Marhaenist – Sejauh ini, keberadaan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tidak memberikan solusi nyata terhadap berbagai permasalahan bangsa. Fungsi mereka sering kali terlihat lebih sebagai simbol formalitas daripada badan yang benar-benar efektif dalam memberikan nasihat strategis kepada Presiden. Ide untuk merubah Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) justru menimbulkan kekhawatiran bahwa tujuan utamanya adalah melindungi Presiden dari kritik oposisi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa banyak anggota Wantimpres adalah tokoh-tokoh senior politik yang mewakili berbagai golongan dan partai, yang seharusnya menjadi pengkritik pemerintah, bukan pelindungnya.
Contoh konkret dari kekhawatiran ini adalah penunjukan beberapa tokoh senior politik yang sebelumnya dikenal kritis terhadap pemerintah, namun setelah diangkat menjadi anggota Wantimpres, kritik tersebut meredup. Misalnya, seorang mantan menteri yang dahulu sering mengkritik kebijakan ekonomi pemerintah, kini lebih banyak menyetujui tanpa banyak pertanyaan.
Wantipres kemudian akan diubah menjadi DPA itu tampak lebih seperti perpanjangan tangan Presiden yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan meredam suara-suara kritis. Pengangkatan tokoh-tokoh politik senior ke dalam DPA hanya akan menjadikan mereka sebagai ‘yes-men’ yang mendukung setiap kebijakan tanpa memberikan kritik konstruktif. Pada akhirnya, perubahan ini dikhawatirkan hanya akan memperkuat kekuasaan eksekutif dan mengurangi mekanisme check and balance yang sehat dalam pemerintahan.
Apakah perubahan ini benar-benar demi kepentingan bangsa, atau sekadar langkah untuk memperkuat posisi Presiden di tengah pusaran politik? Pertanyaan ini perlu dijawab dengan jujur dan kritis oleh semua elemen bangsa.
Jika dewan penasihat hanya berfungsi sebagai perisai untuk presiden, maka akan terjadi bias dalam pengambilan keputusan. Pandangan kritis yang konstruktif dari dewan penasihat penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil telah melalui proses evaluasi yang ketat dan mendalam. Sebagai contoh, kebijakan impor beras yang menuai protes dari petani lokal karena merugikan mereka, seharusnya mendapatkan evaluasi mendalam dari Wantimpres sebelum diimplementasikan. Namun, tanpa adanya kritik konstruktif, kebijakan tersebut tetap berjalan dan berdampak negatif bagi sektor pertanian domestik.
Erat kaitannya, perubahan ini akan melemahkan kemampuan oposisi dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Oposisi memainkan peran penting dalam sistem demokrasi sebagai penyeimbang kekuasaan. Ketika dewan penasihat hanya berfungsi untuk melindungi presiden, kritik yang biasanya disampaikan oleh oposisi dapat teredam. Hal ini berpotensi menciptakan situasi di mana kebijakan pemerintah berjalan tanpa pengawasan yang memadai, sehingga meningkatkan risiko kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan publik. Sebagai ilustrasi, ketika kebijakan kontroversial mengenai alokasi anggaran untuk proyek infrastruktur besar tidak mendapat pengawasan ketat, hal ini dapat menyebabkan pemborosan dan korupsi.
Perubahan ini, jika tidak diimbangi dengan mekanisme check and balance yang memadai, berpotensi melemahkan demokrasi dengan mengurangi transparansi dan
akuntabilitas. Sebagai contoh, kebijakan kontroversial seperti impor beras yang merugikan petani lokal dapat diteruskan tanpa evaluasi yang mendalam jika kritik dari dewan penasihat teredam. Begitu juga, pengawasan terhadap alokasi anggaran untuk proyek-proyek besar bisa menjadi tidak memadai, meningkatkan risiko pemborosan dan korupsi.
Secara keseluruhan, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari perubahan ini terhadap kualitas demokrasi dan akuntabilitas pemerintah. Penunjukan dan fungsi dewan penasihat haruslah transparan dan benar-benar bertujuan untuk kepentingan bangsa, bukan sekadar melindungi kekuasaan eksekutif.
Oleh : Eko Zaiwan, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Peneliti Presisi45