Marhaenist.di – Pendahuluan: Fenomena degradasi ruang hidup berupa kerusakan lingkungan menuntut kerangka pemahaman alternatif yang melampaui pandangan sempit ekonomi-politik arus utama. Lingkungan tidak cukup dipahami sebagai basis produksi yang sekadar bersifat instrumental, melainkan sebagai elemen esensial yang secara timbal balik menentukan eksistensi manusia dan pembangunan peradaban.
Kerusakan ekologis dewasa ini tidak dapat dipandang sebagai gejala alamiah, melainkan sebagai hasil dari intervensi manusia dalam relasi produksi. Sejak Revolusi Industri 1.0, logika kalkulatif yang bertumpu pada industrialisasi, massifikasi, dan spesialisasi produksi telah menstrukturkan pembangunan dengan orientasi utama pada penciptaan nilai jual. Akibatnya, baik manusia maupun alam direduksi menjadi sekadar instrumen produksi, yang pada gilirannya memungkinkan kapital melakukan gerak internalisasi maupun eksternalisasi.
Seluruh proses tersebut bertumpu pada filsafat antroposentris-Cartesian yang menempatkan manusia sebagai pusat universal pembangunan. Paradigma ini bukan hanya memberi legitimasi etis bagi eksploitasi alam, tetapi juga menutupi fakta mendasar bahwa kelangsungan hidup manusia sepenuhnya bergantung pada keseimbangan ekologis.
“Hakikat ikan air tawar adalah medianya, air. Namun, sungai tak lagi menjadi ‘hakikat’ ikan setelah ia tersubordinasi oleh industri—tercemar oleh pewarna dan limbah, dilalui kapal uap, atau dialihkan ke kanal-kanal yang drainasenya sederhana pun dapat merampas media kehidupan ikan.” —Karl Marx, Manuskrip Ekonomi dan Filsafat 1844.
Alienasi
Dalam kerangka Marxis, alienasi merupakan konsep fundamental untuk memahami keterputusan manusia dari kerja, produk, dan alam. Dalam mode produksi kapitalis, buruh kehilangan kendali atas hasil kerjanya; produk yang dihasilkan justru berdiri berhadapan dengannya sebagai kekuatan asing yang menguasai.
Alienasi ini tidak semata memisahkan buruh dari produk kerjanya, tetapi juga dari alam sebagai medium kehidupan. Alam yang semestinya menjadi tubuh inorganik manusia (meminjam istilah Marx) diubah menjadi sekadar bahan baku produksi. Dengan demikian, buruh mengalami keterasingan ganda: dari kerja yang ia lakukan, dari hasil yang ia ciptakan, sekaligus dari lingkungan yang menopang kehidupannya.
Alienasi ekologis ini memperlihatkan bahwa relasi sosial dalam kapitalisme secara inheren juga merupakan relasi ekologis. Keduanya terjalin dalam satu kesatuan proses yang lahir dari logika akumulasi kapital, di mana baik kerja manusia maupun alam direduksi menjadi instrumen bagi ekspansi nilai.
Kepemilikan Pribadi (Private Property)
Kepemilikan pribadi atas alat produksi adalah fondasi struktural kapitalisme. Melalui mekanisme ini, ruang dan sumber daya alam ditransformasikan menjadi komoditas. Hutan, tanah, air, bahkan udara direduksi menjadi aset yang tunduk pada logika pertukaran.
Kepemilikan pribadi pada akhirnya menciptakan monopoli ruang hidup. Akses terhadap alam sebagai medium eksistensial tidak lagi ditentukan oleh kebutuhan, melainkan oleh kemampuan membeli. Konsekuensinya bukan hanya memperdalam ketimpangan sosial antara kelas pemilik dan non-pemilik, tetapi juga mempercepat laju eksploitasi ekologis.
Dengan demikian, kepemilikan pribadi tidak sekadar relasi hukum, melainkan mekanisme yang menstrukturkan cara manusia berhubungan dengan alam. Logika ini mendorong kapital untuk terus menguras produktivitas alam, dan ketika sumber daya habis atau rusak, kapital akan berpindah ke ruang baru untuk dieksploitasi.
