By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Marhaenist
Log In
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar Alumni GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Onward Issue:
Pulau Buru dan Pengarahan Tenaga Kerja Tapol
Ironi di Kawasan HTI RAPP: GMNI Temukan Sekolah Beralas Pasir dan Lansia Terabaikan Fasilitas Kesehatan di Kampar Kiri
Beredar Akun Facebook Palsu Atas Nama Dirinya, Karyono Wibowo: Ada Orang yang tidak Bertanggungjawab – Mohon Abaikan
Andai Bank BRI Jadi Bank Koperasi Seperti Desjardins Bank
Diskusi Publik Persatuan Alumni GMNI Jakarta, Anies Baswedan Tekankan Ekonomi Berkeadilan

Vivere Pericoloso

Ever Onward Never Retreat

Font ResizerAa
MarhaenistMarhaenist
Search
  • Infokini
    • Internasionale
  • Marhaen
    • Marhaenis
    • Marhaenisme
    • Study Marhaenisme
    • Sukarnoisme
  • Indonesiana
    • Kabar Alumni GMNI
    • Kabar GMNI
  • Kapitalisme
  • Polithinking
  • Insight
    • Bingkai
    • Historical
  • Manifesto
  • Opini
Ikuti Kami
Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.
Artikel

Megawati, Demokrasi dan Hari Ini

La Ode Mustawwadhaar
La Ode Mustawwadhaar Diterbitkan : Jumat, 31 Januari 2025 | 05:15 WIB
Bagikan
Waktu Baca 8 Menit
Foto: Megawati dicium keningnya oleh kakaknya Guntur Soekarnaputra, (Sumber foto: Geleri foto Kumparan)/MARHAENIST.
Bagikan

Marhaenist.id – Saya lupa dimana pernah saya baca ketika Sukarno menceritakan bagaimana kelahiran Diah Permata Megawati Setyawati Sukarnaputri, apakah di Bawah Bendera Revolusi atau Otobiografi ditulis Cindy Adams; Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat. Diceritakan bagaimana Bu Fat, Fatmawati, melahirkan putrinya ini di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta, di tengah hujan badai yang deras, petir menyambar, plafon istana bocor dan angin kencang. Di tengah cuaca itu lahirlah bayi kecil 78 tahun lalu tepat hari ini. Soekarno merasa semakin lengkap hadir putrinya, setelah kelahiran Guntur, putra pertamanya. Megawati tumbuh dalam masa perjuangan Republik ketika Ibukota pindah karena perjanjian Renville membuat Republik Indonesia diakui Belanda tetapi hanya sewilayah bekas terakhir wilayah kekuasaan Kraton Jogja setelah Perang Jawa. Makanya hubungan Kraton Jogja dan Sukarno, serta Republik ini tidak pernah terpisah. Maka tidak heran Sultan HB X mengingatkan Jokowi, ” jangan sakiti dia”. Boleh kamu presiden, boleh kamu berkuasa tetapi jangan sakiti Megawati. Maknanya dalam pesan itu.

Makanya ketika Orde Baru Megawati diusahakan untuk tidak boleh beraktivitas politik setelah Bapaknya meninggal dunia. Semua anak termasuk Guntur tidak boleh beraktivitas politik, mereka diberi keleluasaan sebagai remaja tetapi tidak untuk politik. Apa yang ditakutkan? Ya apalagi kalau bukan Sukarnoisme itu sendiri. Rezim orde baru membuat operasi anti Sukarno di semua bidang, partai politiknya PNI dibonsai, pengurus partai yang keras digenjet, dari dalam diadu domba antara Soekarnois pragmatis dan Soekarnois Ideologi, Osa Usep alias Osa Maliki dan Usep Ranawidjaya yang juga didukung mantan Sekjen PNI, Hardi. Soekarno merestui Ali-Surachman, tetapi setelah Soekarno dijatuhkan Suharto melalui operasi khusus dengan penolakan Pidato Nawaksara, maka kelompok Soekarnois Ideologis dihabisi, Ali Sastroamidjoyo sebagai golongan tua PNI waktu itu dipasangkan dengan golongan muda PNI, Ir. Surahman tokoh Persatuan Petani Nasional Indonesia (Petani).

Baca Juga:   'Tak Tahu Berterima Kasih', Perkataan Dedy Pada Seorang Anak Kecil Seperti Maling Teriak Maling dan Hanya Melukai Hati

Soekarno ingin transformasi marhaenisme berjalan antar generasi. Tetapi konflik internal dalam soal penjabaran marhaenisme sudah mengeras ketika Hardi yang digantikan Surahman juga melakukan konsolidasi. Konflik yang sebelumnya internal dan bisa dikendalikan Soekarno akhirmya pecah setelah Soekarno dijatuhkan. Muncullah kemudian istilah Marhaenisme tanpa kultus individu Soekarno. Surahman bahkan ditembak mati di Blitar Selatan, karena dia ikut bergabung dalam pelarian para menteri kabinet Dwikora yang waktu itu dituduh PKI, padahal dia seorang Soekarnois ideologis yang kemudian dituduh PKI susupan di PNI.

