By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Membangun Kembali Oposisi Marhaen di Era Post-Politics
Nyanyian dan Sumpah Tanpa Jiwa
Keterhilangan Eksistensial: Dari Krisis Kesadaran hingga Kolonisasi Atensi
GMNI Berduka, H Soenardi Ex Presidium GMNI 1976 – 1979 Telah Berpulang Disisi Tuhan Yang Maha Esa
Jadi Pembicara Diskusi yang Digelar PA GMNI Jakarta Raya, Soni Sumarsono: Kota Global Harus Punya Ideologi Keadilan Sosial

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar PA GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2024 Marhaenist. Pejuang Pemikir. All Rights Reserved.
Opini

Membangun Kembali Oposisi Marhaen di Era Post-Politics

Trian Walem
Trian Walem Diterbitkan : Senin, 27 Oktober 2025 | 14:57 WIB
Bagikan
Waktu Baca 10 Menit
Foto: Dhiva Trenadi Pramudia, Institut Marhaenisme 27/MARHAENIST.
Foto: Dhiva Trenadi Pramudia, Institut Marhaenisme 27/MARHAENIST.
Bagikan
iRadio

Marhaenist.id – Dua puluh tujuh tahun setelah reformasi, makna demokrasi di Indonesia kian menyempit. Apa yang dulu diperjuangkan sebagai sarana pembebasan rakyat dari kekuasaan yang menindas, kini menjelma menjadi sekadar pesta lima tahunan tanpa ruh emansipasi. Partisipasi rakyat berhenti di bilik suara, sementara politik kehilangan daya gugatnya terhadap ketimpangan yang terus melebar. Seperti dicatat Chantal Mouffe, kita hidup dalam era post-politics — sebuah zaman di mana konflik ideologis dan perjuangan kelas dibungkam oleh bahasa teknokratis yang dibalut slogan “rasionalitas bersama.”

Dalam kerangka pemikiran Chantal Mouffe, post-politics adalah ketika politik kehilangan watak konfrontatifnya dan direduksi menjadi urusan manajerial belaka. Persoalan sosial dianggap sekadar soal teknis yang bisa diselesaikan dengan efisiensi dan administrasi, bukan lagi medan pertempuran ideologis antara visi masyarakat yang saling bertentangan. Akibatnya, politik tercerabut dari semangat emansipatorisnya. Di Indonesia, gejala ini tampak gamblang: selepas pemilu, hampir semua partai politik berduyun-duyun merapat ke lingkar kekuasaan dengan dalih stabilitas dan rekonsiliasi nasional. Oposisi dipinggirkan, kritik dicurigai, dan perbedaan pandangan dianggap mengancam “persatuan.” Ruang publik pun kehilangan denyut politiknya sehingga demokrasi seolah masih hidup, tetapi jiwa dari demokrasi tersebut telah lama mati.

Dalam keadaan seperti ini, penting untuk menghadirkan kembali narasi tandingan yang membangkitkan semangat agonisme, yaitu ruang bagi perbedaan untuk beradu gagasan, bukan disingkirkan. Di sinilah gagasan Populisme Kiri dari Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau menjadi relevan. Populisme Kiri bukan nostalgia omong kosong terhadap masa lalu, melainkan upaya membangun kekuatan baru dari rakyat kecil dan kelas tertindas dengan bahasa politik yang bisa menandingi dominasi wacana neoliberal hari ini.

Di Indonesia, jejak populisme kiri sesungguhnya sudah lama ada. Dari berdirinya ISDV yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia pada 1914, hingga gagasan marhaenisme Soekarno di masa Demokrasi Terpimpin, semuanya merupakan usaha untuk mempersatukan rakyat tertindas di bawah cita-cita keadilan sosial.

