Marhaenist.id, Pekanbaru – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari IMM dan GMNI Riau menggelar diskusi publik untuk merespon wacana pembentukan Tim Reformasi Kepolisian oleh Presiden Prabowo Subianto, Sabtu (20/9/2025).
Dalam forum tersebut, mereka menegaskan bahwa reformasi Polri bukanlah agenda politik sesaat, melainkan amanat konstitusi dan mandat sejarah Reformasi 1998.
Koalisi mengingatkan, pasca 23 tahun lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, sudah seharusnya ada evaluasi menyeluruh berbasis konstitusi.
Menurut mereka, tanpa langkah fundamental, kepolisian hanya akan terus bergerak reaktif dan sibuk memperbaiki citra, tetapi gagal menyentuh akar persoalan kelembagaan.
“Sejarah menunjukkan, pembentukan tim atau komisi ad hoc hanya berakhir menjadi gimmick. Dari tragedi Kanjuruhan hingga kasus Ferdy Sambo, respon cepat kepolisian berbasis kasus, bukan sistem. Reformasi sejati hanya bisa dilakukan melalui revisi UU Polri, KUHAP, serta regulasi sektoral lain—agar mengikat secara struktural dan institusional,” ungkap Yan Adriansyah Direktur Pusat Bantuan Hukum DPD IMM Riau.
Koalisi juga menyoroti kondisi di Riau, seperti lambannya penegakan hukum dalam kasus SPPD fiktif DPRD Riau yang dinilai tebang pilih.
Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuan hukum yang cepat dan represif terhadap masyarakat kecil. Kontras semacam itu disebut telah meruntuhkan legitimasi kepolisian di mata publik.
Selain itu, program Green Policing yang diluncurkan Polda Riau juga dipandang sebatas pencitraan. Tanpa keberanian menyentuh kasus besar kejahatan lingkungan yang melibatkan korporasi, mafia perizinan, dan praktik pembiaran kebakaran hutan, program tersebut akan dianggap jargon kosong.
Sementara itu, Ketua DPD GMNI Riau, Teguh Azmi menegaskan reformasi Polri harus ditempuh lewat jalur legislasi, bukan sekadar tim ad hoc bentukan pemerintah.
“Polri harus dibenahi tugas dan wewenangnya, jangan sampai ada kerajaan di dalam negara. Institusi Polri dituntut profesional, memberikan rasa aman dan penegakan hukum yang berkeadilan. Harapannya Polri harus bersih dari kepentingan politik, jangan sampai disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan,” tegas Teguh Azmi.
Ia menambahkan, komisi ad hoc yang dibentuk hanya politis semata untuk meredam situasi nasional.
“Pengalaman menunjukkan tim-tim semacam itu sarat muatan politis dan tidak menyentuh akar persoalan. Reformasi Polri harus dilakukan secara kelembagaan, bukan hanya struktural,” ujar Teguh Azmi.
Koalisi Masyarakat Sipil pun mengingatkan, reformasi Polri adalah hutang sejarah yang belum lunas. Menundanya dengan gimmick hanya akan memperpanjang krisis kepercayaan publik.
“Reformasi Polri adalah amanat Reformasi 1998. Amanat itu tidak boleh dikhianati,” tutup mereka.***
Penulis: Redaksi/Editor: Bung Wadhaar.