PNI berubah, menjadi pendukung orde baru, yang masih Soekarnois ditangkap dan ditahan dan di PKIkan. Mereka yang cari selamat bergabung dengan PNI versi lunak yang kemudian ikut Pemilu 1971 dan sudah dioperasi, maka dia hanya dapat 6,8%, padahal pada Pemilu 1955 dia menjadi partai pemenang dengan 22,3%. Soekarno dituduh melindungi PKI maka PNI disamakan dengan PKI, maka hancurlah PNI dan banyak yang kemudian mencari pemyelamatan bergabung dalam Golkar dan ikut melakukan de-Soekarnoisasi. Maka kata Onghokham Sejarawan UI, Soekarno dibunuh dua kali. Pertama secara fisik, kedua secara ideologi. Sebuah kaca benggala hari, dimana Soekarno yang melahirkan angkatan 45 seperti Suharto dkk, justru dibunuh angkatan yang dia lahirkan sendiri. Persis dialami Megawati, membesarkan seorang Presiden Jokowi tetapi dihianati dan dihancurkan oleh yang dia angkat sebagai kadernya.

Maka sangat bisa dimaklumi kalau Megawati selalu terlihat emosional ketika berpidato, dia lahir dan sepanjang hidupnya selalu melalui pasang surut ideologi. Dia bangunkan lagi Soekarnoisme dan Marhaenisme dengan masuk Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan partai hasil fusi yang sudah direkayasa Orde Baru. Mega sudah mengalami asam garam waktu itu, pelarangan anak-anak Soekarno ke politik membuatnya kemudian menjadi ibu rumahtangga, menikah dengan penerbang muda Angkatan Udara Surindro Supiarso, yang kemudian pada 1970 disaat Ibu muda Megawati mengurus 1 bayi dan 1 lagi dalam kandungan, suaminya hilang tak berbekas ketika menerbangkan pesawat. Sebuah cerita yang hampir mirip terjadi pada Letjen KKO Hartono mantan Komandan KKO atau marinir kalau sekarang, yang ditemukan tewas dengan luka tembak ketika cuti sebagai duta besar Korea Utara, setahun setelah suami Megawati hilang dalam penerbangan. Angkatan Laut dan Udara adalah tentara loyal yang mengikuti perintah Soekarno dalam operasi Trikora maupun Dwikora.

Baca Juga:   Komandan Pacul, Marhaen Rasa 'Korea'

Bisa dibayangkan seorang ibu muda, kehilangan suami tercinta setelah pada tahun yang sama 1970, ayahnya Sukarno meninggal dalam tahanan rumah Orde Baru di Wisma Yaso. Seorang perempuan yang masa kecilnya ditimang oleh para pendiri republik seperti Hatta, Syahrir, Agus Salim juga yang lain, yang kemarin dia panggil juga dengan Paatje, panggilan anak-anak Agus Salim pada ayahnya. Semua orang itu dia panggil Om, juga bagaimana dia bercerita tentang Pak Gatot (Subroto) pendiri Akabri yang merupakan Bapak TNI modern setelah Nasution dan Simatupang. Megawati adalah “ramuan” dari sintesa pemikiran dari ayahnya dan om-om-nya, dan dialah yang sekarang tersisa sebagai benteng demokrasi Indonesia, setelah Gus Dur meninggal. Dimana akan selalu didampingi Sultan HB X sebagaimana dulu Soekarno akan terus didukung HB IX ketika pasca perang. Demokrasi kita akan terus dijaga oleh Megawati bahkan ketika dia harus melawan penghianatan dari kadernya sendiri. Karena sedari kecil dia sudah mendengar pemikiran demokrasi dari riuh debat ayahnya dan para pendiri republik lainnya.

Apa yang dialami partainya sudah dia alami pasang surut ketika PNI jaman orde baru, ketika PNI digencet dan berubah menjadi fusi orde baru dan juga ketika PDI dipecah oleh orde baru dalam Kongres pada 1992, sehingga kemudian dia dilarang ikut kampanye dan tidak diakui dalan kepesertaan pemilu 1997 dimana sebelumnya terjadi peristiwa 27 Juli 1996. Dia dilindungi oleh mereka yang masih percaya bahwa tanpa Soekarno, republik ini tak ada kemerdekaan, mereka-mereka ini ada di lapisan manapun mau sipil, militer bahkan kaum kromo. Maka ketika reformasi dan politik kembali bebas, PDIP menjadi partai terbesar kembali pada Pemilu 1999 dengan 33,7%.