Soekarno dalam Mencapai Indonesia Merdeka tidak pernah menyebut bahwa partai sekadar alat elit untuk berebut kursi, melainkan ia menegaskan fungsi partai sebagai pelopor yang membangunkan kesadaran rakyat tertindas. Ia menulis:

Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan yang onbewust dan ragu-ragu dan raba-raba menjadi pergerakan yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai! Dengan suatu partai yang mendidik Rakyat jelata itu ke dalam ke-bewust-an dan keradikalan. Dengan suatu partai, yang menuntun Rakyat jelata itu di dalam perjalanannya ke arah kemenangan, mengolah tenaga Rakyat-jelata itu di dalam perjuangannya sehari-hari, — menjadi pelopor daripada Rakyat jelata itu di dalam menuju kepada maksud cita-cita.

Di pidato Rediscovery of Our Revolution, ia bicara soal herordening politik yaitu penataan ulang politik. Ia ingin rakyat tidak lagi ditunggangi pemimpin, tapi justru memegang kendali atas demokrasi itu sendiri. Demokrasi, kata Soekarno, bukan soal “satu orang satu suara”, tapi soal tanggung jawab bersama, soal bagaimana setiap orang berhak hidup layak dan berkewajiban memperjuangkan kepentingan umum.

Baca Juga:   Kapitalisme yang Menghapus Jejak Peradaban Bangka Belitung

Sekarang, kalau kita lihat sekitar, kata-kata itu terasa semakin relevan. Di tengah kota yang gemerlap, di balik gedung-gedung tinggi, masih banyak orang tidur di bawah jembatan. Masih ada keluarga yang terusir dari rumahnya karena proyek pembangunan nasional. Upah buruh yang tidak cukup buat beli beras sebulan. Semua itu membuat kita sadar bahwa demokrasi yang ada hari ini tidak lebih dari sekadedar omong kosong. Hidup, tapi tanpa isi. Dan di situ, gagasan Soekarno hidup lagi, mengajarkan bahwa demokrasi sejati bukan soal memilih dan dipilih, tapi soal bagaimana rakyat marhaen merebut lagi kendali atas hidup dan nasibnya sendiri.

Gagasan Soekarno ini terasa penting untuk membayangkan ulang peran partai politik di tengah iklim post-politics Indonesia hari ini. Partai seharusnya tidak lagi berfungsi sebagai “koeliewerver suara” seperti di masa kolonial — sekadar pengumpul massa untuk kepentingan elektoral — melainkan menjadi alat perjuangan ideologis, tempat lahirnya kesadaran kelas dan keberpihakan politik yang nyata. Dalam situasi sekarang, yang dibutuhkan bukan hanya oposisi elektoral yang hadir di parlemen demi memenuhi syarat demokrasi prosedural, tapi oposisi yang punya basis sosial, ideologi, dan kemandirian. Oposisi yang tumbuh dari bawah, bukan dibentuk dari kompromi kekuasaan.

Kita bisa belajar dari tempat lain. Di Amerika Latin, ada Movimiento al Socialismo di Bolivia, ada juga Partido dos Trabalhadores di Brasil. Dua-duanya lahir dari bawah, dari pergulatan rakyat biasa yang ingin mengubah nasibnya sendiri. Mereka melihat politik bukan sekadar perebutan kursi, tapi soal siapa yang berkuasa atas hidup dan kerja mereka.

Di Eropa, Podemos di Spanyol dan La France Insoumise di Prancis mencoba hal serupa. Mereka menyatukan amarah sosial, protes jalanan, dan energi politik dalam satu arah: menolak logika neoliberal yang membuat segalanya tampak wajar, bahkan ketimpangan. Dari mereka kita belajar, politik bisa kembali punya arti kalau berpihak pada orang kecil, bukan pada meja perundingan para elite.

Baca Juga:   IHSG Anjlok!!!

Contoh yang lebih nyata bisa kita lihat di Amerika Latin, lewat Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST) di Brasil. Gerakan petani tak bertanah ini bukan cuma menuntut reforma agraria. Mereka membangun kekuatannya sendiri dari bawah, menata kehidupan tanpa menunggu negara turun tangan.

Di banyak tempat, MST membangun sekolah sendiri, klinik, bahkan sistem ekonomi kecil yang dikelola bersama. Semua dijalankan dengan semangat gotong royong dan solidaritas kelas tertindas. Mereka hidup dari tanah yang mereka perjuangkan, dan dari situ mereka membuktikan bahwa oposisi sejati bisa tumbuh di luar kekuasaan, tapi tetap berpengaruh. Bukan lewat pidato omong kosong, tapi lewat cara hidup yang menolak tunduk.