Relasi Antagonistik Metabolisme
Marx mengembangkan konsep metabolic rift untuk menjelaskan keretakan dalam hubungan timbal balik manusia dengan alam. Dalam masyarakat pra-industri, metabolisme antara manusia dan alam berlangsung relatif seimbang: apa yang diambil dari alam dikembalikan dalam bentuk siklus regeneratif.
Namun kapitalisme memutus siklus ini. Produksi industri skala besar dan urbanisasi menciptakan pemisahan struktural antara kota dan desa. Desa berfungsi sebagai lumbung bahan mentah yang diekstraksi habis-habisan, sementara kota menjadi pusat akumulasi kapital sekaligus penghasil polusi. Limbah yang lahir dari industri perkotaan tidak lagi kembali ke desa sebagai nutrisi regeneratif, melainkan menumpuk sebagai beban ekologis.
Keretakan metabolisme ini memperlihatkan bahwa kapitalisme bukan hanya sistem ekonomi, melainkan juga sebuah cara hidup yang secara inheren merusak keseimbangan ekologis. Reformasi teknologis tidak cukup untuk memulihkannya, sebab kerusakan ini berakar pada logika akumulasi kapital itu sendiri.
Ground Rent Theory
Dalam kerangka Marx, tanah sebagai syarat dasar produksi ditransformasikan kapitalisme menjadi komoditas yang menghasilkan nilai sewa. Ground rent memperlihatkan kontradiksi ganda: di satu sisi menciptakan insentif untuk mengintensifkan eksploitasi tanah, di sisi lain membatasi akses masyarakat terhadap ruang hidup.
Hanya pemilik modal yang berhak menentukan bagaimana tanah digunakan, sementara masyarakat luas terasing dari medium hidupnya sendiri. Konsekuensinya adalah eksploitasi berlebihan: tanah dipaksa untuk terus berproduksi melampaui kapasitas regeneratifnya.
Dalam jangka panjang, mekanisme ini menghasilkan degradasi ekosistem, penurunan kesuburan tanah, serta ketergantungan pada input buatan seperti pupuk kimia, pestisida, dan rekayasa genetis.
Legitimasi Filsafat Antroposentris
Seluruh logika pembangunan kapitalis berakar pada filsafat antroposentris yang berakar dari Cartesianisme. Paradigma ini menempatkan manusia sebagai pusat universal, sementara alam direduksi menjadi objek eksternal yang dapat dieksploitasi secara bebas.
Pandangan ini memberi legitimasi etis bagi eksploitasi alam: pembangunan dipandang sebagai kemajuan, sementara pengurasan sumber daya dianggap sebagai konsekuensi wajar dari superioritas manusia atas alam. Namun, filsafat ini sekaligus menutupi kenyataan bahwa kelangsungan hidup manusia sepenuhnya ditentukan oleh keseimbangan ekologis.
Dengan demikian, antroposentrisme bukan hanya persoalan metafisik atau etis, melainkan fondasi ideologis yang menopang cara kapitalisme membangun dan menguasai ruang hidup.
Penutup
Melalui pisau analisis materialisme historis dan dialektis, jelas terlihat bahwa degradasi lingkungan bukanlah “kesalahan teknis” yang dapat diperbaiki dengan inovasi semata, melainkan konsekuensi inheren dari logika produksi kapitalis.
Alienasi, kepemilikan pribadi, keretakan metabolisme, logika sewa tanah, dan filsafat antroposentris bekerja bersama-sama membentuk kerangka destruktif yang mereproduksi krisis ekologis.
Karena itu, strategi penyelamatan lingkungan yang hanya mengandalkan reformasi teknologis atau kampanye moral akan selalu bersifat parsial dan tidak memadai. Jalan keluar yang lebih mendasar adalah transformasi relasi produksi itu sendiri, menuju suatu sistem yang memungkinkan terbangunnya kembali relasi resiprokal antara manusia dan alam—sebuah metabolisme baru yang berkelanjutan.***
Ekologi Marx – John Belammy, Diresensi oleh: Daniel Russell, Alumni GMNI Bandung.