Marhaenist.id – Sejak 25 Agustus 2025, rangkaian demonstrasi yang marak di berbagai kota punya satu tuntutan yang cukup ekstrem yaitu #BubarkanDPR.
Kenapa sampai muncul tuntutan seperti itu?
Awalnya dipicu oleh kekecewaan rakyat atas kenaikan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit. Situasi makin panas ketika beberapa anggota DPR menanggapi isu ini dengan gaya komunikasi yang dianggap nir-empati.
Contohnya, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi NasDem (yang kini sudah dinonaktifkan), Ahmad Sahroni, menyebut orang-orang yang menyerukan pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia”. Ada juga anggota Komisi IX DPR dari NasDem, Nafa Urbach, yang beralasan bahwa anggota DPR layak menerima tunjangan rumah puluhan juta rupiah per bulan hanya karena dirinya sering terjebak macet dari rumah di Bintaro ke Senayan.
Puncaknya, pada 16 Agustus 2025, ketika masyarakat sedang marah, para wakil rakyat justru berjoget riang dengan lagu Gemu Fa Mi Re di sela Sidang Tahunan MPR. Bagi banyak orang, pemandangan ini terasa tidak peka dengan kondisi sosial ekonomi rakyat yang penuh PHK dan kesulitan.
Menurut saya, akar masalah dari semua ini bukan sekadar soal tunjangan atau gaya hidup mewah DPR, tapi kualitas anggota DPR yang sangat rendah dalam membaca situasi, memahami kondisi, dan berkomunikasi dengan publik.
Tapi pertanyaan besarnya adalah, kenapa orang-orang dengan kualitas rendah bisa duduk di kursi DPR?
Jawabannya berlapis:
1. Mereka bisa duduk di DPR karena dipilih oleh rakyat.
2. Rakyat bisa memilih mereka karena partai politik menetapkan mereka sebagai calon legislatif.
3. Partai menetapkan mereka karena, meski kualitas rendah, mereka punya popularitas tinggi yang bisa mendongkrak suara partai.
Jadi, ada tiga komponen yang harus sama-sama membenahi diri yaitu, calon anggota DPR, partai politik, dan masyarakat.
Lalu, seharusnya bagaimana?
1. Calon anggota DPR yang tak punya kualitas seharusnya sadar diri. Jangan hanya mengandalkan popularitas untuk duduk di kursi yang penuh tanggung jawab.
2. Partai politik seharusnya berpikir layaknya seorang negarawan dengan memilih calon berdasarkan kualitas, bukan sekadar nama besar atau sensasi.
3. Masyarakat harus lebih cerdas dan bijak dalam memilih. Jangan tergoda hanya karena calon terkenal, artis, atau viral di media sosial.
Jika ketiga komponen ini bisa berubah, kursi DPR di “gedung kura-kura” Senayan tidak lagi diisi orang-orang kualitas rendahan, melainkan oleh mereka yang benar-benar punya visi, kapasitas, dan ambisi memperbaiki negeri.***
Penulis: Ikhsan Ali, Kader GMNI Tangsel.