Dari berbagai pengalaman itu, kita bisa menarik satu kesimpulan: di tengah iklim post-politics dan ancaman fasisme-militeristik di bawah pemerintahan Prabowo–Gibran, Indonesia butuh ruang politik baru yang bisa menjadi wadah oposisi rakyat. Tapi wadah itu tak bisa lahir dari kompromi dengan kekuasaan. Ia harus berdiri di atas prinsip non-cooperative — sikap untuk tidak tunduk pada struktur yang menindas.

Non-cooperative bukan berarti menolak politik, tapi menolak logika politik borjuis yang membatasi rakyat hanya sebagai penonton dalam permainan kekuasaan. Partai semacam ini tidak berjuang demi kursi, tapi demi kesadaran. Ia tidak mengejar kemenangan elektoral, melainkan membangun solidaritas di antara mereka yang tertindas. Partai yang tidak memobilisasi rakyat untuk kepentingan sesaat, tapi mengorganisir mereka agar sadar, kuat, dan mampu mengatur nasibnya sendiri.

Bagi Soekarno, partai adalah obor yang menyinari jalan gelap rakyat, mengorganisir kekuatan mereka, memimpin massa untuk merebahkan musuh, dan memberi kesadaran maupun keradikalan dalam perjuangan. Oleh karena itu, partai tidak boleh pragmatis atau kompromistis, tetapi harus menjadi partai yang bewust, sadar, dan radikal, karena hanya partai yang sadar dan radikal yang dapat melahirkan massa yang sadar dan radikal pula.

Masalahnya, hukum di Indonesia justru jadi penghalang utama buat lahirnya oposisi macam itu. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan aturan Pemilu bikin syarat partai baru begitu berat. Belum lagi proses verifikasi yang rumit dan ambang batas parlemen yang tinggi. Semua itu bikin politik dikuasai partai-partai besar yang punya uang dan jaringan, sementara partai kecil yang tumbuh dari rakyat tersingkir dari awal.

Baca Juga:   Tanimbar Membutukan Pemimpin yang Visioner untuk Menjawab Masalah Publik

Akhirnya, politik kita cuma jadi milik segelintir orang. Rakyat yang ingin membangun kekuatannya sendiri tak punya jalan masuk. Hukum yang seharusnya melindungi justru jadi pagar pembatas. Dan disitulah, benih oposisi rakyat sulit sekali tumbuh.

Yang dibutuhkan sekarang adalah kesadaran bersama untuk membangun kekuatan politik di luar demokrasi formal. Buruh, tani, mahasiswa, perempuan, dan kelas menengah progresif harus bersatu menolak kooptasi politik dan menghidupkan kembali peran rakyat sebagai subjek sejarah. Dari situ bisa lahir oposisi sejati yang tidak mengejar kekuasaan, tapi memperjuangkan pembebasan rakyat.

Di tengah fasisme yang pelan-pelan merayap lewat militerisasi ruang sipil dan pembungkaman suara, membangun kekuatan rakyat jadi satu hal yang tak bisa ditunda. Oposisi bukan lagi sekadar urusan politik, tapi soal keberanian menjaga martabat dan kedaulatan. Kalau Soekarno hidup hari ini, mungkin ia akan bilang: demokrasi bukan untuk dipajang, tapi untuk dipakai melawan penindasan.

Dan dari kesadaran itu pula menurut kami, harus lahir Partai Politik Alternatif Kaum Marhaen yaitu sebuah wadah yang bukan dibangun dari ambisi elektoral, tapi dari kesadaran kolektif rakyat marhaen untuk mengorganisir diri. Partai ini harus berangkat dari prinsip kemandirian ekonomi, pendidikan politik yang membebaskan, dan solidaritas lintas sektor rakyat. Ia tidak boleh tunduk pada logika kapital, melainkan mengakar di kampung, pabrik, dan kampus.

