Marhenist.id, Surabaya – Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPD GMNI) Jawa Timur, Hendra Prayogi menyatakan ketidaksetujuannya terhadap wacana pemberian izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi pada Selasa, 28 Januari 2025.
Hendra menjelaskan bahwa pemberian ijin tambang pada kampus akan mengancam tujuan utama Pendidikan yang termuat dalam Tridharma Perguruan Tinggi.
“Perguruan tinggi didirikan untuk pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pengelolaan tambang bukan bagian dari misi tersebut. Justru hal ini bisa mengancam tujuan pendidikan,” tegas Hendra pada Selasa (21/1/2025).
Sebelumnya, seluruh fraksi di Baleg DPR menyetujui RUU atas Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral diproses ke pembahasan tingkat selanjutnya.
Menurut Hendra, RUU yang memperbolehkan kampus mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral Logam atau Batubara melalui jalur prioritas itu disusun dengan tersesah-gesah.
“Draf Pasal 51A yang menyebutkan bahwa pemberian WIUP kepada kampus dengan mempertimbangkan luas wilayah tambang, status akreditasi kampus, serta upaya peningkatan akses dan layanan pendidikan Masyarakat, disusun dengan waktu yang singkat”, jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tujuan perguruan tinggi adalah mencetak cendekiawan. Sebagai lembaga independen, jangan sampai kampus-kampus menjadi berpihak pada kepentingan tertentu buntut izin usaha tambang.
“Wacana ini harus benar-benar dipikirkan dan dikaji dengan baik. Kampus sebagai institusi independen untuk mencetak cendekia bangsa dan generasi unggul jangan sampai terkooptasi oleh kepentingan segelintir orang,” ucap Hendra.
Menurut Hendra, kebijakan ini bisa membuat kampus terlalu berorientasi pada keuntungan finansial sehingga mengabaikan prinsip pendidikan dan keberlanjutan.
“Bagi kami harus dikaji dulu, harus dihitung dampaknya secara mendalam, jangan sampai dari kebijakan ini kampus lebih memprioritaskan bisnis dibanding tujuan utama pendidikan itu sendiri,” paparnya.
Hendra juga mengungkapkan bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam sektor tambang dapat menimbulkan dilema etis. Industri ekstraktif, seperti tambang, telah lama dikenal sebagai penyebab kerusakan lingkungan.
“Industri ekstraktif tambang telah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan. Jika kampus mulai terlibat dalam industri ini, bagaimana mereka bisa tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang salah? Ketergantungan finansial pada pengelolaan tambang hanya akan membuat kampus kehilangan independensi,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti kerancuan hukum dalam revisi undang-undang tersebut. Menurut Hendra, beberapa pasal dalam RUU Minerba ini terlihat seperti ‘penyusupan aturan’ dari peraturan pemerintah ke dalam undang-undang.
“Ini menimbulkan kesan bahwa payung hukum yang lebih rendah justru digunakan untuk mengakomodasi kepentingan tertentu melalui revisi undang-undang,” tambahnya.
Meskipun telah disetujui oleh seluruh fraksi di Badan Legislasi DPR, Namun masih banyak poin kontroversi dalam RUU ini, sehingga Hendra mengajak masyarakat, khususnya akademisi dan mahasiswa, untuk menolak kebijakan ini.
Hendra berharap agar pembahasan lebih lanjut dapat mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk memastikan keberpihakan terhadap pendidikan yang berkelanjutan dan berintegritas.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Chayono.