Marhaenist.id – Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan integrasi teknologi digital, kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi, seolah menjadi simbol kemajuan zaman. Namun, kemajuan itu menyimpan paradoks. Alih-alih memperkuat kesejahteraan kolektif, Revolusi Industri 4.0 justru melahirkan ancaman serius bagi kelas pekerja, terutama buruh dan kaum marhaen yang menjadi fondasi produktivitas bangsa. Jika tidak diimbangi oleh kebijakan negara yang berpihak, maka otomatisasi dan digitalisasi akan memperdalam jurang ketimpangan dan memiskinkan buruh secara struktural.
Otomatisasi dan Pengangguran Struktural: Wajah Gelap dari Kemajuan
Realitas yang terjadi hari ini menunjukkan bahwa otomatisasi telah menggantikan fungsi kerja manusia dalam skala masif, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur, transportasi, dan ritel. Lini produksi yang dulu dikuasai buruh kini digantikan oleh mesin dan robot. Perusahaan berlomba-lomba melakukan efisiensi demi produktivitas dan profit, sementara buruh menjadi korban rasionalisasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan drastis kebutuhan tenaga kerja manusia di sektor industri sejak 2015. Sementara itu, McKinsey Global Institute memperkirakan sekitar 23 juta pekerjaan di Asia Tenggara berisiko hilang akibat otomatisasi sebelum 2030—dan Indonesia, dengan struktur buruh besar namun sistem pendidikan belum adaptif, menjadi yang paling rentan.
Ini bukan lagi sekadar pengangguran biasa, melainkan pengangguran struktural—yaitu pengangguran yang disebabkan oleh hilangnya jenis pekerjaan karena perubahan teknologi, bukan karena rendahnya kemampuan individu. Ini menandai satu hal: sistem sosial dan politik kita gagal menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Netralitas Negara yang Menyesatkan
Alih-alih hadir sebagai pelindung, negara justru bersikap netral dalam konflik struktural ini. Padahal, dalam konteks pertarungan antara buruh dan pemilik modal, sikap netral sama saja dengan keberpihakan terselubung kepada kekuasaan modal. Ini tercermin nyata dalam kebijakan kontroversial seperti Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Alih-alih melindungi buruh, UU ini justru menyederhanakan PHK, menghapus kewajiban pesangon, memperluas outsourcing, dan melegitimasi fleksibilitas kerja yang menguntungkan perusahaan besar.
Tidak ada peta jalan nasional yang jelas mengenai pelatihan ulang (reskilling) atau peningkatan keterampilan (upskilling). Buruh dibiarkan menghadapi tsunami otomatisasi dengan tangan kosong. Negara seakan menutup mata terhadap fakta bahwa revolusi digital tanpa regulasi yang adil justru menjebak rakyat dalam kemiskinan abadi.
Marhaenisme dan Tugas Sejarahnya
Dalam situasi seperti ini, ideologi Marhaenisme yang diajarkan Bung Karno menemukan relevansinya kembali. Bung Karno menegaskan bahwa “Segala teknik modern tidak ada artinya jika tidak digunakan untuk kebahagiaan rakyat banyak.” Teknologi harus menjadi alat pembebasan, bukan penindasan. Namun saat ini, teknologi justru dikendalikan oleh elite ekonomi global yang menjadikannya senjata untuk memeras buruh dan memperbesar dominasi kapital.
Marhaenisme berpihak pada buruh, tani, nelayan, dan seluruh rakyat kecil yang tidak memiliki alat produksi namun menjadi tulang punggung bangsa. Revolusi Industri 4.0 tanpa keadilan struktural hanyalah bentuk baru dari kolonialisme digital—dengan mesin dan algoritma sebagai alat penaklukan.
GMNI: Dari Aksi ke Gagasan Revolusioner
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) meyakini bahwa perjuangan hari ini tidak cukup dengan demonstrasi seremonial atau slogan kosong. Dibutuhkan konsolidasi ideologis dan aksi nyata. GMNI Malang terus mendorong kerja-kerja solidaritas kelas—menggalang forum advokasi buruh digital, memperkuat jaringan dengan serikat pekerja, serta menuntut perubahan kebijakan publik yang menempatkan buruh sebagai subjek pembangunan, bukan objek eksploitasi.
Kita tidak anti-teknologi. Namun kita menolak dengan tegas sistem yang membungkam suara kaum pekerja atas nama efisiensi. Kita menolak pembangunan tanpa keadilan. Kita menolak modernisasi yang meninggalkan buruh dalam kehinaan.
Negara wajib hadir secara aktif dalam menyusun ulang sistem perlindungan ketenagakerjaan, terutama di sektor digital dan informal, dengan menjamin upah layak, kepastian kerja, serta perlindungan sosial yang menyeluruh bagi seluruh pekerja. Ini termasuk menyediakan pendidikan dan pelatihan kerja yang adaptif terhadap perkembangan teknologi namun tetap berpijak pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pemerintah juga harus mencabut dan merevisi Undang-Undang Cipta Kerja yang selama ini lebih menguntungkan kepentingan kapital besar, serta secara tegas mengakui buruh digital, pekerja freelance, pengemudi ojek online, dan content creator sebagai bagian dari tenaga kerja yang memiliki hak atas perlindungan hukum dan kesejahteraan kerja.
Menyusun Kekuatan, Merebut Masa Depan
Hari ini, kaum buruh tak hanya yang bekerja di pabrik. Mereka juga yang bekerja tanpa upah di platform digital, yang kehilangan pekerjaan karena robotisasi, yang menggadaikan masa depan karena sistem kerja fleksibel tanpa jaminan. Ini adalah bentuk eksploitasi baru yang harus dilawan dengan semangat lama: semangat perjuangan kelas.
Bung Karno pernah berkata, “Pembangunan tanpa pergerakan adalah kosong. Pergerakan tanpa pembangunan adalah lumpuh.” Maka teknologi dan pergerakan sosial harus berjalan bersama. Revolusi Industri 4.0 harus diarahkan menuju transformasi struktural yang menjamin kemanusiaan, bukan sekadar profit.
1 Mei bukan akhir, tapi awal dari pembebasan baru. Buruh adalah jantung bangsa—jika mereka tercekik, maka kemanusiaan kita sedang sekarat.
Revolusi tidak boleh jadi milik elite.
Revolusi adalah hak kaum tertindas untuk mengubah nasibnya.***
Penulis: Albert Waatwahan Ketua DPC GMNI Malang.