Marhaenist.id – Istilah “kiri” kini seringkali diidentikkan dengan komunisme. Padahal dilihat dari sejarahnya, istilah itu sudah muncul lebih dari setengah abad sebelum Manifesto Komunis diterbitkan pada 1848. Istilah ini muncul saat hingar-bingar Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 yaitu tepatnya pada 1792. Revolusi Prancis berlangsung dari 1789 sampai 1799.
Kala itu, kekuatan politik di parlemen Prancis yang terbentuk setelah gejolak awal revolusi, yang dimenangkan oleh masyarakat kelas III terbelah menjadi kaum konservatif yang ingin mempertahankan bentuk monarki konstitusional berlawanan dengan kaum radikal yang menuntut bentuk republik. Kaum konservatif ingin mempertahankan kekuasaan politik yang didominasi kepentingan segelintir kaum lapisan ekonomi atas.
Dalam gedung parlemen, grup konservatif yang pro status quo duduk mengelompok di bagian kanan, sedangkan kaum oposisi yang pro perubahan dan konsisten membela rakyat bawah duduk di sebelah kiri. Dengan kata lain, kiri identik dengan gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan penguasa kala itu. Sejak saat itulah muncul istilah “rightist” dan “leftist” atau “sayap kiri” dan “sayap kanan”.
Pada perkembangan selanjutnya, istilah kiri cenderung berubah sesuai dengan lingkup gagasan dan sikap yang diperbandingkan. Dalam politik, sayap kiri biasanya mengacu pada kelompok yang dihubungkan dengan aliran sosialis atau demokrasi sosial, sementara sayap kanan identik dengan aliran kapitalis. Komunis yang di kemudian hari merupakan perkembangan dari gerakan marxis merupakan bentuk ekstrim dari sayap kiri.
Khusus di Indonesia, persepsi kiri mulai berubah sejak Gestapu meletus. Padahal kiri pernah menjadi primadona sebagai gerakan yang membela kepentingan rakyat tertindas. Sejarawan dari UI, Andi Achdian menuturkan tradisi pemikiran kiri di Indonesia telah berakar sejak lama. Pemikiran kiri disebutnya mempengaruhi gerakan kemerdekaan di Indonesia.
“Tanpa pemikiran kiri, Indonesia tak akan pernah ada dalam peta dunia. Sejarah pergerakan anti kolonial berkembang karena ada kritisisme tersebut. Tanpa ada gagasan kiri, kita hanya jadi budak kolonialisme bangsa asing.”***
Disusun oleh Redaksi.