Marhaenist.id – “Sejarah berulang,” begitulah teori klasik yang mengonfirmasi bacaan kita tentang keadaan hari ini. Sebab, makin ke sini, persoalan-persoalan yang tampak dan manifest—baik di tingkat lokal hingga geopolitik global—seolah membuat kita mengalami déjà vu. “Loh, kok sepertinya mirip, ya, dengan situasi dan momentum yang pernah kita baca, lihat, serta rasakan sebelumnya?”
Sebut saja, misalnya, momentum Reformasi 1998. Isu-isu yang muncul kini seolah merujuk pada situasi 27 tahun lalu. Belum lagi rencana menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dan penulisan ulang sejarah Indonesia. Ini seakan ingin mengaburkan, bahkan mengubur, jejak dosa masa lalu Orde Baru. Tentu saja para pelaku sejarah Reformasi menolak keras rencana ini.
Di tingkat global, perang Iran–Israel menggambarkan peta baru dalam dinamika relasi warga dunia. Poros Teheran–Moskow–Beijing mengingatkan kita pada masa Perang Dingin antara NATO dan Pakta Warsawa. Atau, dulu Bung Karno—di masa Demokrasi Terpimpin—juga pernah membangun aliansi geopolitik poros Jakarta–Peking–Pyongyang–Moskow.
Namun kini, irisan koalisi baru antara Barat–Timur–Asia bukan lagi sekadar urusan Kapitalisme versus Komunisme. Lebih dari itu, pertarungan ini bersifat ideologis, menyangkut perlawanan terhadap hegemoni dan dominasi poros Israel–AS atas tanah Palestina.
“Dunia tak lagi seimbang,” ungkap seorang pengamat luar negeri. Maka diperlukan upaya yang terkonsolidasi untuk menata kembali hubungan antarwarga dunia yang lebih setara dan adil.
Lalu, kita diajak membuka kembali lembaran sejarah kebangsaan Indonesia. Bagaimana dulu, pada 30 September 1960 dalam Sidang Umum PBB di New York, Bung Karno menyerukan ajakan: “Membangun Dunia Kembali” (To Build a World Anew).
Sebuah tatanan dunia yang adil dan setara tanpa imperialisme dan kolonialisme. Sebuah narasi perjuangan global yang berbasis solidaritas negara-negara Asia–Afrika, yang sebelumnya dikonsolidasikan oleh Bung Karno dalam KAA 1955 di Bandung. Kala itu, masih banyak negara di Asia–Afrika yang terkungkung dalam kolonialisme–imperialisme.
Sebagaimana yang terjadi di tanah Palestina sejak 1948 hingga kini: Imperium Inggris memberi jalan bagi komunitas Yahudi–Zionis untuk mencaplok tanah Palestina dan mendirikan negara Israel. Hingga kini, konflik tanah di Jalur Gaza dan Tepi Barat masih terus berlangsung. Puncaknya: pecah perang 12 hari antara Iran dan Israel atas cawe-cawe Donald Trump.
Apakah “pemanasan” menuju perang dunia ketiga akan padam? Tampaknya belum—sepanjang akar masalahnya belum diselesaikan, yakni kemerdekaan Palestina atas tanah airnya.
Sebagaimana sikap Bung Karno dahulu, yang hingga kini masih menjadi pondasi politik luar negeri Indonesia atas isu Palestina:
“Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia menentang penjajahan Israel.”
Begitulah ucapan lantang Bung Karno menegaskan pembelaan Indonesia terhadap bangsa Palestina.
Bagaimana Indonesia Kini?
Terbaru, Prabowo mendapat apresiasi dari para pimpinan negara dan delegasi dalam International Economic Forum di St. Petersburg. Di hadapan Vladimir Putin, Prabowo menawarkan jalan tengah antara Sosialisme dan Kapitalisme. Inovasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi memang penting, tetapi intervensi dan pembelaan negara terhadap kelompok lemah dan miskin juga harus tetap konsisten.
Pidato tanpa teks Prabowo itu mendapat acungan jempol dari Putin. Terutama ketika Prabowo menyebut bahwa kehadirannya di Rusia merupakan wujud komitmennya atas undangan Moskow. Dalam kacamata diplomasi, Prabowo menegaskan posisi Indonesia pada poros BRICS. Karena pada saat yang sama, Indonesia tidak hadir dalam forum G7 yang diorganisir oleh poros Amerika–Eropa.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa sepulang dari Moskow, pemerintah membawa komitmen Rusia untuk membantu pengembangan energi nuklir di Indonesia sebesar Rp73 triliun.
Diplomasi dan narasi Presiden Indonesia tersebut menunjukkan bahwa Prabowo adalah sosok pemimpin yang paham sejarah—dan berupaya menawarkan gagasan tentang arah tata kelola dunia ke depan.
Konstruksi Perubahan
Sejarah tidak semata soal rekonstruksi masa lalu, yang lebih penting adalah konstruksi masa depan. Kita perlu bercermin pada sejarah, menengok sejenak ke belakang: pembelajaran apa yang bisa kita petik untuk menemukan jendela dan pintu perubahan?
Apakah window of opportunity masih tersedia?
Apakah kita harus menggedor pintu kekuasaan?
Dari situ, jalan mana yang akan kita tempuh akan tampak lebih terang.
Di sinilah pentingnya merumuskan arah perubahan, agar kita tidak tersesat di jalan pikiran sendiri—atau kelompok. Arah itu menyangkut visi dan cita-cita, yang akan memandu gerak langkah kita semua.
Ke mana Indonesia akan bergerak dalam 20 tahun ke depan?
Apakah Indonesia Emas 2045 akan benar-benar terwujud?
Dan jembatan emas mana yang harus diseberangi untuk mencapainya?
Mari perlahan kita buka ruang dialog antar dan lintas generasi, untuk mendekatkan frekuensi. Agar pikiran-pikiran segenap anak bangsa dapat dipertengkarkan, demi merumuskan visi dan arah perubahan. Sisanya tinggal kita kawal bersama: proses dan transisinya.
Insya Allah, semesta tidak akan tinggal diam merespons dialektika perubahan yang tengah berlangsung di Bumi Nusantara.
Aamiin YRA…
–JAS MERAH, Merdeka!!!
Penulis: Hermawansyah Alumni GMNI.