Baca Juga:   Rasio Manusia vs Rasio Algoritma: Negara Kafka dalam Rezim Algoritmik

Zaman bisa kembali berulang, dia hendak diperlakukan seperti mendiang ayahnya. Tetapi tidak mudah, megawati adalah peramuan dari pertemuan ide-ide pasca Indonesia merdeka. Tidak hanya Soekarno tetapi demokrasi ala Hatta, ala Syahrir, ala Agus Salim, ala Kyai Wahab, ala Soekiman dan ala-ala lainnya. Dia tidak akan bisa diluruhkan oleh hanya avonturir atau petualangan pragmatis dari seorang mantan kadernya yang sudah merubah diri lebih dari kelicikan, kekejaman Suharto. Watak kolonialisme hanya berganti baju dan wajah dia tidak sepenuhnya hilang, termasuk.di kalangan bangsa sendiri. Dia yang sebenarnya bukan siapa-siapa adalah wajah kolonial hari ini, Selamat Ulang Tahun, Dirgahayu Bu Mega tetap menjaga negeri ini sampai akhir menutup mata!


Sumber: Facebook Markijok.

iRadio
Bagikan Artikel
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print

ARTIKEL TERBARU

Pulau Buru dan Pengarahan Tenaga Kerja Tapol
Rabu, 26 November 2025 | 23:43 WIB
Ironi di Kawasan HTI RAPP: GMNI Temukan Sekolah Beralas Pasir dan Lansia Terabaikan Fasilitas Kesehatan di Kampar Kiri
Rabu, 26 November 2025 | 12:29 WIB
Beredar Akun Facebook Palsu Atas Nama Dirinya, Karyono Wibowo: Ada Orang yang tidak Bertanggungjawab – Mohon Abaikan
Senin, 24 November 2025 | 11:18 WIB
Andai Bank BRI Jadi Bank Koperasi Seperti Desjardins Bank
Minggu, 23 November 2025 | 07:46 WIB
Diskusi Publik Persatuan Alumni GMNI Jakarta, Anies Baswedan Tekankan Ekonomi Berkeadilan
Sabtu, 22 November 2025 | 22:03 WIB

BANYAK DIBACA

Negara Hukum Berwatak Pancasila
Masa Jabatan Legislatif Tanpa Ujung: Celah yang Mengancam Alam Demokrasi
Presiden Jokowi Resmi Buka Kongres IV Persatuan Alumni GMNI
Pembukaan Kongres IV Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI)
Buka kongres PA GMNI, Jokowi Ajak Alumni GMNI Jaga Kedaulatan dan Menangkan Kompetisi

Lainnya Dari Marhaenist

Dua Ekor Bebek Untuk Kegagalan Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu

MARHAENIST - Massa aksi yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)…

Tan Malaka, Dari Ir. Soekarno Sampai ke Presiden Soekarno

Marhaenist - Pengaruh Soekarno pada sejarah Indonesia besar sekali, tidak mungkin orang…

Pj Bupati Jombang Ingatkan Pesan Bung Karno Pada Pekerja Saat Hari Buruh Internasional

Marhaenist.id, Jombang - Peringatan Hari Buruh Internasional di Kabupaten Jombang dilakukan oleh…

DPP GMNI Desak Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikan PPN 12%

Marhaenist.id, Jakarta - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),…

Revisi UU TNI: Ancaman Serius Bagi Demokrasi Indonesia

Marhaenist.id - Kita sedang menghadapi bahaya laten. Revisi UU TNI yang sedang…

Che Guevara – Sosialisme dan Manusia di Kuba

Kawan tercinta: Meskipun terlambat, saya tetap berusaha menyelesaikan catatan ini dalam rangkaian…

Foto: Gibran memperagakan diri sedang mencari jawaban Mahfud di debat Pilpres 2024/Marhaenist.id.

TPN Ganjar Sebut Gibran Tidak Layak Bertarung di Pilpres

Marhaenist.id, Jakarta - Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo - Mahfud MD…

Pasang Surut Semangat Kartini dalam Gerakan Emansipasi Perempuan era Modern

Marhaenist.id - Perempuan, seringkali dianggap sebagai orang kedua atau pelengkap peran daripada laki-laki.…

Kritik Pernyataan Menkum, Zainal Arifin Mochtar: Putusan MK Tidak Selalu Prospektif, Polri Harus Segera Lakukan Penyesuaian

Marhaenist.id, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar menyoroti statement…

Tampilkan Lebih Banyak
  • Infokini
  • Indonesiana
  • Historical
  • Insight
  • Kabar Alumni GMNI
  • Kabar GMNI
  • Bingkai
  • Kapitalisme
  • Internasionale
  • Marhaen
  • Marhaenis
  • Marhaenisme
  • Manifesto
  • Opini
  • Polithinking
  • Study Marhaenisme
  • Sukarnoisme
Marhaenist

Ever Onward Never Retreat

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Kontak
  • Disclaimer
  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Siber
  • ▪️ Kirim Artikel
  • ▪️ Format

Vivere Pericoloso

🎧 Online Radio

Copyright © 2025 Marhaenist. Ever Onward Never Retreat. All Rights Reserved.

Marhaenist
Ikuti Kami
Merdeka!

Masuk ke akunmu

Lupa passwordmu?