Marhaenist.id, Jakarta – Tatanan Global tengah bergeser menuju sebuah tatanan baru, saat ini negara negara besar seperti Amerika Serikat tak sehebat dahulu.
Perubahan yang secara massif bersifat distrubtif sehingga semua bangsa mesti mampu beradaptasi dan merespon tantangan.
Dalam pergeseran itu Amerika Serikat tak lagi setangguh dahulu sedang China terus tumbuh besar kemungkinan akan jadi pemegang hegemoni global.
Sebagai negara kepulauan Indonesia mesti bersiap karena memiliki wilayah strategis dalam zona perebutan hegemoni Asia Pacific.
Menghadapi pergeseran itu pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memilih berdiplomasi dengan semua kekuatan.
Tanpa keunggulan kekuataan teknologi dan ekonomi, Indonesia bisa mengambil peran besar dengan mengandalkan kekuatan non kekerasan.
Pokok pikiran itu muncul dalam sebuah diskusi terbatas yang berlangsung di Kantor Perhimpunan Agenda 45, kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Jum’at (17/10/2025).
Diskusi itu merupakan bagian awal dari langkah penyusunan naskah pemikiran bidang politik global.
“Sebagaimana saat membahas masalah otonomi daerah, kami akan membuat serangkaian diskusi di sejumlah tempat untuk memperdalam hasil dari diskusi hari ini,”ujar Direktur Eksekutif Agenda 45 Warsito Ellwein.
Perubahan lewat Perang
Dalam kesempatan itu, Andi Widjojanto, mantan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) 2022 2023 menunjukkan bahwa dalam sejarah tercatat manusia membutuhkan perang dalam segala lini untuk memajukan peradaban.
Sepanjang sejarah telah terjadi tatanan geopolitik saat ini sulit berubah menuju bentuk baru tanpa perang. Keyakinan itu dia dasarkan pada fakta sejarah yang selalu berubah lewat perang besar.
Terhitung semenjak jaman Yunani telah terjadi 17 kali perubahan hegemoni hanya perubahan yang tandai kehancuran Uni Soviet sekitar 3 dekade lalu saja tidak diwarnai perang besar.
“Kita membutuhkan perang untuk memajukan peradaban, dalam segala lini. Adapun strategi yang paling sukses dan terbukti berhasil tanpa perang adaalah perdamaian nuklir. mereka tidak lagi berperang menggunakan nuklir, sehingga perdamaian tercipta karena ketakutan terhadap kemusnahan aatau kehancuran bersama,” ujar dia.
Saat ini kemunduran tengah dialami oleh Amerika Serikat sebagai salah satu adikuasa pasca perang dunia kedua mengalami kemunduran.
Hal ini terjadi oleh karena dirinya sendiri, sementara negara negara lain berkembang dengan berbagai pilar kekuatan.
China bakal ofensif agar dapat merebut hegemoni ke tangannya. Tentu di era sekarang untuk bisa mencapainya sebuah negara mesti memiliki keunggulan dalam demokrasi, nuklir, keamanan, aliansi, stabilitas finansial, perdanganan, pembangunan, dan konektivitas sebagai pilar kekuatannya.
Semua negara kini dihadapkan pada pilihan antara China dan Amerika Serikat. Indonesia dalam setahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menampakkan postur sendiri dengan menampilkan gaya komunikasi high speed.
Semua poros disentuh oleh Prabowo, adapun puncak wisata politik Prabowo adalah saat berpidato di Majelis Umum PBB, 23 September 2025.
Dalam perjalanan setahun itu Prabowo menemui pemimpin dunia China, Rusia dan lainnya berdasarkan urutan kepentingan Indonesia. Untuk kepentingan minyak murah misalnya dia berkunjung ke Rusia, sedang urusan Artificial intelegent ke Amerika.
“Kondisi Indonesia tidak mungkin utk tidak terlibat dalam konflik global hari ini,” tambah Andi.
Soft Power non kekerasan
Berbicara dalam kesempatan sebelumnya KH Dr Abdul Wahid Maktub, mantan Dubes RI untuk Qatar Kemajuan ilmu dan teknologi saat ini, di mata Abdul Wahid, seperti telah membawa manusia telah sampai pada satu fase menyerupai Tuhan.
Akibatnya timbul dampak terhadap kemanusiaan. Kita bisa menyaksikannya bagaimana Amerika Serikat direpotkan persoalan tuna wisma sebagai salah satu ujud persoalan ekonomi yang serius.
Ditambahkannya, menghadapi kondisi global saat ini tak cukup hanya bertumpu pada hard power namun soft power pun penting.
“Kita punya Pancasila, di mana sila ketiga persatuan bisa menjadi persatuan kemanusiaan,” tambah dia.
Dunia kini butuh pendekatan keberagaman melalui konsep baru di mana sebenarnya semuanya telah ada dalam Pancasila.
Ideologi Bangsa Indonesia ini mampu menyatukan kebutuhan manusia baik yang bersifat fisik maupun metafisik.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.