Partai alternatif marhaen bukan sekadar partai, melainkan sekolah politik rakyat tempat di mana kesadaran tumbuh, di mana buruh dan tani belajar memimpin dirinya sendiri, dimana mahasiswa tak hanya bicara perubahan sejarah tapi menjadi bagian darinya. Di tengah tatanan yang semakin menindas, partai semacam ini menjadi simbol perlawanan: menolak tunduk, menolak diam, dan berani merebut kembali politik dari tangan elite.

Sebab seperti kata Bung Karno, “Marhaenisme adalah pelaksanaan sosialisme yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.” Maka tugas kita hari ini bukan sekadar melestarikan warisan itu, tapi menghidupkannya kembali dengan cara membangun partai pelopor perubahan, partai kaum marhaen, partai yang lahir dari rahim penderitaan rakyat dan berdiri tegak demi tercapainya sosialisme Indonesia.

Penulis: Dhiva Trenadi Pramudia, Institut Marhaenisme 27

Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Nyanyian dan Sumpah Tanpa Jiwa
Senin, 27 Oktober 2025 | 14:45 WIB
Keterhilangan Eksistensial: Dari Krisis Kesadaran hingga Kolonisasi Atensi
Minggu, 26 Oktober 2025 | 23:06 WIB
GMNI Berduka, H Soenardi Ex Presidium GMNI 1976 – 1979 Telah Berpulang Disisi Tuhan Yang Maha Esa
Minggu, 26 Oktober 2025 | 14:25 WIB
Jadi Pembicara Diskusi yang Digelar PA GMNI Jakarta Raya, Soni Sumarsono: Kota Global Harus Punya Ideologi Keadilan Sosial
Sabtu, 25 Oktober 2025 | 22:26 WIB
DPD PA GMNI Jakarta Raya Dorong Realisasi Good Governance Jakarta Berkeadilan Sosial
Sabtu, 25 Oktober 2025 | 19:55 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Insight
Mengantisipasi Otoritarianisme Politik Massa Mengambang
Opini
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Kabar PA GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Kabar PA GMNI
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi
Kabar PA GMNI

Lainnya Dari Marhaenist

Kabar GMNIStudy Marhaenisme

MDH Sebagai Pisau Analisa Marhaenisme

Marhaenist.id - Marhaenisme Adalah Ideologi yang Digagas Bung karno dengan Mengunakan sebuah…

Kabar PA GMNI

Konferda PA GMNI Sumbar Digelar di Bukittinggi, Ini Alasannya

Marhaenist - Konferensi daerah (Konferda) Persatuan Alumni (PA) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia…

Kabar GMNIOpini

Kongres GMNI Versi Immanuel: Anti Persatuan dan Klaim Sepihak

Marhaenist.id - Sekitar siang atau sore hari ini pada tanggal 15 Juli…

Kabar GMNI

DPD GMNI Jatim Desak Pemerintah Prabowo-Gibran Pertimbangkan Ulang Kenaikan PPN 12%

Marhaenist, Surabaya – Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPD GMNI)…

Indonesiana

Rp 1.000,7 Triliun untuk Papua, Rakyatnya Tetap Miskin

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD geram dengan perkembangan…

Kabar GMNIKabar PA GMNIOpini

Surat Cinta untuk Persatuan GMNI dari Riau

Marhaenist.id - Mengawali tulisan ini, terlebih dahulu saya mohon maaf kepada Bung/Serinah…

Foto: PPAB GMNI UNTAD Palu/MARHAENIST.
Kabar GMNI

PPAB Perdana GMNI FEB UNTAD: Warisi Api, Bukan Abunya!

Marhaenist.id, Palu - Dewan Pengurus Komisariat (DPK) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

ArtikelHistorical

Soemarsono, Saksi Sejarah Tragedi PKI di Madiun 1948

Marhaenist.id - Soemarsono adalah mantan Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, juga…

Opini

Rezim Jokowi Sudah Jatuh Secara Moral dan De Facto

Tidak Diperlukan Lagi Pemilu, Tetapi Pemerintahan Transisi! Marhaenist.id - Walau sesungguhnya telah…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar PA GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Kontak
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

Ikuti Kami

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?