sebab, yang kaum perempuan sebentar sesudahnya mendapat kemenangan persamaan-hak itu, segera terbuka matanya, bahwa persamaan hak belum menyelamatkan mereka.
Sebaliknya! dengan adanya tentara kerja rangkap ini, dengan adanya tentara-buruh laki-perempuan yang dua kali jumlahnya daripada dulu, keadaan proletariat semakin merosot. Upah-upah turun, tempoh bekerja naik, kaum laki banyak yang dilepas, kaum perempuan dikerjakan sampai malam dan sampai pagi. maka timbullah pergerakan modern, dimana kaum laki-laki dan perempuan itu bersama-sama berjuang, bersama-sama mencari dunia baru, bersama-sama menggugurkan kapitalisme. Organisasi-organisasi “perempuan-sendiri” tadi tinggallah organisasi perempuan borjuis saja,—kaum proletar-perempuan masuk didalam “internationale arbeidsbeweging” (gerakan buru international) yang menggodog kaum perempuan itu bersama kaum laki-laki didalam satu kawan-tjandradimukanya perjuangan melawan stelsel kemodalan. Pemimpin-pemimpin perempuan sebagai Clara Zetkin, sebagai Rosa Luxemburg, sebagai Henriette Rolan Host, Spiridonova, Wera Sasulitsch, Wera Figner, Nadesha Krupskaya, Katharina Brechskowskaya d.l.l# tidak memanggul bendera perempuan sendiri, tidakpun “mewakili” proletar perempuan sendiri, tetapi memanggul benderanya seluruh tentara proletar, berjuang didalam kalangannya seluruh tentara proletar, mengomandokan komandonya seluruh tentara proletar.
Dus samasekali tidak ada “organisasi perempuan” didalam perjuangan proletar? Ada–, ada kecil-kecil, ada ranting-ranting, tetapi sebagai sistem, tidak ada perpisahan antara perempuan dan laki-laki,–sebagai sistem laki-laki dan perempuan dua-duanya masuk didalam satu periuk-pendidih. Maka oleh karena itu, jikalau kita memperhatikan ajaran dari negeri asing ini, jikalau kita tidak mau berbuat anti-sosial, jikalau kita tidak mau bersifat borjuis tetapi mau Marhaenistis-proletaris yang 100%, maka kita punya kaum Marhaeni harus juga segera melemparkan jauh-jauh tabir adat kuno itu melenyapkan sesegera-sesegeranya itu “burgelijke ideologie” (Henriette Roland Host!) bahwa kaum perempuan perlu mempunyai organisasi sendiri. Tidak! Kaum marhaeni harus segera mencampurkan dirinya dengan kaum Marhaen, meluluhkan dirinya dengan kaum Marhaen itu didalam satu organisasi yang radikal dan benar-benar berjuang, satu organisasi politik yang 100% sosial-revolusioner.
Walau di Hindustan-pun, pergerakan Satyagraha adalah suatu luluhan antara laki-laki dan perempuan, suatu luluhan antara pahlawan dan pahlawani,–suatu luluhan antara Marhaen dan Marhaeni!
Kesopanan? Memang! Kita Harus menjaga kesopanan itu. Kita harus menjaga, jangan sampai percampuran antara perempuan dan laki-laki ini menjadi merusakkan kepada azas kesopanan kita . Tetapi ini adalah suatu azas moreel, suatu moreel beginsel, dan bukan suatu azas politik, bukan suatu politiek beginsel.
Azas politik menyuruh kepada Marhaeni dan Marhaen itu, bersama-sama terjun kedalam satu kawah, yang nanti akan meleburkan stelsel kapitalisme dan stelsel imperialisme adanya!
Fikiran Ra’jat, 1933