Marhaenist – “Megaphone diplomacy” adalah upaya mengandalkan pers untuk manggalang sokongan publik, upaya seperti ini menurut saya alangkah lebih bijaknya tidak dilakukan oleh institusi pengawas pemilu.
Dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam hal ini pengawas pemilu mendapati sebuah pelanggaran, baik yang sifatnya administrasi, etik, ataupun pelanggaran pidana, alangkah bijaknya diselesaikan secara institusi dan bukan justru “banyak bicara” kepada pers, karena penerapan “megaphone diplomacy” dapat menimbulkan penyimpangan dari makna sesungguhnya yang terdapat didalamnya, dan menimbulkan salah tafsir di masyarakat dan masyarakat pun tak pelak akan menjadi bingung dan menggiring persepsi publik yang salah kaprah.
Ketika misalnya, dalam proses tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) yang dilakukan oleh pantarlih didapati ketidak sesuaian prosedur oleh pengawas pemilu, seharusnya jika kita mengacu pada peraturan badan pengawas pemilu nomor 5 tahun 2022 pasal 18 ayat 2 dikatakan bahwa apabila “Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat dugaan pelanggaran, Pengawas Pemilu melakukan:a. saran perbaikan jika terdapat kesalahan administratif; atau b. pencatatan sebagai temuan dugaan pelanggaran”.
Dari pasal 18 ayat 2 peraturan badan pengawas pemilu nomor 5 tahun 2024 ini sudah diatur secara jelas tata cara penyelesaian masalah secara kelembagaan yaitu dengan dua poin diatas, dan bukan dengan cara “megaphone diplomacy” yang justru akan menimbulkan salah tafsir di masyarakat dan membingungkan serta menggiring persepsi publik yang salah kaprah, seperti misalnya ketika pengawas pemilu merilis hasil temuannya di media online dan mengatakan bahwa petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) melakukan pelanggaran berupa; “warga yang berumur 17 tahun namun dicoklit” atau” atau “warga tidak dicoklit namun ditempel stiker” narasi-narasi demikian jika disampaikan melalui media massa atau media online dapat menggiring opini masyarakat awam seolah-olah KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu secara sengaja melakukan pemalsuan data pemilih, meskipun pada kenyataannya tidak demikian.
Dalam kajian ilmu komunikasi kita akan menemukan istilah “miskomunikasi” dan penyebab dari hal tersebut adalah karena adanya hambatan baik yang sifatnya internal dan eksternal, contoh hambatan internal adalah “perbedaan persepsi” dari komunikator sebagai penyampai pesan kepada komunikan sebagai penerima pesan, perbedaan persepsi ini akan menimbulkan miskomunikasi dan dapat berdampak pada hambatan berikutnya hambatan eksternal yaitu “persepsi negatif”.
Kajian ilmu komunikasi tentang miskomunikasi ini relevan dengan contoh kasus “megaphone diplomacy” yang saya sebutkan diatas, ketika lembaga pengawas pemilu menyelesaikan masalah kelembagaan dengan cara penyampaian melalui media massa, akan berdampak pada penggiringan opini publik yang berpersepsi negatif.
Oleh : Ikhsan, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).