Marhaenist.id – Bulan Juni, bulan penuh makna dalam lanskap sejarah Indonesia. Pada bulan ini, Bung Karno, proklamator bangsa –presiden pertama Republik Indonesia dilahirkan dan wafat pada bulan yang sama.
Di bulan Juni pula, terjadi peristiwa sangat penting dalam sejarah pendirian republik –dimana para pendiri bangsa merumuskan dasar negara.
Dalam sidang BPUPKI, Bung Karno menyampaikan pidato monumental pada tanggal 1 Juni 1945. Di hari itulah Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang dasar negara yang ia namakan Pancasila.
Sejak itulah 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Setiap tanggal 1 Juni, mimbar-mimbar dan ruang-ruang publik menggema oleh orasi dan seminar tentang Pancasila.
Bendera merah putih berkibar, pidato mengalun memuji luhur nilai-nilainya, dan institusi negara berlomba menggelar perayaan simbolik.
Namun, setelah gema itu reda, pertanyaan fundamental kembali menggantung di udara: benarkah Pancasila hidup sebagai ideologi yang bekerja, atau ia sekadar menjadi mantra kosong yang bersemayam di ruang retorika?
Pancasila lahir bukan dari ruang hampa. Ia merupakan hasil pergulatan historis, spiritual, dan intelektual bangsa yang mendambakan rumah bersama yang adil, damai, dan berdaulat.
Bung Karno menyebut Pancasila sebagai “philosophische grondslag” dan “weltanschauung” bangsa Indonesia: bukan sekadar semboyan, melainkan dasar berpikir, bersikap, dan bertindak dalam seluruh aspek kehidupan kebangsaan.
Dalam pidato legendarisnya pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan, “Negara Indonesia bukan milik satu golongan, satu agama, satu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”
Sebuah penegasan bahwa Pancasila bukan untuk kepentingan elite atau mayoritas semata, melainkan rumah bagi semua.
Kini, delapan dekade sejak dirumuskan, Pancasila belum sepenuhnya menjelma menjadi apa yang disebut Hannah Arendt sebagai “living principle”—prinsip hidup yang menyatu dalam praksis sosial dan kebijakan negara.
Ia lebih sering hadir sebagai dekorasi wacana daripada penuntun dalam pembuatan undang-undang dan arah kebijakan pembangunan di segala bidang.
Ironisnya, ia kerap digunakan sebagai alat pembungkam kritik atas nama stabilitas, bukan sebagai cahaya moral yang membebaskan.
Dalam ranah ekonomi, misalnya, sila keadilan sosial belum sepenuhnya sanggup mempersempit ketimpangan yang menganga.
Laporan Oxfam (2021) menyebutkan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional.
Data CNBC Indonesia Intelligence Unit menunjukkan separuh lebih, uang di bank dikuasai hanya 0,02 persen segelintir orang kaya.
Data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat Gini Ratio Indonesia masih berada di angka 0,388, menandakan masih adanya ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin. Gini ratio di Indonesia menunjukkan terus mengalami fluktuasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Gini ratio September 2024 sebesar 0,381, sedikit meningkat dari 0,379 pada Maret 2024.
Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook melaporkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Berbeda jauh dari data Bank Dunia, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Sementara tingkat pengangguran terbuka berdasarkan laporan World Economic Outlook edisi April 2025, yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF), menempatkan Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengangguran terbesaar di Asia Tenggara.
Sementara negeri jiran Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, hingga Filipina cenderung memiliki tingkat pengangguran yang lebih rendah.
Jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2024 sebanyak 7,20 juta orang.
Sedangkan jumlah pengangguran di Indonesia tahun 2025 naik sebesar 83 ribu orang menjadi 7,28 juta orang. Artinya, jumlah pengangguran tumbuh 0,08 persen sepanjang Februari 2024 hingga Februari 2025. —sebagian besar akibat gelombang PHK dan ketidakstabilan ekonomi global—ini mencerminkan bahwa keadilan sosial belum dirasakan banyak warga.
Ketergantungan ekonomi pada komoditas ekspor dan utang luar negeri juga menandai rapuhnya kemandirian ekonomi nasional, yang sejatinya menjadi jiwa ekonomi kerakyatan dalam Pancasila.
