Marhaenist.id – Kalau dulu ada lagu yang diciptakan untuk Gayus Tambunan dengan penggalan liriknya berbunyi “lucunya di negeri ini, hukuman bisa dibeli”, sekarang ada juga lagu yang dibuat untuk menggambarkan sikon terkini. Bunyi potongan liriknya “salam tiga jari, jangan pilih anak Jokowi”.
Penggalan lagu itu diadaptasi dari bunyi lirik sebelumnya, yakni “salam dua jari, ayo kita pilih Jokowi”. Tapi sang presiden yang dipuja merakyat telah berubah karena berambisi untuk terus mendapat bagian dari kekuasaan, maka tindakan menyimpangnya harus dihindari lewat perubahan lirik lagu tadi.
Ya Jokowi berubah demi mendukung sang anak menggantikannya di istana negara. Tapi jalannya harus dipaksakam dengan maju lewat jalur pelanggaran etik, hingga merembet ke pemanfaatan jabatan tertinggi negeri ini yang diembannya. Mungkin dengan bansos, sampai terang-terangan meninggalkan netralitas yang selama ini ia koarkan.
Melihat kabar duka matinya netralitas, seperti pemprov yang memperbolehkan ASN kampanye sampai deklarasi dukungan yang tidak dinyatakan melanggar aturan oleh Bawaslu, saya turut mengkroschecknya secara langsung.
Ajakan untuk kampanye saya lontarkan kepada saudara yang sudah bertahun-tahun menjadi seorang ASN.
“Pak Jokowi sudah memperbolehkan aparat untuk kampanye. Yuk kampanye bareng aja”, ajakku dengan nada bercanda.
Tahu apa jawabannya?
“Sorry ye, sorry, gue ga ikut-ikutan presiden!”, tandasnya tanpa ragu.
Aku hanya tertawa karena berhasil menggoda sekaligus mengujinya. Syukurlah masih ada ASN yang waras di sekitar saya, tidak semua terkontaminasi virus ambisi Pak Jokowi. Saya yakin sekaligus berharap juga, semoga di luar sana masih banyak ASN yang mempertahankan netralitasnya. Dengan begitu harapan saya juga berkembang, agar mereka dapat memilih pemimpin yan tepat. Tentunya bukan 02 yang penuh konflik sedari awal. Karena fakta yang sudah nampak itu, ASN yang masih sehat, baik akal dan hati nuraninya harus menentukan pilihannya pada paslon yang jelas dipercaya.
Entah itu dalam perjalanan karirnya yang lurus, tidak menyimpang dan rekam jejaknya yang teruji klinis selama menjalankan amanah. Dengan begitu tidak akan ada lagi yang mengganggu pikiran kita dan mempertanyakan “presiden macam apa dia, kok melonggarkan para pejabat dan jabatannya sendiri yang menjadi orang nomor satu di negara ini, demi memenangkan anaknya sendiri dengan cara haram?”
Dari satu potret ini saja, publik bisa menilai bahwa salah satu sebab tindakan Jokowi berubah karena si pelantun “sorry ye”, “Ndasmu” dan keyword kasar lainnya yang dulu dia hindari. Kenapa bisa begitu? Karena ada kepentingan yang dia bawa, makanya dia rela bergabung demi kekuasaan yang sedang diincar. Sampai ada kejadian penabrakan konstitusi dan anaknya yang ditumbalkan menjadi anak haram konstitusi. Cukup Gibran yang kamu paksa menjadi calon pemimpin pak, jangan paksa kami untuk memilih paslon cacat hukum itu!***
Penulis: Nikmatul Sugiyarto, Pemerhati Demokrasi.