Marhaenist.id – Di tengah kemajuan teknologi, liberalisasi ekonomi, dan pergeseran dunia kerja, pertanyaan klasik ini masih bergema: “Sudah sejahterakah buruh hari ini?” Sebuah narasi dominan yang umumnya akan dijawab “ya” oleh para kapitalis.
Namun, bila kita menelaah dari perspektif Marxis. Kesejahteraan buruh bukan lah sekadar perkara angka-angka di atas kertas, tetapi perkara struktural yang berkaitan erat dengan relasi produksi, kepemilikan alat produksi, dan nilai lebih yang dihasilkan dari kerja mereka.
Latar Belakang Persoalan Kesejahteraan Buruh di Era Modern
Sejak era Revolusi Industri, buruh telah menempati posisi sentral dalam mesin produksi kapitalisme. Mereka menjual tenaga demi bertahan hidup, namun tidak memiliki kuasa atas hasil kerjanya.
Kondisi ini dijelaskan dengan tajam oleh Karl Marx dalam bukunya Das Kapital, bahwa dalam sistem kapitalis buruh tidak pernah benar-benar dibebaskan dari eksploitasi. Mereka menjadi komoditas yang nilainya ditentukan oleh kebutuhan minimum untuk mempertahankan hidup, bukan oleh nilai sejati dari kerja yang mereka berikan.
Memasuki era kontemporer, wajah eksploitasi mengalami perubahan. Dunia kerja kini dihiasi jargon-jargon seperti fleksibilitas, efisiensi, dan inovasi. Namun sebaliknya, struktur pada relasi kuasa yang di pegang oleh Kapitalis tetap tidak berubah.
Realitas buruh hari ini jauh dari gambaran ideal tentang kesejahteraan. Di Indonesia, upah minimum regional masih sering kali tidak memenuhi kebutuhan hidup layak bagi para buruh.
Inflasi terus naik, harga kebutuhan pokok meningkat, sementara upah kerap stagnan. Banyak buruh masih bekerja dalam kondisi tidak pasti ini dengan status kontrak, tanpa jaminan pensiun, dan tanpa perlindungan maksimal dari negara.
Sementara itu, buruh di sektor industri juga menghadapi tantangan serius. Peningkatan jam kerja, beban kerja berlebih, bahkan penghilangan hak-hak normatif dengan alasan efisiensi dan produktivitas menjadi praktik yang semakin umum ditemui oleh para buruh selama bekerja. Serikat pekerja juga tak luput dari upaya pelemahan melalui berbagai mekanisme, baik secara hukum maupun sosial, menjadikan posisi buruh semakin terasingkan (alienasi) dari posisi idealnya.
Strategi Kooptasi dan Ilusi Kesejahteraan
Salah satu kekuatan utama kapitalisme modern bukan hanya pada kontrol ekonomi, tetapi juga pada kemampuannya membangun kesadaran semu (false consciousness). Buruh tidak hanya dieksploitasi secara material, tetapi juga dimanipulasi secara ideologis. Mereka dibentuk untuk percaya bahwa kerja keras akan membawa kesejahteraan pribadi. Mereka disuguhi narasi tentang meritokrasi, mobilitas sosial, dan mimpi menjadi “orang sukses”.
Kooptasi ini juga hadir dalam bentuk corporate social responsibility (CSR), penghargaan karyawan terbaik, atau program kesejahteraan semu yang disponsori perusahaan. Padahal semua itu hanyalah mekanisme untuk memperhalus dominasi, bukan mengubah struktur relasi kerja. Negara pun berperan dalam memperkuat strategi ini melalui regulasi-regulasi yang condong pada kepentingan modal, seperti UU Omnibuslaw, & UU Minerba yang justru mempermudah pemutusan hubungan kerja dan mengurangi hak-hak dasar buruh.
Di sisi lain serikat buruh kerap dilemahkan bukan hanya melalui represi langsung, tapi juga melalui kooptasi ideologis. Serikat dijinakkan, diarahkan untuk menjadi bagian dari sistem manajerial, bukan sebagai alat perjuangan kelas. Hal ini menyebabkan buruh kehilangan saluran perjuangan yang sejati.
Perlawanan dan Alternatif Menuju Kesejahteraan
Dalam perspektif Marxis, perjuangan buruh bukan hanya untuk kenaikan upah atau perbaikan kondisi kerja, tapi untuk membangun tatanan sosial alternatif. Masyarakat tanpa kelas, di mana alat produksi dikuasai secara kolektif dan hasil kerja dibagikan berdasarkan kebutuhan. Ini bukan mimpi utopis, melainkan cita-cita revolusioner yang berpijak pada logika pembebasan dari alienasi dan dominasi modal.
Alternatif jangka pendek bisa meliputi penguatan serikat buruh independen, aliansi lintas sektor pekerja, serta perjuangan hukum yang berpihak pada buruh. Namun alternatif jangka panjang menuntut transformasi radikal atas struktur ekonomi dan politik. Sebuah Project Sosialisme yang memberikan kontrol atas produksi dan distribusi pada kelas pekerja itu sendiri.
Sudah sejahterakah buruh hari ini?
Menjawab pertanyaan “Sudah sejahterakah buruh hari ini?” memerlukan niat yang besar untuk melihat realitas secara keseluruhan. Di balik narasi kesejahteraan, tersembunyi sistem kerja yang masih menjadikan buruh sebagai komoditas untuk akumulasi modal. Perspektif Marxis membantu kita memahami bahwa persoalan ini tidak akan selesai hanya dengan perbaikan kosmetik, tetapi harus melalui perubahan sistemik.
Kesejahteraan sejati bagi buruh bukan sekadar soal angka upah atau jaminan sosial, tetapi soal penghapusan eksploitasi, penguasaan kolektif atas alat produksi, dan pembebasan manusia dari sistem kerja yang menindas.
Maka, selama kapitalisme masih menjadi fondasi sistem ekonomi, perjuangan buruh akan terus relevan sebagai bagian dari upaya panjang menuju masyarakat yang lebih adil.***
Penulis: DPC GMNI Balikpapan. Tulisan ini ditulis berdasarkan hasil Kajian DPC GMNI Balikpapan pada Tanggal 27 April 2025.