Kesenjangan ini kian menonjol ketika pemerintah lebih banyak memberikan insentif kepada investor besar daripada memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Koperasi, sebagai sokoguru ekonomi rakyat dalam amanat Pasal 33 UUD 1945, justru terpinggirkan dalam lanskap kebijakan ekonomi nasional.
Belum lagi persoalan ketimpangan pembangunan antar wilayah—semua ini menunjukkan bahwa prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum menjadi panduan utama pembangunan.
Sukarno pernah berkata, “Negara Indonesia yang kita cita-citakan bukan hanya merdeka dalam politik, tetapi juga merdeka dalam ekonomi, dan merdeka dalam kebudayaan.”
Hal itu ditegaskan kembali oleh Sukarno dalam konsep Trisakti yang menjadi prinsip kemerdekaan sebuah bangsa yang merdeka haruslah berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa Pancasila bukan hanya alat pemersatu, tetapi juga visi transformasi struktural.
Namun hari ini, tekanan neoliberalisme global, dominasi teknokrasi dalam pemerintahan yang mengesampingkan faktor-faktor sosial dan ideologis, serta maraknya populisme agama dan etnonasionalisme menjauhkan Pancasila dari khitahnya sebagai ideologi emansipatoris.
Jürgen Habermas memperingatkan bahwa demokrasi yang kehilangan basis etis akan mengalami delegitimasi publik.
Jika Pancasila tidak menjadi filter nilai dalam demokrasi kita, maka ia akan digerus oleh polarisasi dan politik identitas yang merongrong kohesi sosial.
Di bidang hukum dan keadilan, sila kemanusiaan yang adil dan beradab seringkali kalah oleh praktik hukum yang formalistik dan diskriminatif. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Ketika aparat negara lebih cepat menindak aktivis lingkungan daripada mafia tambang, dan lebih sigap membungkam kebebasan berekspresi daripada menindak ujaran kebencian dan korupsi yang sistematis, maka jelas Pancasila belum hadir dalam sistem hukum kita sebagai etika substantif.
Tak jarang hukum direkayasa demi kepentingan politik penguasa, melemahkan lembaga-lembaga pengawasan, dan membungkam oposisi. Fenomena ini menandai lemahnya roh keadaban dalam sistem demokrasi kita.
Lebih memprihatinkan lagi, korupsi yang meluas di berbagai sektor pemerintahan menunjukkan bahwa integritas moral sebagai fondasi etika publik telah tergerus.
Laporan Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 34 dari 100 dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023, peringkat 110 dari 180 negara.
Ini menandakan lemahnya sistem pengawasan, akuntabilitas, dan budaya anti-korupsi di tingkat elite. Ketika pejabat publik lebih sibuk membangun dinasti politik dan meraup keuntungan pribadi, sila keadilan dan kemanusiaan tinggal jadi hiasan dekorasi, sekadar ornamen tanpa roh.
Pendidikan kita pun belum sepenuhnya menjadi medan persemaian nilai-nilai Pancasila.
Alih-alih menjadi ruang pembentukan karakter kebangsaan, banyak institusi pendidikan justru terseret dalam arus pragmatisme dan komersialisasi.
Paulo Freire mengingatkan pentingnya “pendidikan yang membebaskan”—pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis, bukan sekadar melatih kepatuhan.
Pancasila semestinya menjadi napas dalam kurikulum yang menumbuhkan welas asih, nalar publik, dan solidaritas.
Tanpa pendidikan yang membentuk warga negara yang berpikir kritis dan berempati sosial, sila-sila Pancasila hanya menjadi teks mati dalam buku ajar.
Budaya nasional pun tak luput dari ancaman. Lunturnya nilai-nilai gotong royong tergantikan oleh mentalitas individualistis dan konsumeristik.
Arus budaya global yang tidak disaring oleh kekuatan identitas kebangsaan membuat banyak generasi muda terasing dari akar tradisinya.
Media sosial yang semestinya menjadi ruang ekspresi kreatif justru sering menjadi arena disinformasi, ujaran kebencian, dan pembentukan opini massal yang dangkal.
Di sinilah pentingnya revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam ranah kebudayaan: agar budaya tidak sekadar menjadi tontonan, tetapi menjadi tuntunan.
Lebih jauh lagi, kita menyaksikan bagaimana perbedaan pandangan terhadap kebijakan pemerintah justru dimanfaatkan untuk menyingkirkan kelompok kritis yang berbeda pandangan dengan pemerintah.
Pancasila yang semestinya menjadi ruang dialog kebangsaan malah dijadikan alat eksklusifitas kekuasaan. George Orwell pernah mengingatkan dalam karyanya bahwa bahasa politik bisa dibuat kabur untuk menutupi realitas kekuasaan.
Maka, kita harus waspada terhadap gejala retoris yang menyulap Pancasila menjadi sekadar simbol politik tanpa transformasi sosial.
Kegagalan mewujudkan Pancasila sebagai ideologi yang bekerja juga disebabkan oleh ketidakberanian elite politik dan birokrasi dalam menjadikannya sebagai parameter kebijakan.
Padahal, seperti yang ditegaskan filsuf Prancis Jacques Maritain, ideologi sejati adalah “visi moral yang mengilhami struktur sosial dan hukum.”
Tanpa keberanian menerjemahkan nilai-nilai Pancasila ke dalam regulasi yang berpihak pada rakyat kecil, pemberdayaan ekonomi dari pusat sampai daerah, dan keberlanjutan ekologi, maka Pancasila hanya akan menjadi dongeng politik tanpa daya hidup.
Kita memerlukan Pancasila Impact Assessment, sebuah kerangka evaluatif yang mengukur sejauh mana suatu kebijakan mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Misalnya, apakah kebijakan energi memperhatikan keadilan ekologis?
Apakah undang-undang pendidikan menjamin pemerataan akses dan kualitas?
Apakah kebijakan ekonomi nasional memberi ruang bagi koperasi dan UMKM, sebagaimana roh ekonomi gotong royong yang dirumuskan dalam UUD 1945?
Kita membutuhkan pendekatan audit nilai dalam setiap kebijakan, agar Pancasila benar-benar hadir dalam denyut pembangunan nasional.
Di tengah ancaman fragmentasi sosial dan krisis kepercayaan terhadap institusi, menjadikan Pancasila sebagai working ideology bukan sekadar pilihan, melainkan keniscayaan.
Seperti dikatakan Yudi Latif, “Pancasila bukan menara gading, tetapi jembatan harapan.” Ia adalah dialektika antara keindonesiaan dan kemanusiaan universal yang menjawab tantangan zaman, bukan hanya mengulang warisan sejarah.
Mantan Wakil Ketua MPR dua periode Ahmad Basarah menyebut Pancasila bukanlah sebuah ideologi utopi, melainkan ideologi yang hidup di tengah-tengah masyarakat (living ideology).
Sebagai living ideology, menurut Basarah, yang utama harus dilakukan ialah dengan meyakini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila; kemudian menghayati, mempelajari, memahami dan melaksanakan nilai-nilainya.
Artikulasi Pancasila dalam konteks kekinian menuntut kepekaan terhadap realitas sosial, ketegasan moral dalam bernegara, dan partisipasi aktif seluruh elemen bangsa.
Momentum Hari Lahir Pancasila harus menjadi momen evaluatif, bukan seremonial. Saatnya kita berhenti menjadikan Pancasila sebagai wacana indah dalam pidato kenegaraan, dan mulai menuntutnya hadir dalam APBN, dalam ruang kelas, dalam rancangan kota, dalam perilaku aparat, dan dalam setiap keputusan publik.
Pancasila bukan dogma yang beku, melainkan lentera yang menghidupi. Maka tugas kita bersama adalah menyalakan lentera itu dalam lorong-lorong kebijakan, agar ia benar-benar menjadi jiwa bangsa, bukan hanya teks dalam konstitusi.
Sebab bangsa yang besar bukan hanya yang mampu mengingat warisannya, tetapi yang sanggup mewujudkannya dalam tindakan konkret dan berkeadaban. ***
Penulis: Karyono Wibowo, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Alumni GMNI.